Duka menyelimuti dunia persepakbolaan tanah air. Saat tepat untuk merenung. Untuk berkontemplasi. Mengambil hikmah dan pembelajaran. Sudah banyak tulisan tentang pembelajaran berbagai aspek. Kali ini saya akan mengajak Anda mengambil pelajaran dari sisi korporasinya.

Adalah Bali United. Inilah korporasi bola yang pertama kali melantai di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan ini menarik untuk menjadi pelajaran. Kini, 3 tahun setelah melantai, bagaimana perkembangannya? Bagaimana kinerjanya? Bagaimana proses korporatisasinya? Bagaimana masa depannya? Saya akan menuliskannya dalam bentuk poin-poin:
- Bali United dimiliki oleh PT Bali Bintang Sejahtera, selanjutnya disebut BBS, didirikan pada tanggal 3 Desember 2014. BBS bergerak di bidang-bidang jasa keolahragaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada klub sepakbola profesional, bersama dengan kegiatan tambahan terkait.
- Pada akhir tahun 2014, BBS mengakuisisi bisnis klub sepakbola Putra Samarinda (Pusam). BBS kemudian mengubah nama klub dan mendaftarkannya kepada liga sepakbola Indonesia dengan nama “Bali United Pusam”. BBS juga memindahkan homebase klub dari awalnya di Stadion Utama Palaran (Stadion Utama Kalimantan Timur) ke Stadion ke Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, Indonesia. Pada tahun 2016, Perseroan mengubah pendaftaran nama klub menjadi “Bali United”.
- Tahun 2019 BBS melakukan IPO. Prospektus saat itu menyebut bahwa sebelum IPO modal disetor BBS adalah Rp 40 miliar. Pemegang sahamnya terdiri dari 4 perusahaan dan 13 orang. Pemegang saham terbesar adalah PT Bali Peraga Bola dengan 25% saham. Posisi kedua ditempati Pieter Tanuri dengan 20,16% saham. Posisi ketiga dan keempat masing-masing adalah Ayu Patricia Rachmat dan Miranda dengan persentase sama yaitu 9,45%. Selebihnya memegang saham dengan persentase lebih kecil lagi.
- Per 31 Desember 2018 perseroan melaporkan posisi aset sebesar Rp 147 miliar dengan utang Rp 28 miliar. Dengan demikian ekuitasnya adalah Rp 118 miliar yang terdiri dari modal disetor Rp 40 miliar, tambahan modal disetor Rp 90 miliar dan rugi ditahan Rp 13 miliar. Adanya tambahan modal disetor (agio saham) Rp 90 miliar ini menunjukkan bahwa BBS telah melakukan korporatisasi di luar lantai bursa sebelum IPO. Ini pula yang menjelaskan mengapa pemegang sahamnya ada 17 pihak dengan tidak ada pemegang saham pengendali.
- Adanya rugi ditahan bisa dilihat lebih detail dari laporan laba ruginya. Data yang tersedia di prospektus adalah mulai tahun 2016 dengan omzet Rp 26 miliar dan rugi tahun berjalan Rp 8 miliar. Tahun 2017 omzet naik menjadi Rp 53 miliar dengan laba Rp 479 juta. Tahun 2018 omzet kembali naik menjadi Rp 115 miliar dengan laba tahun berjalan Rp 5 miliar. Jadi bisa disimpulkan bahwa rugi ditahan sebagaimana disebut di atas sebesar Rp 5 milyar terjadi sejak perseroan berdiri sampai tahun 2015. Ini menunjukkan perkembangan yang sangat bagus sebagai sebuah perusahaan rintisan dalam menapaki corporate life cycle.
- Pertengahan tahun 2019 BBS melantai dengan menerbitkan 2 juta lembar saham dengan nilai nominal Rp 20 miliar. Saham tersebut laku di pasar dengan nilai Rp 350 miliar. Dengan demikian ada agio saham sebesar Rp 330 miliar dari penerbitan saham melalui IPO ini. Total agio saham menjadi Rp 408 miliar pada neraca akhir 2019.
- Hasil dana IPO cukup mendongkrak kinerja. Omzet tahun 2019 Rp 215 miliar alias naik 87% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikannya bagus, tetapi sejatinya ini kalah jauh dibanding pertumbuhan aset yang naik 369% dari Rp 147 miliar menjadi Rp 543 miliar. Laba naik 140% dari Rp 5 miliar menjadi Rp 7 miliar. Kenaikan laba juga belum sebanding dengan kenaikan aset. Dengan demikian, BBS belum bisa mempertahankan ROA. Sebelum IPO adalah 3,4% yaitu laba Rp 5 miliar dari aset Rp 147 miliar. ROA setelah IPO adalah 1,3% yaitu laba Rp 7 miliar dari aset Rp 543 miliar. Belum bisa mempertahankan ROA adalah salah satu penanda bahwa perusahaan belum menemukan Revenue and Profit Driver (RPD). Menemukan RPD artinya perusahaan sudah mampu mengonversi aset menjadi omzet dan laba dengan kenaikan yang linier.
- Tapi mungkin ada alasan waktu mengingat dana IPO baru diterima pada pertengahan tahun. Untuk itu bisa kita lihat pada periode berikutnya. Tahun 2020 omzetnya Rp 76 miliar dengan laba tahun berjalan Rp 3 miliar. Posisi aset akhir tahun adalah Rp 550 miliar. Asetnya relatif tetap. Artinya, tahun 2020 pun BBS belum bisa menunjukkan kemampuan mengonversi aset menjadi omzet dan laba. Kondisi pandemi menjadi faktor eksternal bisa menjadikan para pemangku kepentingan memahaminya.
- Ditelusuri lebih dalam, ternyata sebenarnya secara operasional perusahaan rugi. Omzet Rp 76 miliar tetapi biaya operasi Rp 157 miliar. Akhirnya perusahaan masih membukukan laba walaupun kecil karena ada pendapatan dari hasil investasi aset finansial sebesar Rp 62 miliar plus ada pendapatan keuangan (sebagian besar dari bunga deposito dan obligasi) sebesar Rp 18 miliar
- Tahun 2021 omzet naik menjadi Rp 199 miliar. Tapi kondisinya masih seperti tahun sebelumnya. Biaya operasional Rp 190 miliar. Perusahaan mencatatkan laba tahun berjalan Rp 194 miliar karena ada pendapatan hasil investasi Rp 171 miliar.
- Bagaimana tahun 2022? Semester pertama perusahaan membukukan pendapatan Rp 175 miliar. Biaya operasional Rp 156 miliar. Tidak ada pendapatan investasi signifikan sehingga laba tahun berjalan Rp 26 miliar. Sumbangan pendapatan keuangan adalah Rp 6 miliar. Ini ada tanda-tanda kondisi membaik. ROA dengan laba setengah tahun 3,3%. Lebih baik dari sebelum IPO. Padahal baru satu semester. Kalau semester kedua kinerjanya serupa ROA akan menjadi 2x IPO.
- Itulah kinerja BBS setelah IPO. Kondisi pandemi masih jadi kendala untuk membuktikan bahwa perusahaan mampu mendayagunakan dana hasil IPO untuk melalui corporate life cycle menjadi korporati sejati. Mampukah BBS? Kita tunggu tahun-tahun yang akan datang.
Artikel ke-385 karya Iman Supriyono ini ditulis di SNF House of Managment pada tanggal 4 Oktober 2022

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Baca juga
Korporasi Raket Yonex
Sejarah Heinekken Hadir di Indonesia
Sejarah Revlon dan Kepailitannya
Sejarah Korporasi
Sejarah Lions Club
Sejarah Hyundai versus Astra
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Sejarah Danone Dari Turki Usmani Hadir ke Indonesia