Jayapura akhir 2006. Di kota yang dihiasi Danau Sentani acara utama saya sebenarnya adalah memberi seminar di Telkom. Tapi dalam hati, ini justru acara biasa. Acara rutin. Yaa..memang ini adalah salah satu rutinitas pekerjaan saya sebagai konsultan. Maka saya harus mencari acara istimewa.
Kata orang, bepergian ke luar kota terasa belum lengkap kalau belum menyantap makanan khasnya. Saya setuju dengan ungkapan ini. Itu pula semangat saya ketika saya berkunjung ke ibu kota propinsi kaya emas ini. Wisata kuliner. Apa yang istimewa? Disana ada papeda, bubur sagu, makanan khas daerah itu.
Setelah seharian menyelesaikan urusan pekerjaan, habis magrib tibalah giliran acara “inti”: menikmati papeda. Makanan yang tidak pernah saya nikmati sebelumnya. Kenikmatan luar biasa. Saya tidak tahu apakah saya sedang menikmati papeda terlezat di Papua atau bukan, tetapi, yang jelas saya sedang menikmati makanan ini untuk kali pertama. Yaa…mungkin seperti temanten baru lah….
@@@
Papeda menginspirasi saya untuk menjawab pertanyaan dari Bu Fatika di Ponorogo. “Assalamualaikum. Trimakasih pd mjlh muzaki yg memberilan rubrik konsltasi keuangan. Saat ini saya mengalami kebingungn dalam hal mengatur keuangan bisnis saya. Saya pernah meminjam uang dari bank, setengah untuk modal bisnis dan setengah lagi untuk investasi. Saya lakukan seperti itu untuk jaga-jaga jika terjadi kemacetan dalam bisnis saya. Pinjaman tersebut sudah selesai. Kini, saya masih punya hutang kepada sales. Saya ingin pinjam uang lagi sebesar 150 juta di bank dengan rekening koran untuk membangun toko dan rumah. Untuk pengembangan bisnis, saya jual lagi investasi saya sebelumnya. Sedangkan untuk membayar pinjaman ke bank dari hasil bisnis sekarang. Apakah langkah-langkah tersebut salah? Jika salah, bagaimana cara yang benar untuk menjalankan usaha dan rencana yang baik agar terhindar dari lilitan hutang dan budak uang.sebelumnya terimakasih banyak atas jawabannya. Fatika, Ponorogo”
Pembaca yang budiman, meminjam uang bagi para pengusaha adalah sebuah kewajiban. Fardlu ‘ain. Mengapa demikian? Logikanya sederhana. Kita sebagai masyarakat, ummat, dan negeri tentu tidak suka berada dalam keterpurukan ekonomi terus menerus. Islampun menuntut ummat ini untuk memiliki kekuatan. Kekuatan ekonomi masyarakat muncul dari bisnis, dari perusahaan-perusahaan. Kekuatan ekonomi negeri adalah gabungan dari kekuatan ekonomi seluruh perusahaan-perusahaan besar dan kecil. Pemerintah memperooleh pendapatan dari memungut pajak perusaan-perusahaan dan dari para pelaku ekonomi pada umumnya.
Bagaimana mengembangkan perusahaan? Tentu dengan menambah modal kerja dan alat-alat yang dibutuhkan. Dari mana uangnya? Ada dua: dari laba dan dari utang. Hanya mengandalkan laba untuk mengembangan bisnis akan menyebabkan kecepatan bisnis berkurang. Kurang cepat. Mengandalkan utang tanpa adanya laba juga tidak mungkin. Tidak akan ada orang mau memberi pinjaman kepada sebuah perusahaan kecuali ada jaminan bahwa perusahaan akan menghasilkan laba yang bisa dipakai untuk membayar utang-utangnya.
Misalnya saja Anda adalah tukang bakso dorong yang menjual bakso dengan sebuah gerobak. Bila satu gerobak lengkap dengan peraslatan berharga Rp 4 juta dan tiap bulan Anda mampu menyisihkan laba (setelah dipotong seluruh kebutuhan termasuk kebutuhan keluarga) Rp 200 ribu, maka dibutuhkan waktu 20 bulan untuk bisa berekspansi membeli sebuah gerobak baru. Lain halnya kalau dengan utang. Begitu bakso dorong Anda sudah diterima pasar kualitasnya standar, segera saja pinjam uang Rp 4 juta. Dengan dua gerobak, tentu saja pendapatannya bisa dua kali lipat. Dengan Rp 400 ribu perbulan, utang bisa dilunasi dalam waktu 10 bulan. Tidak usah menunggu 20 bulan.
Apa salahnya kalau sabar menunggu sampai laba terkumpul? Ketahuilah bahwa kita memiliki tangung jawab yang lebih dari sekedar mencari nafkah untuk diri sendiri. Bila kembali pada contoh pedagang bakso gerobak tadi, satu gerobak mungkin sudah lebih dari cukup untuk memenuhi tanggung jawab memberi nafkah untuk diri dan keluarga. Tetapi ini adalah tanggung jawab minimum. Masih ada tanggung jawab lebih besar: menolong orang lain. Bermanfaat bagi sesama.
Ketahuilah bahwa ada sekitar 40 juta orang menganggur di negeri ini. Ada sekitar 750 ribu orang lulusan perguruan tinggi yang menganggur di negeri ini. Mereka adalah orang yang membutuhkan pertolongan dengan segera. Pertolongan berupa memberi pekerjaan dan gaji bulanan. Tidak bisa ditunda-tunda. Tidak ada yang bisa memberikan pekerjaan kecuali para pengusaha yang bisnisnya berkembang. Pengusaha yang mampu mengembangkan skala bisnisnya terus menerus.
Jadi, bila seorang pengusaha memiliki kealian, produk yang bagus dan terbukti sudah diteima pasar, ia wajib mendayagunakan keahliannya itu untuk menolongn para penganggur. Tidak boleh menunggu terkumpulnya laba. Para penganggur butuh pertolongan segera. Caranya tidak ada lain kecuali dengan mengembangkan bisnis melalui pinjaman. Melalui bank atau lainnya.
Apa yang dilakukan oleh Bu Fatika di Ponorogo ada baiknya dan ada juga buruknya. Baiknya: ia telah meminjam uang untuk mengembangkan usaha. Dengan cara seperti inilah para pengusaha berkontribusi dan bermanfaat bagi sesama. Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Memberi pekerjaan adalah kemanfaatan yang sulit diberikan oleh mereka yang bukan pengusaha.
Buruknya: utang yang mestinya dipakai sepenuhnya untuk mengembangkan bisnis ternyata disalahgunakan untuk kebutuhan konsumtif. Membangun rumah adalah kebutuhan konsumtif yang mengganggu para pengusaha dalam mengembangkan bisnisnya. Modal yang mestinya bermanfaat untuk mengembangkan bisnis yang bisa menampung tenaga kerja baru dan berkontribusi untuk perkembangan ekonomi ummat terampas dengan pembelian rumah.
Buruknya pembelian rumah ini bisa digambarkan dengan papeda. Perlu Anda ketahui, papeda dibuat dari tepung sagu. Tepung sagu diambil dari bagian dalam pohon sagu yang sudah cukup tua, ditumbuk, dilarutkan ke dalam air, dikeringkan, tersisa tepung sagu. Pohon yang belum cukup tua tidak akan menghasilkan tepung sagu yang berkualtias. Atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan tepung sagu.
Jadi, membeli rumah seperti yang dilkan oleh bu Fatika ibarat manebang pohon sagu yang belum cukup umur. Memang mungkin itu adalah pohon sagu yang tumbuh di pekarangan kita sendiri dan karenanya telah menjadi hak milik sendiri. Tetapi, akan lebih baik menunggu cukup umur sehingga bisa menghasilkan tepung yang banyak dan diolah menjadi papeda yang nikmat.
Pohon sagu muda tidak bisa diambil tepungnya seperti buah mangga yang belum cukup umur. Orang jawa menyebutnya pencit. Dimakan masam, bahkan mungkin pahit. Dan yang jelas, dengan memetik pencit, kita kehilangan kesempatan untuk memetik buah mangga ranum yang harum. Menikmati jus mangga yang dingin dan lezat tentu jauh lebih menarik daripada pencit yang masam, pahit dan bikin batuk. Jadi…mari kita menungg saat sagu sudah tua. Saat mangga sudah tua. Berpuasa sampati saat berbuka tiba. Menikmati buka pasa. Menikmati papeda. Menikmati jus mangga. Bukan pencit. Anda tahan berpuasa?
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Muzzaki, terbit di Surabaya sekitar tahun 2006 dengan Judul “Papeda Pencit”
Catatan 2023:
Utang adalah satu-satunya cara untuk pertumbuhan bisnis yang lebih cepat bagi pelaku bisnis perorangan. Tapi utang mengandung risiko yang makin besar seiring dengan meninggatnya rasio antara utang dengan modal sendiri. Bagaimana untuk tumbuh lebih cepat tanpa menanggung risiko makin tinggi akibat utang? Caranya adalah bertranformasi dari bisnis eprorangan menjadi korporasi. Menjalani delapan tahap corporate life cycle untuk akhirnya menjadi korporasi sejati.