Antara Iman dan Pajak


Suatu saat saya berdiskusi dengan seorang direktur sebuah perusahaan. Topiknya adalah pajak. Haruskah sebuah perusahaan membayar pajak apa adanya? Bukankah banyak pelaku bisnis membuat laporan pajak dengan pendapatan perusahaan yang lebih kecil dari yang sesungguhnya? Bukankah tidak henti-hentinya terjadi kasus korupsi oleh para petugas pajak? Bukankah lebih baik membayar pajak sedikit saja lalu sisanya digunakan untuk dana sosial langsung membantu kaum lemah?

Pada diskusi sudah saya sampaikan beberapa argumentasi tentang keharusan membayar pajak seperti yang telah saya tulis di sini. Saya kira argumentasinya sudah cukup. Tetapi tampaknya si direktur masih belum puas. Maka saya tambahkan lagi satu argumentasi yang lebih mendasar.

&&&

Saat menikah tanggal 8 Nopember 1993 saya tidak pindah alamat KTP. Dengan demikian saya masih menikah dengan alamat sesuai KTP di Caruban, Madiun. Karena istri ber-KTP Surabaya maka pernikahan dilangsungkan di KUA kecamatan Gubeng sebagaimana alamat istri. Saya hanya pindah nikah. Tidak pindah alamat KTP.

Setahun kemudian istri melahirkan di RS Haji Surabaya.  Untuk mengurus akta kelahiran di Surabaya saya mengalami kendala sehubungan dengan alamat KTP saya yang di Madiun. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya saya minta tolong seorang bidan di kampung halaman di Caruban untuk menguruskan akta si sulung.

Singkat cerita akta si sulung pun akhirnya jadi. Saya ambil di rumah bapak ibu saya di Caruban. Begitu saya baca ada ternyata ada yang salah. Dalam akta lahir, si sulung tertulis lahir di Madiun. Tidak sesuai fakta bahwa anak sulung saya ini lahir di Surabaya.

Saya tanyakan kepada bidan yang mengurus. Katanya, jika diurus di Madiun memang si sulung harus ditulis lahir di Madiun. Saya pun bicarakan dengan ibunda si sulung.

Singkat cerita saya dan istri sepakat. Jangan sampai mengajarkan dusta kepada si buah hati. Bahaya. Dusta adalah tanda kemunafikan. Padahal saya dan istri sangat berharap si sulung dan semua anak-anak dididik dengan keimanan sejak dari kandungan. Bahkan sejak pernikahan bapak ibunya. Ciri keimanan adalah kesamaan antara hati, kata dan perbuatan. Kata dan fakta sama.

Maka, saya dan istri memutuskan untuk mengurus ulang akta kelahiran si sulung di Surabaya. Tentu saja prosesnya panjang karena harus dimulai dengan saya mengurus pindah alamat KTP dari Madiun ke Surabaya. Berubah status kependudukan dari Madiun ke Surabaya.

Tentu saja saya harus wira-wiri Surabaya-Caruban. Padahal ketika itu saya masih mahasiswa. Istri juga masih mahasiswa.  Dan kami berdua sejak nikah sudah sepakat untuk tidak merepotkan orang tua. Artinya, saya sebagai suami bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kebutuhan nafkah keluarga. Termasuk untuk kepentingan kuliah saya dan istri. Jadi anggaran mengurus ulang akta adalah beban finansial yang tidak ringan.

Masih ingat ada sebuah episode kehidupan ketika itu. Saya sedang berangkat membawa barang dagangan berupa brem makanan tradisional madiun. Berangkat naik motor dari rumah di kawasan kampus ITS menuju pasar Turi. Di tengah jalan ban depan motor gembos. Saya tuntun motor dengan muatan kardus besar bekas kardus rokok Gudang Garam menuju tukang tambal ban terdekat.

Begitu diperiksa oleh tukang tambal ban, malang sekali ternyata ban luar sudah berlubang karena tipisnya. Lubangnya tembus ke ban dalam. Saya periksa isi dompet. Tidak ada uang yang cukup untuk mengganti ban luar. Akhirnya atas saran tukang tambal ban, ban luar yang berlubang diberi rangkap dari dalam dengan guntingan ban luar bekas. Dalam bahasa kampung teknik itu disebut dikampas. Lalu ban dalam ditambal seperti biasa. Jadilah motor kembali bisa dinaiki walaupun jalannya tidak langsam karena ban luarnya benjol akibat dikampas.

Nah, dalam kondisi untuk beli ban motor saja kesulitan, saya dan istri memutuskan untuk mengurus ulang akta kelahiran untuk si sulung. Secara biaya sangat berat bagi kami ketika itu. Tapi hati kami ringan saja. Mengapa? Karena kami melakukannya dengan kesadaran penuh untuk pendidikan keimanan bagi si buah hati. Orang beriman adalah orang yang hati, kata  dan perbuatannya jadi satu. Kata dan fakta jadi satu.

Akta kelahiran adalah kata-kata tertulis. Tertulis lahir di Madiun. Faktanya lahir di Surabaya. Ini adalah menipu. Ini adalah dusta. Adalah sifat orang munafik. Harus ditinggalkan walaupun harus melakukan proses yang secara ekonomi masih saya rasakan berat.

Singkat cerita, akta lahir yang benar pun jadi. Tertulis lahir di Surabaya. Persis sesuai fakta bahwa si sulung memang lahir di Surabaya. Menyatu antara kata dan fakta. Akta yang salah pun saya buang. Si sulung hanya pegang akta lahir yang benar sampai saat ini.

&&&

Membayar pajak apa adanya dirasakan berat oleh si direktur. Ada banyak alasan. Tapi kemudian saya sampaikan argumentasi yang sangat mendasar. Tidak lain adalah tentang karakter orang beriman versus orang munafik.

Pajak dibayar sesuai dengan laporan si wajib pajak sendir karena sifatnya self assesment.  Bentuknya adalah laporan laba rugi dan neraca. Membayar pajak lebih rendah dari yang semestinya mesti diikuti dengan laporan yang keuangan yang juga lebih rendah dari sesungguhnya. Misalkan saja omset 100 disampaikan hanya 80. Laba 20 dilaporkan hanya 10. Aset 150 dilaporkan hanya 120. Yang seperti ini adalah berdusta. Yang dikatakan secara tertulis tidak sesuai dengan fakta. Adalah tanda kemunafikan.

Bagaimana bagi wajib pajak yang berpegang teguh pada nilai keimanan? Omzet 100 dilaporkan 100. Laba 20 dilaporkan 20. Aset 150 dilaporkan 150. Apa yang dilaporkan (dikatakan secara tertulis) sama persis dengan apa yang ada di kenyataan. Bersatunya antara hati, kata dan perbuatan.

Untuk menguatkan argumentasi saya ceritakan kisah di atas. Saya sampaikan bahwa si Sulung yang alumni sastra mandarin Jiangxi Normal University itu kini mendapat kepercayaan besar dari perusahaan tempat dia bekerja. Sebuah perusahaan multinasional. Kariernya moncer karena integritasnya. Mampu menepis berbagai godaan. Termasuk godaan uang cashback  besar untuk keputusan pemilihan pemasok perusahaan oleh si sulung.

Bagi seorang direktur, membaut laporan keuangan untuk pajak yang tidak sesuai fakta adalah sebuah dusta. Adalah perbuatan munafik. Tentu saja harus dihindari jauh-jauh oleh para direktur yang ingin berpegang teguh kepada keimanan. Walaupun konsekuensinya membayar pajaknya lebih tinggi. Konsekuensinya berat secara keuangan.

Tapi kepada si direktur saya ceritakan sebuah perumpamaan dari Hadits nabi. Bahwa memegang teguh keimanan itu seperti memegang bara di tengah perjalanan dalam kegelapan malam. Bara dipegang jalanan akan menjadi terang. Tapi rasanya panas membakar. Bara dibuang maka panas hilang. Tapi jalanan gelap. Orang beriman akan tetap memegang bara penerang walaupun terasa panas membakar.

Antara pajak dan iman: jangan salah bersikap.

Pembaca yang baik, si sulung yang diajari memegang teguh pada kejujuran berbuah karier yang manis. Buah manis dari keimanan. Beban pajak yang lebih lebih besar karena membaut laporan sesuai fakta juga akan berbuah manis. Perusahaan bisa memetiknya melalui intangible asset yang besar. Selanjutnya intangible aset bisa diuangkan melalui proses korporatisasi untuk menjadi korporasi sejati. Buah manis keimanan.

Jangan sampai urusan pajak menggelincirkan kita dari posisi orang beriman menjadi orang munafik.  Bahkan ketika di luar sana banyak orang yang tak peduli. Bahkan ketika di luar ada saja petugas pajak yang tertangkap korupsi.  Biarkan mereka. Itu urusan mereka dengan KPK. Itu urusan mereka dengan Tuhannya. Kita tetap fokus bekerja keras untuk mencapai rida-Nya. Membangun korporasi sebagai rahmat bagi sekalian alam alias rahmatan lil alamin. Pegang baik-baik pelajaran antara iman dan pajak. Bisa!

Artikel ke-437 karya Iman Supriyono ini ditulis SNF Consulting House of Management pada tanggal 7 Januari 2024.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

2 responses to “Antara Iman dan Pajak

  1. Terima kasih insightnya Cak. Tapi analogi si sulung yang menjadi karyawan yang tanggung jawabnya sedikit dan dibandingkan dengan Pemilik bisnis yang tanggung jawabnya sangat bejibun adalah tidak sepadan. Saya tanya balik, SNF konsultan sendiri apakah 100% patuh dengan kewajiban perpajakan?

Tinggalkan komentar