Closed Loop Economy atau Rahmatan Lil Alamin?


Semir Kiwi alias Kiwi Shoe Polish lahir di Australia tahun 1906 dari tangan William Ramsay dan  ekspatriat asal Skotlandia Hamilton McKellar.  Nama Kiwi diambil dari nama sebuah burung khas Selandia baru, negeri asal Annie  Elizabeth Meek, istri Ramsay.

Pertama kali, Kiwi dibuat di sebuah pabrik kecil di Melbourne yang sebelumnya telah menghasilkan beberapa produk lain sejak tahun 1904. Pada awal kelahirannya, Kiwi bersaing dengan pendahulunya Punch  yang dibuat di Irlandia sejak tahun 1851 dan Erdal buatan Jerman sejak tahun 1901.

Kiwi hadir di pasar sebagai semir modern ketika itu.  Produk yang membuat sepatu kulit menjadi mengkilap. Dipasarkan pertama kali untuk para petani yang biasa menggunakan sepatu boot. Ramsay  menggunakan kuda untuk mengangkut semir dalam menjualnya. Dalam setahun pertama hanya 86 kemasan Kiwi terjual.

Tahun 1908 Kiwi meluncurkan varian Kiwi Dark Tan. Formulanya diperkaya dengan bahan yang lentur dan tahan air. Ini menjadikan Kiwi dipandang sebagai produk terbaik. Berbagai variasi warna diluncurkan. Kiwi Dark Tan menjadi momen kesuksesan Kiwi di pasar.

Ramsay selalu percaya bahwa Inggris adalah pasar yang sebenarnya. Untuk itu ia memulai mengirimkan produk kepada saudara sepupunya  yang juga bernama William Ramsay.  Berkat sepupu yang yang berprofesi sebagai sales eksekutif perusahaan komoditas jagung ini, Kiwi pun mulai dijual di Inggris. Tahun 1912 Kiwi mulai diproduksi di pabriknya yang berlokasi Verulam Street nomor 18 London, dengan 3 pegawai.

Sang pendiri meninggal tahun 1914 pada  usia 47 tahun. Bisnis Kiwi terus berkembang dengan dilanjutkan oleh anak, saudara  dan istri pendiri. Antara tahun 1914 dan 1924, distribusi Kiwi telah memasuki hampir 50 negara.

Di bawah pengelolaan SC Jonson, saat ini Kiwi menjadi merek semir sepatu utama dunia. Menguasai pasar lebih dari 180 negara. Termasuk Indonesia. Di Singapura dan Malaysia, masyarakat menjadikan “kiwi” sebagai sebuah kata kerja yang bermakna menyemir sepatu.

&&&

Belakangan, beberapa komunitas mewacanakan konsep closed loop economy.  Beberapa tokoh Persyarikatan Muhammadiyah juga menggulirkan wacana ini. Intinya adalah bagaimana para warga komunitas bisa menghasilkan produk baik barang maupun jasa untuk kebutuhan warga komunitas tersebut. Dengan demikian sesama warga saling membeli produk warga yang lain. Ekonomi pun berputar hanya pada komunitas tersebut.

Jika memang produk Anda bagus, mengapa tidak disebarkan kemanapun tanpa membatasi diri dengan sekat-sekat bangsa seperti semir sepatu Kiwi?

Tepatkah konsep seperti itu? Sejarah semir sepatu Kiwi bisa menjadi pelajaran. Sejak awal diproduksi, Kiwi sudah berpikir bahwa produk yang bagus akan dibutuhkan oleh masyarakat sedunia. Dalam terminologi Islam, produk yang bagus akan menjadi rahmatan lil alamin. Menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bagi seluruh dunia.

Pendiri Kiwi berimigrasi ke Australia bersama keluarganya dari Glasgow, Inggris, pada saat masih berumur 9 tahun. Faktor ini lah yang sangat mendukung pemikirannya bahwa pasar sesungguhnya bagi Kiwi adalah Inggris. Dan semua orang tahu bahwa Inggris adalah negeri yang dikenal memiliki koloni dimana-mana. Wajar jika ini mewarnai jalan pemikiran pendiri Kiwi.

Nah, apakah tradisi berwawasan internasional itu hanya monopoli orang inggris?  Tidak juga. Para pendiri negeri ini pun adalah orang-orang yang pada umumnya berpendidikan luar negeri. Pendiri persyarikatan pun berpendidikan di luar negeri. Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini pun berasal dari Makah. Ibadah haji dan umroh pun mestinya menjadi penguat visi internasional para pelaku bisnis negeri ini.

Dengan demikian, mestinya para pelaku bisnis juga sejak awal sudah berpikir bagaimana menghasilkan produk berkualitas yang dibutuhkan oleh umat manusia tanpa pandang suku dan bangsa. Produk rahmatan lil alamin. Seperti Kiwi. Bukan produk yang hanya dibeli oleh komunitasnya sendiri.

Pembaca yang baik, jika Anda memakai sepatu kulit, kemungkinan besar Anda adalah konsumen Kiwi. Saat menyemir sepatu, pastikan Kiwi dan sejarahnya menjadi inspirasi. Bagi para pelaku bisnis, siapkan produk berkualitas yang bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam. Bukan hanya untuk komunitas sendiri.  Bukan produk closed loop economy.  Tapi produk rahmatan lil alamin.

Artikel ke-435 karya Iman Supriyono ini ditulis SNF Consulting House of Management, Surabaya, untuk dan diterbitkan oleh Majalah Matan edisi Januari 2024.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

2 responses to “Closed Loop Economy atau Rahmatan Lil Alamin?

  1. saya pakai Cololite, sayang sejarahnya susah dicari di internet

  2. Ping-balik: Antara Iman dan Pajak | Korporatisasi

Tinggalkan komentar