IPO Ayam Nelongso: Tanda Tanya Besar


Februari ini PT Bersama Mencapai Puncak dengan merek Ayam Goreng Nelongso, selanjutnya disebut AGN,  dijadwalkan melakukan IPO. Sebagaimana dinyatakan dalam prospektus, AGN akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 225 juta lembar saham melalui IPO dengan nilai sekitar Rp 62 miliar.  Dengan demikian setelah IPO proporsi saham yang dipegang publik adalah sebesar 20% dari total 1,125 miliar lembar saham yang diterbitkan .

Bersamaan dengan IPO AGN juga menerbitkan waran dengan hak membeli 225 juta lembar saham. Dengan demikian proporsi saham dari eksekusi waran adalah 16,67% dari total modal setor setelah penerbitan saham sesuai waran. Waran akan dilaksanakan dengan harga Rp 400 alias total waran bernilai Rp 90 miliar. Dengan demikian total dana dari IPO dan eksekusi waran adalah sekitar Rp 152 miliar.

Setelah eksekusi waran, jumlah saham baru yang diterbitkan adalah 450 juta lembar. Total lembar saham akan menjadi 1,35 miliar lembar. Dengan demikian total dilusi saham IPO dan waran adalah 450 juta lembar dibagi 1,35 miliar lembar yaitu 33,3%. Hanya tersisa 16,7% saham sebelum mencapai titik kritis korporatisasi  yaitu saat para pendiri kehilangan kontrol terhadap perusahaan karena sahamnya sudah tidak lebih dari 50%.

Pemegang saham sebelum IPO ada 3 pihak. Masing-masing adalah PT Anak Baik Sejahtera sebesar 888,9 juta lembar. Nanang Suherman dengan 7,78 juta lembar. Yeni Isnawati dengan 3,32 juta lembar.

Bagi para investor, pertanyaan yang selalu muncul ketika sebuah perusahaan melakukan IPO adalah sama. Baguskah perusahaan ini? Apakah sahamnya menarik untuk dikoleksi? Pertanyaan ini sudah dibahas dalam forum Bincang Santai Korporasi (BSK) seri ke 42 oleh SNF Consulting di mana saya menjadi nara sumbernya.  Forum melalui Zoom tersebut menyimpulkan adanya tanda tanya besar terhadap IPO AGN ini. Mengapa tanda tanya besar? Paling tidak ada 4  pemicu.

Pemicu pertama adalah tentang pemborosan dilusi. Dilusi sebesar 33,3% untuk memperoleh dana sekitar Rp 152 miliar bisa disebut boros. Boros dalam dilusi. Sebagai perbandingan, saat IPO tahun 2009 PT Sumber Alfaria Trijaya (Alfamart) menerbitkan 333,177 juta lembar dengan harga Rp 425-Rp475 per lembar. Jumlah lembar tersebut adalah 10% dari total lembar saham Alfamart setelah IPO. Penerbitan 10% menghasilkan dana sekitar Rp 150 miliar uang tahun 2009.

Setelah IPO Alfamart beberapa kali melakukan rights issue di lantai bursa. Saat ini saham PT Sigmantara Alfindo sebagai representasi pendiri masih memegang 52% saham. Total dana yang telah masuk melalui penerbitan saham baru baik IPO maupun rights issue setelah IPO adalah sekitar Rp 2,5 triliun.

Pemicu kedua adalah tentang sisa 16,7% menuju titik kritis korporatisasi sebagaimana data di atas. Mencapai titik kritis korporatisasi artinya pendiri kehilangan kontrol terhadap perusahaan. Padahal pada perusahaan mana pun pendiri adalah orang yang paling tahu, paling memiliki kemampuan, dan paling tinggi daya juangnya terhadap eksistensi perusahaan.

Dengan total 64 gerai sebagaimana dalam prospeksut, bisa dipastikan bahwa jumlah level jabatan masih sedikit. Jauh dari angka ideal sebesar lebih dari 20 level.  Dengan demikian perbedaan kemampuan antar level jabatan masih tinggi. Jika pendiri karena suatu dan lain hal berhenti atau diberhentikan oleh RUPS karena sudah tidak memegang saham pengendali, anak buahnya belum bisa menggantikan posisinya dengan baik. Akan membahayakan eksistensi perusahaan.

Pemicu ketiga adalah tentang penggunaan dana hasil IPO. Dari prospektusnya, seluruh dana yang dihasilkan akan digunakan untuk perbaikan operasional. Rinciannya 63,82% untuk belanja operasional (bahan baku, pengembangan produk, marketing, branding), 22,54% untuk renovasi outlet, 10,16% untuk perpanjangan sewa outlet, dan 3,48% untuk pembelian mesin dan kendaraan operasional.

Artinya, 100% dana IPO adalah untuk perbaikan operasional.  Bukan untuk ekspansi menambah gerai yang menghasilkan peningkatan pendapatan dan laba. Akibat akhirnya ROA ROE dan ROI pendiri akan turun.

Dalam laporan keuangan teraudit disampaikan bahwa tahun 2020, 2021, 2022 dan semester pertama 2023 perusahaan memperoleh laba. Laba artinya seluruh biaya operasional sudah bisa ditanggulangi oleh pendapatan. Termasuk biaya sewa dan renovasi. Jadi, mestinya perusahaan tidak perlu dana dari penerbitan saham baru melalui IPO untuk renovasi dan sewa.

Ambil contoh semester pertama tahun 2023. Omzetnya adalah Rp 99 miliar (pembulatan). Beban pokok penjualan adalah Rp 70 miliar. Laba kotor adalah Rp 26 miliar. Pada beban pokok penjualan ini ada unsur bahan baku. Maka, jika operasional perusahaan berjalan dengan baik, mestinya perusahaan tidak perlu dana tambahan untuk bahan baku.

Beban usaha Rp 15 miliar. Dalam beban usaha ada depresiasi aset hasil renovasi. Ada biaya sewa yang dipotongkan dari aset sewa dibayar di muka karena pada umumnya jangka waktu sewa gedung gerai pasti lebih dari setahun. Artinya, jika perusahaan berjalan dengan baik, depresiasi dan biaya sewa yang bukan transaksi tunai menghasilkan peningkatan kas yang nilainya cukup untuk renovasi maupun perpanjangan sewa.  Munculnya item perpanjangan sewa dan renovasi pada penggunaan dana IPO menunjukkan bahwa mekanisme ini tidak berjalan. Ada masalah.

Pemicu keempat adalah  tentang market cap yang kecil. Harga penawaran IPO adalah Rp 268 per lembar. Dengan jumlah  total lembar saham 1,125 miliar lembar maka nilai pasar (market cap) AGN adalah sekitar Rp 301 miliar.  Ini termasuk sangat kecil dalam ukuran Bursa Efek Indonesia.

Pengalaman perusahaan yang telah IPO dengan market cap kecil harganya terombang ambing di pasar. Seperti perahu sampan yang berlayar di samudera Atlantik yang ombaknya setinggi 10 meter. Saham NAYZ misalnya saat ini berharga pasar Rp 18 per lembar. Harga ini jauh di bawah harga IPO Rp 100. Kondisi seperti ini menjadi penghambat rights issue jika NAYZ butuh dana ekspansi lagi. Perusahaan mengalami apa yang disebut IPO Trap. Desakan operasional apakah yang mengakibatkan perusahaan berani menantang risiko besar IPO Trap?

Kecuali jika IPO ini memang dimaksudkan untuk exit. Pendiri atau investor pra IPO akan menjual sahamnya. Tapi jika ini terjadi tanda tanya besarnya akan semakin besar. Jika pendiri dan investor pra IPO yang paling paham tentang isi perusahaan saja keluar, ada masalah apakah gerangan?  Bagaimana pula nasib investor yang membeli saham saat IPO atau setelah IPO?

Itulah empat pemicu tanda tanya besar IPO AGN. Semoga manajemen, pendiri dan investor pra IPO bisa menjawab tanda tanya besar ini dengan baik. Bisa menyelesaikan pemicu tanda tanya besar dengan baik. agar AGN selamat dari IPO trap. Agar AGN terhindar dari tangan para perampok budiman. Agar AGN bisa menjadi korporasi sejati yang membanggakan negeri merah putih. Semoga.

Ditulis di Jakarta pada tanggal 25 Januari 2024 oleh Reno Adrian, konsultan pada SNF Consulting

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga:
BAHAYA IPO UKM
MENGAPA CROWDFUNDING BERMASALAH?
GLORIFIKASI IPO
SAHAM ZATA MENGAPA GOCAP?

1 responses to “IPO Ayam Nelongso: Tanda Tanya Besar

  1. Ping-balik: Mengapa Nilai XXI Turun Drastis? | Korporatisasi

Tinggalkan komentar