Anda entrepreneur? Jangan pernah menyebut diri sebagai UKM atau UMKM. Jangan pernah melabeli diri sebagai UKM atau UMKM. Jangan! Mengapa? Berikut ini alasannya.
Pertama, menyebut diri berulang-ulang adalah sebuah afirmasi. Menyebut berulang-ulang dalam jangka jangka panjang adalah penguatan afirmasi. Afirmasi akan masuk alam bawah sadar dan akan menuntun Anda menjadi apa yang Anda afirmasikan itu.
Bagi Anda yang muslim, perhatikan sebuah hadits qudsi sahih ini. “Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku”. Menyebut diri berulang-ulang adalah bentuk kuat dari sebuah persangkaan. Sang Khalik pun akan menjadikan Anda sebagai UKM.
Kedua, seperti pada tulisan-tulisan saya sebelumnya, “ikan kecil” akan menjadi mangsa “ikan besar”. Perusahaan kecil akan terpinggirkan di era crowding effect dan career coice effect. Akan mati di era monopolistik. Itulah dunia bisnis. Maka, pernyataan “lebih baik menjadi kepala ikan kecil dari pada sirip ikan besar” adalah kesalahan. Yang betul adalah “lebih baik menjadi sirip ikan besar dari pada kepala ikan kecil”.

Korporatisasi versus mental UKM. Perusahaan akan membesar jika melakukan korporatisasi. Korporatisasi butuh mental kelas dunia. Bukan mental UKM
Perusahaan kecil tidak mungkin menjadi prinsipal. Sekedar contoh, menjadi prinsipal mobil seperti Toyota membutuhkan aset sebesar sekitar Rp 6 750T. Maka kalau aset hanya seukuran bengkel, seperti mobnas Esemka misalnya, jangan harap bisa jadi perusahaan prinsipal alias pemilik merek mobil. Menyebut-nyebut diri sebagai UKM hanya akan menjauhkan diri Anda dari visi sebagai perusahaan prinsipal.

Di laut, ikan kecil menjadi mangsa ikan besar. Demikian pula di dunia bisnis
Pelajarilah sejarah perusahaan-perusahaan yang kini produksinya dipakai masyarakat seluruh dunia. Tidak ada satupun mereka yang pernah menyebut diri sebagai UKM. Tidak ada yang melabeli diri sebagai UKM. Bahkan sejak kelahirannya yang berawal dari sang pendiri bekerja seorang diri. Tanpa siapapun. Fakta boleh kecil. Tetapi mental mereka besar.
Ketiga, ukuran kecil pada era korporatisasi adalah kelemahan dalam skala ekonomi dan branding. Sebagai analogi, Andai saja Anda ditakdirkan menjadi anak yatim, menyebut-nyebut diri sebagai anak yatim akan cenderung membuat orang lain iba. Sikap iba ini akan cenderung membuat Anda semakin dimanjakan oleh lingkungan. Ujung-ujungnya Anda akan menjadi semakin lemah.
Boleh saja Anda adalah anak yatim. Itu adalah sebuah fakta dan takdir yang tidak bisa ditolak. Yang penting, jangan biarkan mental Anda terhambat dan terkungkung oleh fakta tersebut.
Maka, andai perusahaan Anda memang masih kecil atau bahkan sangat kecil, biarkanlah itu sebagai sebuah fakta belaka. Sesuatu yang tidak bisa disangkal. Tapi, pastikan bahwa mindset dan mental Anda tidak kecil. Anda tidak rendah diri dengan fakta itu. Anda juga tidak perlu bangga dengan fakta itu. Tidak usah disebut-sebut. Pastikan mindset, mental, dan visi Anda adalah perusahaan prinsipal yang besar dan menguasai pasar berbagai negara. Seperti Toyota.
Bahwa Toyota dulu juga dimulai dari kecil tentu tidak bisa dibantah. Tapi visi besar menjadikannya melakukan proses korporatisasi secara terus-menerus. Yang dilakukan adalah tidak pernah berhenti mengajak masyarakat luas untuk memasukkan uangnya melalui penerbitan saham baru menambah aset perusahaan. Tidak henti-hentinya mengajak orang lain untuk masuk dalam “jamaah ekonomi” sehingga saat ini tidak ada lagi pesaham pengendali. Toyota menjadi sebuah fully public company beraset raksasa penguasa pasar dunia.

Seorang entrepreneur harus bermental CEO. Bukan mental UKM
Sebagai penutup, saya punya adik perempuan yang cacat. Kaki kanannya kecil dan tidak bisa ditekuk. Sebelum kuliah, ia minder. Merasa cacat dan diperlakukan sebagai orang cacat oleh lingkungannya. Rasa minder itu berakhir saat kuliah sekampus dengan saya di ITS, Surabaya. Si adik ini saya yakinkan dengan kemampuannya untuk belajar naik sepeda motor. Singkat kata ia setuju untuk belajar naik motor. Tidak butuh waktu lama untuk mengajarinya.
Sebagai calon insinyur mesin, saya pesan kepada mahasiswa Biologi ini. Saya sampaikan bahwa dengan kondisinya kakinya, ia hanya bisa mengerem motor dengan tangan. Ketika itu belum ada motor matic. Kakinya tidak bisa menginjak pedal rem. Dalam kondisi seperti itu, kecepatan aman berkendara maksimum adalah sekitar 30 km/jam. Tidak boleh lebih. Tetapi kecepatan itu sudah jauh lebih cepat dari pada naik kendaraan umum. Berbekal pesan itulah kemudian ia menjadi mahasiswa aktivis dan mandiri. Kemana-mana naik sepeda motor.
Saat lulus dari ITS saya tanya, apa hal paling besar diperolehnya dari kampus teknologi itu. Jawabnya, “Saya tidak merasa cacat. Kawan-kawan saya juga tidak pernah melihat saya sebagai orang cacat. Saya jadi orang yang sangat percaya diri”. Hikmah seperti itulah akan dirasakan kawan-kawan entrepreneur yang tidak pernah merasa minder, menyebut diri, dan diperlakukan sebagai UKM.
Anda mau menjadi perusahaan sekelas Toyota? Sejak saat ini berhentilah menyebut atau melabeli diri sebagai UKM atau UMKM. Ya, sejak sekarang!
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Ditulis di ruang tunggu Bandara Sepinggan, 25 Oktober 2018 oleh Iman Supriyono, direktur dan konsultan senior pada SNF Consulting.
Semoga sukses terus Pak Iman SNF, salam kenal saya anton dari nandurwit.com
Sukses juga untuk sampean. Salam kenal kembali
Saya akan sukses hari ini💪
Bismilla
Ping-balik: Entrepreneur, Jangan Menyebut Diri Sebagai UKM – Blog HIPSI
Ping-balik: Start Up & OFO Bike: Bakar Uang, Pailit, Exit Strategy | Catatan Iman Supriyono
ITS, ketika masih jadi kampus perjuangan. hahaha… Semua mahasiswanya diam2 menyeret bebannya masing2, tp dari luar hanya tampak calon2 juara yg ga kenal lelah mencoba jadi yang terbaik. Salam dari A38, arsitektur ITS. Kunjungi website saya di leilinorarchitect.com yaa… Vivaaaat…
siiip. Salam balik dari M33. sukses selalu
Ping-balik: Start Up, Bakar Uang, Pailit & Exit Strategy: OFO Bike – SNF Consulting
Perjuangan pengusaha apalagi seorg peempuan… Harus pinter bagi waktu… Owner harus tau semua prosess pekerjaannya.
Salam pejuang pengusaha.
Siip. Tapi dalam badan hukum PT tidak ada owner