Puasa tidak makan atau minum sejak subuh sampai magrib bagi banyak orang itu biasa. Yang biasa ini harus diterjemahkan menjadi makna yang luar biasa. Memiliki pengaruh yang luar biasa. Memberi manfaat yang luar biasa.
Puasa infak. Ini adalah salah satu makna luar biasa itu. Bagaimana luar biasanya? Mari kita lihat data prestasi penghimpunan zakat infak sedekah sebagaimana ditampilkan pada dokumen statistik zakat nasional tahun 2019. Dokumen yang diterbitkan oleh BAZNAS itu menyebut bahwa zakat infak sedekah yang terkumpul adalah Rp 10,23 triliun. Dari jumlah tersebut Rp 3,38 triliun di antaranya adalah berupa infak atau sedekah.
Yang berupa zakat sifatnya wajib dan ketentuan penyalurannya juga sudah tegas. Sudah tidak bisa diutak-atik. Yang menarik adalah yang berupa infak atau sedekah. Nilainya Rp 3,38 triliun. Ini menarik sekali untuk dilakukannya sebuah puasa infak.
Mengapa puasa infak? Sebagaimana diketahui, infak sifatnya konsumtif. Tahun 2019 terkumpul Rp 3,38 triliun, tahun itu juga dana dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Sifatnya konsumtif. Jika di sebuah perusahaan seperti sebuah belanja operasional. Operational expenditure alias opex. Sifatnya tidak mengembangkan perusahaan. Yang mengembangkan adalah capital expenditure alias capex.
Mengingat infak sifatnya sunah, sebenarnya orang tidak berinfak pun tidak masalah. Maka, dibutuhkan sebuah puasa infak untuk menghindari sifat konsumtif dari infak. Puasa untuk menghindarkan “melayangnya” dan Rp 3,38 triliun itu. Puasa bagi mereka yang selama ini biasa menerimanya. Puasa bagi amil yang selama ini mendapatkan porsi 12,5% dari dana itu sebagaimana ketentuan Undang-Undang Zakat.
Puasa infak? Masak orang mau berinfak saja tidak boleh. Masak mau mengharap pahala saja tidak boleh? Bukan tidak boleh. Tetapi ada satu skema dari Islam yang jauh lebih powerful untuk solusi masalah sosial dan bisnis sekaligus secara berkelanjutan. Skema itu adalah wakaf. Berkarakter sebagai capex.

Puasa bagi amil artinya adalah kehilangan 12,5% dana tersebut. Artinya, amil yang tahun 2019 menerima uang Rp 422 miliar dari haknya atas penghimpunan infak itu harus puasa. Tidak menerima lagi dana itu karena memang dana infak sebesar itu disetop. Tentu saja ini akan berat. Tetapi ya begitulah karakter puasa. Berat dilakukan tetapi dengan balasan yang juga kelas berat.
Lalu mengapa disetop? Bukan benar-benar disetop. Tetapi diubah skemanya. Semula infak diubah menjadi wakaf. Nah, wakaf inilah yang akan menghasilkan balasan kelas berat itu. Balasan yang menjadi solusi atas dua permasalahan sekaligus. Masalah sosial. Sekaligus masalah pertumbuhan ekonomi. Masalah sosial diselesaikan dengan hasil investasi dana wakaf yang imbal hasil alias ROI-nya akan terus naik dalam jangka panjang. Masalah ekonomi diselesaikan dengan dana wakaf yang diinvestasikan untuk pertumbuhan berbagai perusahaan berbagai bidang melalui skema ekuitas. Skema yang telah terbukti menjadi energi pertumbuhan yang aman dan berkelanjutan sepanjang sejarah korporasi.
&&&
Berikut ini deskripsi puasa infak itu. Asumsinya tiap tahun amil tetap mengumpulkan dana Rp 3,38 triliun. Tahun pertama puasa maka amil tidak mendapat jatah sama sekali dari uang yang dihimpunnya sebesar Rp 3,38 triliun itu. Semua dana yang dihimpun diinvestasikan. Tahun kedua amil tetap menghimpun dana Rp 3,38 triliun dan semua juga diinvestasikan. Tapi investasi dana tahun pertama telah menghasilkan investasi Rp 338 miliar jika diasumsikan ROI 10%. Maka hak nazir, pengelola wakaf, bukan lagi amil, adalah Rp 3,38 miliar alias 10% dari hasil investasi, sesuai dengan Undang-undang wakaf. Tahun ketiga penghimpunan tetap. Investasi dana penghimpunan tahun pertama dan kedua menghasilkan jatah nazir sebesar Rp 6,74 miliar alias 2% dari penghimpunan dana tahunan. Demikian terus sampai pada tahun ke-14 maka hak nazir telah menjadi 13% dari penghimpunan dana tahunan alias Rp 439 miliar. Lebih besar dari pada hak andai infak tidak diubah menjadi wakaf yang sebesar 422 miliar. Pada tahun itulah nazir telah “berbuka puasa”. Demikian seterusnya pada tahun ke-26 hak nazir telah menjadi 25% dari penghimpunan tahunan alias 2x lipat dibanding hak jika dana tetap dengan skema infak.
Besaran itu akan terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Artinya, nazir akan makin sejahtera. Tentu kenaikan ini juga dinikmati oleh pihak-pihak yang berhak menerima santunan. Dan, yang lebih penting, sudah terakumulasi aset wakaf sebesar Rp 87,88 triliun. Inilah kekuatan ekonomi umat yang powerful sebagai balasan dari puasa infak. Semoga ada amil yang tergerak mengeksekusinya. Menambah amanah sebagai nazir. Puasa infak. Ekonomi umat pun meroket. Amin.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga:
Wakaf modern untuk pertumbuhan ekonomi
Kesalahan wakaf saham
Wakaf untuk beasiswa abadi
Wakaf uang
Stop kotak infaq, tumbuhkan kotak wakaf
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
*)Artikel ke-320 karya Iman Supriyono ini juga dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi April 2021
Pak, ini maksud nya dana wakaf dibelikan saham di BEI ?
Bisa di BEI bisa di luar BEI tapi yang primary market
Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi
Ping-balik: Bunga 10% Murah Atau Mahal? | Korporatisasi
Ping-balik: Wakaf Korporat: Nazir Sebagai Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi
Ping-balik: Wakaf Korporat: Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi
Ping-balik: Mematematikakan Untuk Memudahkan: Obituari Pak Towik | Korporatisasi
Ping-balik: Bu Prayogo: Obituari Guru Yang Membawa Visi Global Untuk Muridnya | Korporatisasi
Ping-balik: Sensei Munzaid: Obituari Untuk Seorang Guru Pengukir Jiwa | Korporatisasi
Ping-balik: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi
Ping-balik: Aset Emas: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi
Ping-balik: Uang Kasur Uang Kasir Pak Sis | Korporatisasi
Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi
Ping-balik: ACT, Lions Club dan Sejarah Melayani 200 Negara | Korporatisasi
Ping-balik: Hayyu x ACR: Perusahaan Dakwah | Korporatisasi
Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi