Harvard Management Company alias HMC. Pada tahun 2016, perusahaan investasi milik Harvard University ini melaporkan nilai aset sebesar USD 35,7 Milyar alias Rp 375T dengan kurs Rp 13 300,-. Dalam 20 tahun terakhir, aset ini rata-rata mendatangkan imbal hasil sebesar 10,4% per tahun. Kontribusi besar bagi biaya operasional kampus bergengsi ini.

Berupa apa saja aset sebesar itu? Sebagian besar, 49%, berupa saham di berbagai perusahaan yang melakukan proses korporatisasi. Ini yang menjadikan Harvard sebagai sebuah institusi pendidikan memiliki hubungan dekat dengan dunia bisnis. Terbesar kedua, 14,5%, adalah aset properti yang disewakan. Sisanya berupa obligasi, sumber daya alam dan skema investasi aman lainnya.
Dari manakah Harvard memiliki aset sebesar itu? Tentu bukan hasil sulapan. Dana sebesar ini dikumpulkan dari dolar demi dolar endowment fund sejak 1974. Endowment fund adalah sumbangan dari para simpatisan dengan akad sebagai dana abadi alias wakaf.
&&&
Endowment fund alias wakaf. Keduanya mengandung pengertian yang secara ekonomi sama. Orang yang menyumbangkan asetnya dengan maksud agar dikelola dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Asetnya sendiri mesti dijaga tetap tidak dikurangi sepeser pun.
Yang sudah sangat populer di masyarakat adalah wakaf berupa sebidang tanah. Masyarakat menyerahkan sebidang tanah kepada lembaga sosial. Tanah tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan sosial lembaga penerimanya.
Tanah wakaf hanya boleh dimanfaatkan. Tidak boleh dijual atau dikurangi nilai atau luasannya. Karena begitu populernya, wakaf tanah memunculkan masalah lain. Tanah tidak bisa termanfaatkan secara optimal atau bahkan terbengkalai karena tidak ada dana yang cukup untuk mendirikan bangunan diatasnya sebagai sarana kegiatan sosial.
Solusinya? Wakaf uang. Ya…wakaf berupa uang seperti di HMC. Uang wakaf dikelola sebagai dana investasi dengan portofolio aman. Hasil investasi barulah digunakan untuk biaya aktivitas sosial.
Potensi wakaf uang sungguh raksasa. Di Indonesia ada 800 ribu masjid lebih. Jika tiap masjid bisa menyediakan kotak wakaf (selain kotak infaq yang selama ini sudah ada) dan tiap bulan terkumpul dana wakaf Rp 1 juta per masjid, tiap tahun akan terkumpul dana wakaf Rp 10 T. setara dengan sekitar 16% saham Semen Indonesia dengan dividen sekitar Rp 281 per tahun. Dalam 4 tahun, potensi wakaf ini sudah bisa menggantikan 38% saham Semen Indonesia yang kini dipegang investor asing.
Di dekat rumah saya ada sebuah supermarket sangat ramai milik sebuah koperasi pesantren. Luas tanah supermarket yang telah berdiri sejak tahun 90-an ini adalah sekitar 2 ribu meter persegi dengan harga pasaran tanah minimum Rp 10 juta per meter persegi. Coba bayangkan kalau tanah ini dibeli oleh institusi pengelola wakaf seperti HMC dan langsung disewakan kembali kepada koperasi pesantren tersebut. Memang koperasi pesantren akan menanggung biaya sewa yang akan sedikit lebih besar dari pada biaya depresiasi jika aset dimiliki sendiri. Biaya sewa ini akan diterima lembaga pengelola wakaf dan disalurkan untuk kebutuhan sosial.

Tapi, bagi pengelola supermarket, uang Rp 20 Miliar lebih akan diterima dan bisa digunakan untuk membangun 20 mini market baru. Kelak kalau sudah beroperasi normal, 20 mini market baru itu pun bisa dijual juga dengan skema jual & sewa kembali yang dalam dunia bisnis dikenal sebagai REIT atau DIRE ini. Bisnis mini market koperasi pesantren pun akan cepat menjamur seperti Alfamart atau Indomaret.

Wakaf ibarat pedang bermata dua. Menyelesaikan masalah sosial sekaligus masalah ekonomi. Undang-undangnya pun telah siap. Di sisi lain telah banyak lembaga pengumpul zakat infaq shodaqoh yang telah puluhan tahun dipercaya dan sukses mengumpulkan dana triliunan dari uang receh masyarakat. Tinggal sedikit modifikasi, kapasitas ini akan menjadi seperti Harvard Management Company. Sedikit demi sedikit mengubah kotak infaq di masjid-masjid menjadi kotak wakaf. Semoga.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Bagaimana sebuah perguruan tinggi mengumpulkan aset wakaf? Ikuti link ini. Bagaimana masjid mengumpulkan aset wakaf? Ikuti link ini.
*)Tulisan karya Iman Supriyono ini pernah dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya
Ping-balik: Dari Masjid Jogokariyan Ke Al Azhar: Konversi Kotak Infaq ke Kotak Wakaf | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kampus Sekolah Pesantren, Jangan Berbisnis! | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Bangsa | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Endowment Fund Alumni: Peran Besar | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Investment Company on Waiting: Muhammadiyah Management Company | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Wakaf Alkhirrijun: Sahabat Sekolah Sahabat Surga | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Investment Company on Waiting: Muhammadiyah Management Company – SNF Consulting
Ping-balik: Puasa Infaq: Ekonomi Umat Meroket! | Korporatisasi
Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi
Ping-balik: Bunga 10% Murah Atau Mahal? | Korporatisasi
Ping-balik: Wakaf Korporat: Nazir Sebagai Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi
Ping-balik: Mematematikakan Untuk Memudahkan: Obituari Pak Towik | Korporatisasi
Ping-balik: Bu Prayogo: Obituari Guru Yang Membawa Visi Global Untuk Muridnya | Korporatisasi
Ping-balik: Sensei Munzaid: Obituari Untuk Seorang Guru Pengukir Jiwa | Korporatisasi
Ping-balik: Kampus Sekolah Pesantren, Jangan Berbisnis! | Korporatisasi
Sangat menqrik sekali. Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri, seperri saat saya ikut serta mengelola pension fund. Yg modalnya abadi, hasilnya di manfaatkan.
Great wakaf fund. Semoga menjadi penopang ekonomi umat.
Ping-balik: Zakat Bagi Orang Pelit | Korporatisasi
Ping-balik: Uang Kasur Uang Kasir Pak Sis | Korporatisasi
Ping-balik: Ramadhan Eksekusi | Korporatisasi
Ping-balik: ACT, Lions Club dan Sejarah Melayani 200 Negara | Korporatisasi
Ping-balik: Hayyu x ACR: Perusahaan Dakwah | Korporatisasi
Ping-balik: Bluebird: Terdisrupsi Atau Peluang? | Korporatisasi
Ping-balik: Sejarah Yonex: Rudi Hartono dan Ekspor Sepatu | Korporatisasi
Ping-balik: ACR x Hayyu: RUPS & Dividen Pertama | Korporatisasi