Investor Waralaba atau Korporatisasi


Pada tulisan terdahulu saya pernah membahas waralaba versus korporatisasi dari kaca mata perusahaan pemilik merek alias perusahaan prinsipal. Untuk melengkapinya kali ini saya akan menuliskannya dari kacamata investor. Saya akan menjelaskannya melalui pengalaman seorang kawan, sebut saja Fulanah, yang mengundang saya menghadiri resto bakso miliknya beberapa tahun lalu. Fulanah adalah seorang karyawan yang telah meniti karir bertahun-tahun di sebuah perusahaan besar. Gaji naik sedikit demi sedikit. Biaya hidup dikelola supaya bisa menabung. Akhirnya terkumpul di tabungan dengan jumlah yang cukup.

Maraknya wacana tentang investasi dan kebebasan finansial mengantarkannya  untuk berinvestasi dengan membuka sebuah resto bakso berskema waralaba. Ia menyediakan sejumlah dana untuk menyewa bangunan, merenovasinya, menyediakan peralatan masak, meja, kursi piring dan modal kerja. Perusahaan pemilik merek alias franchisor membantu proses pendirian resto.  Singkat kata resto bakso pun beroperasi. Saya kebagian berkahnya dengan undangan  menikmati bakso sekeluarga.

starbucks barista

Investor saham Starbucks sejak tahun 1992 mendapatkan imbal hasil berupa capital gain rata-rata 22% per tahun

Sukseskah restonya? Tidak. Omzetnya tidak sesuai target. Resto bakso itu kemudian tutup setelah beberapa kali dilakukan serangkaian upaya perbaikan  dengan menambahkan investasi baru. Bahkan pindah lokasi pun tidak mampu mengangkat omzet.   Tiap bulan rugi dan arus kas operasionalnya minus.  Investor mesti menambal kekurangan kas untuk gaji pegawai dan sebagainya.  Singkat cerita akhirnya resto ditutup untuk selamanya. Uang yang telah dikumpulkan Fulanah dengan kerja keras dan hidup hemat bertahun-tahun melayang begitu saja.

&&&

Mari kita ambil pelajaran dari kisah di Fulanah. Mendirikan sebuah gerai baru, entah itu resto, toko ritel, jasa potong rambut, bengkel mobil, bengkel cuci mobil, laundry, atau apapun tidaklah sulit. Yang penting ada uang. Apalagi dengan konsep waralaba, si franchisor sudah memiliki standar desain, peralatan, standar operasional dan sebagainya. Asal ada uang, semua beres.

Tetapi tantangannya bukan pada pendirian. Tantantangannya adalah bagaimana agar omzet yang telah direncanakan benar-benar menjadi kenyataan. Jika tidak maka gerai akan rugi atau bahkan arus kas operasionalnya minus. Tiap bulan harus ada dana tambahan dari investor untuk menggaji karyawan, membayar listrik dan sebagainya. Jika si investor masih kuat dan bersedia menanggung beban kas tersebut, gerai akan bertahan. Sampai kapan? Sampai ada perbaikan omzet sehingga tidak terjadi lagi arus kas operasional minus. Atau sampai investor tidak kuat atau tidak bersedia menutupi minusnya arus kas dan gerai ditutup.

Tutup. Inilah yang terjadi pada gerai resto bakso Fulanah. Uang tabungan yang dikumpulkan bertahun-tahun pun melayang. Memang masih ada meja kursi dan peralatan resto. Tetapi tentu saja harganya tidak seberapa. Maka, bisa dikatakan seluruh dana investasi melayang.

Siapa yang salah? Ini adalah pertanyaan menarik. Tawaran investasi waralaba pada umumnya menjanjikan waktu sekitar 2 atau 3 tahun balik modal (pay back period). Kembali modal dua tahun artinya setiap tahun 50% dari dana investasi telah bisa diterima dalam bentuk uang tunai oleh investor. Kembali modal 3 tahun artinya  setiap tahun 33% dari total dana yang diinvestasikan sudah kembali. Angka 50% atau 33% bukan main besarnya dalam hitungan investasi.

Sebagai perbandingan, investor pemegang saham Starbucks Corporation hanya menerima dividen 2,51% pertahun dari harga saham alias nilai investasi.  Yang membedakan adalah risiko. Sehebat apapun merek dan manajemennya, risiko kegagalan sebuah gerai tidak mungkin dihilangkan 100%. Starbucks tahun 2017 menutup 163 gerai alias  1,3% dari total 13 275 gerai.  Artinya, merek dan manajemen sekuat Starbucks saja bisa gagal. Apalagi merek yang jauh lebih lemah. Tetapi bagi Starbucks ini adalah hal biasa karena pada tahun yang sama ia membuka 863 alias 6,8% dari total gerai.

Risiko inilah yang menyebabkan tuntutan tinggi investor waralaba. Minta 33% atau 50% pengembalian uang kas tiap tahun. Harapannya besar, tetapi risiko gagalnya tinggi. Sangat berbeda dengan berinvestasi pada saham starbucks. Investor hanya butuh 2,51% pengembalian kas per tahun melalui dividen karena risikonya sangat rendah. Risiko menjadi rendah karena uang dari investor tidak diinvestasikan hanya pada satu gerai.  Melainkan disebar pada 13 ribu gerai lebih. Tutup 163 gerai pun perusahaan masih laba dan masih bisa membayar dividen sesuai kelaziman dunia bisnis.

Aman, aman, aman, aman. Itulah 4 hal terpenting dari investasi. Urutan kelima baru hasil. Nah, jika dikaji dari hal ini, kawan yang investasi pembukaan gerai tadi adalah salah. Investasi pertama langsung menyedot tabungan dalam jumlah besar dengan risiko tinggi. Mestinya jauh lebih aman berupa saham perusahaan yang telah terbukti sukses puluhan tahun.

Memang hasil kas tahunannya kecil mengingat risikonya juga kecil. Tetapi sebenarnya ada pertumbuhan ROI dan capital gain yang tidak didapatkan investor waralaba. Pertumbuhan ROI diperoleh kerena laba perusahaan tumbuh.  Para pemegang saham Starbuck yang masuk pada tahun 1992 membelinya dengan harga USD 0,34.  Saat ini laba per lembar saham adalah USD 1,44. Dengan demikian mereka menerima ROI sebesar 1,44/0,34 alias 423%. Investor yang membeli saham Starbucks pada tahun 1992 harganya hanya USD 0,34 kini bisa menjual sahamnya dengan harga USD 57,45. Ada kenaikan sebesar 170x alias 17 000%  dalam waktu 26 tahun. Setara kenaikan 22% per tahun.

Kelas investment company

SNF Consulting siap membantu para investor untuk tumbuh menjadi perusahaan investasi yang mampu berperan besar dalam ekonomi umat dan bangsa. Membangun kejayaan di berbagai negara.

Kapan sebuah investasi saham balik modal? Sewaktu-waktu modal bisa 100% kembali jika investor menjual saham miliknya. Tentu saja ini mengandung risiko turunnya harga saham. Namun demikian jika kinerja keuangan perusahaan bagus, saham akan mengalami tren terus-menerus naik seperti Starbucks. Kalaupun ada masa turun, sifatnya hanya sementara karena pengaruh sentimen negatif. Suatu saat akan kembali mengikuti tren kenaikan laba. Inilah nilai lebih menjadi investor dengan menjadi pemegang saham sebuah perusahaan dibanding investor waralaba. Investor sebagai penyetor modal saat sebuah perusahaan menerbitkan saham baru sebagai proses korporatisasi.  Investor korporatisasi dibanding investor waralaba.

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting

Tulisan ini juga dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya

6 responses to “Investor Waralaba atau Korporatisasi

  1. Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono

  2. Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? | Catatan Iman Supriyono

  3. Ping-balik: ROE & ROI: Bayi Melawan Raksasa | Catatan Iman Supriyono

  4. Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Catatan Iman Supriyono

  5. Ping-balik: Zakat Mal Era Korporasi: Menjadi Bangsa Produsen | Korporatisasi

  6. Ping-balik: Peredam Risiko Investasi Wakaf | Korporatisasi

Tinggalkan komentar