Misalkan ada sebuah rumah dijual. Harganya Rp 1 Milyar. Rumah tersebut selama ini disewa oleh sebuah keluarga dengan tarip Rp 48 juta per tahun alias Rp 4 juta per bulan. Pemiliknya akan melepas kepemilikannya tetapi si penyewa akan tetap menyewa untuk beberapa tahun kedepan. Anda memiliki uang tunai Rp 300 juta. Anda juga memiliki gaji yang cukup untuk membayar cicilan yang sebesar Rp 15 juta per bulan. Anda akan membayar angsurannya selama 8 tahun. Apakah Anda tertarik membeli rumah tersebut sebagai investasi? Tertarik untuk tiap bulan tekor?
Mau atau tidak itu butuh banyak pertimbangan. Namun demikian, banyak orang yang mau melakukan transaksi seperti di atas. Membeli properti yang nilai sewanya jauh lebih kecil dari cicilan kreditnya. Bahkan lebih kecil dari bunga atau margin kreditnya. Uang sewa 48 juta per tahun itu sama dengan Rp 4 juta per bulan. Bunga saja Rp 7 juta. Artinya untuk membayar bunga atau margin bank saja harus tekor Rp 3 juta per bulan. Belum lagi cicilan pokoknya. Total tekor 11 juta per bulan. Kok mau? Apa yang diharapkan?
Masyarakat luas apalagi para investor sangat paham bahwa harga properti pada umumnya meningkat jauh lebih tinggi dari pada bunga bank. Saat properti itu lunas 8 tahun setelah transaksi, harga properti sudah naik berlipat. Kenaikannya umumnya akan jauh dari total uang yang dibayarkan baik untuk uang muka maupun untuk cicilan bulannya. Selisih harga jual kelak dengan harga beli saat ini disebut capital gain. Inilah alasan mengapa orang mau berinvestasi properti yang secara arus kas bertahun-tahun minus. Mau rugi.
&&&
Aset investasi dapat dikelompokkan menjadi dua: dengan dan tanpa capital gain. Deposito misalnya adalah contoh aset yang tanpa capital gain. Anda mendepositokan uang senilai Rp 1 M tiap bulan akan mendapatkan bunga atau bagi hasil sekitar Rp 5 juta. Kelak ketika Anda mengambil uang itu kembali, nominalnya tetap Rp 1 M.
Untuk aset tanpa capital gain, investor cenderung akan menuntut imbal hasil yang lebih besar. Properti seharga Rp 1 Miliar disewakan Rp 48 juta alias hanya 4,8% per tahun. Sementara deposito akan memberi imbal hasil sekitar 6% per tahun. Yang mengharap imbal hasil tinggi akan memilih deposito. Yang mengharap capital gain tinggi walaupun imbal hasil rendah bahkan mau rugi akan memilih investasi properti.
Waralaba juga contoh investasi yang tanpa capital gain. Oleh karena itu biasanya dalam waralaba investor menuntut balik modal (pay back period) dua atau tiga tahun. Dua tahun artinya per tahun 50%. Tiga tahun artinya per tahun 33%. Besar sekali karena waralaba memang tanpa capital gain plus memang risikonya tinggi. Tanpa capital gain saja sudah menuntut imbal hasil tinggi. Apalagi risikonya juga tinggi mengingat pemilihan lokasi gerai bisa salah.

Capital gain bersumber dari intangible asset. Selain bisa dinikmati oleh investor, intangible asset juga bisa dinikmati oleh perusahaan sebagai sumber uang kas murah
Saham adalah contoh investasi yang mengandung capital gain. Itulah kenapa para pemegang saham rela menerima dividen yang sangat kecil. Dividen adalah imbal hasil rutin dari sebuah investasi saham. Investor Semen Indonesia misalnya yang membeli saham pada tahun 2005 dengan harga Rp 1 820 saat ini bisa menjual dengan harga Rp 11 425 alias naik 6,3 kali lipat dalam waktu 13 tahun. Itulah mengapa para investor produsen semen terbesar di tanah air itu rela menerima dividen kecil. Terakhir sebesar 1,19% (per tahun) dari uang yang diinvestasikannya. Kecil sekali.
$$$
Kecilnya tuntutan investor saham karena harapan akan capital gain inilah yang menjadi energi luar biasa perusahaan-perusahaan untuk tumbuh pesat menguasai pasar dunia. Perusahaan-perusahaan akan merasakannya sebagai rendahnya biaya modal. Biaya modal yang secara cash flow hanya 1,19% per tahun menjadikan syarat kelayakan sebuah investasi untuk ekspansi perusahaan sangat ringan. Ekspansi seperti membangun pabrik baru, masuk wilayah geografis baru bahkan akuisisi perusahaan sejenis di luar negeri bisa dilakukan dengan sangat lincah.

Capital Gain: harga saham Semen Indonesia naik 6,3x lipat dalam waktu 13 tahun.
Investasi yang secara studi kelayakan ber-imbal hasil kas 3% pertahun pun jadi layak karena tuntutan investor hanya 1,19%. Sebuah perusahaan semen yang labanya Rp 1 T di luar negeri dapat diakuisisi dengan harga Rp 30T alias 30 tahun laba. Pemegang sahamnya akan tergiur karena menerima laba 30 tahun dalam sekali transaksi. Imbal hasil 1/30 alias 3% setahun sudah lebih dari cukup untuk membayar dividen kepada pemegang saham yang hanya 1,19%. Jauh lebih murah dari pada modal utang di bank yang total bunga (margin) plus pokoknya bisa lebih dari 30% per tahun. Itulah kesaktian capital gain. Investor senang. Perusahaan tumbuh pesat. Perusahaan Anda sudah memanfaatkan capital gain?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya. Ditulis oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting.
Pencerahan yg bagus bagi calon investor yg msh bingung dg alternatife pilihan instrument investasi
Betoll….
Ping-balik: Saham Pendiri Non Dilutif, Mungkinkah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat & Bangsa | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kemustahilan Jokowi: Bunga 3% Tanpa Investment Banking | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Di Luar Lantai Bursa | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jual Beli Saham, Halal atau Haram? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pensiun Dividen Rp 14 Juta Per Bulan | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kemustahilan Jokowi: Bunga 3% Tanpa Investment Banking – SNF Consulting
Ping-balik: Diakuisisi atau Mengakuisisi: Satu Demi Satu Jatuh ke Tangan Asing – SNF Consulting