Lelah akibat berjalanan jauh belum benar-benar hilang saat saya meginjakkan kaki di pasar tradisional kota Osh pagi itu. Tetapi saya tetap semangat demi untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana denyut ekonomi kota terbesar kedua di Kyrgystan tersebut. Kota yang berada di dataran tinggi sehingga walaupun musim dingin telah berakhir udara pagi masih terasa dingin menyengat. Setidaknya bagi saya yang sehari-hari tinggal di daerah tropis ini.

Merek milik korporasi USA di pasar Osh. Foto koleksi pribadi penulis
Kesan pertama berasal dari tempat parkir. Saya amati satu demi satu merek mobil yang ada. Isinya adalah merek-merek yang juga jamak kita jumpai di Indonesia seperti Toyota, Nissan, Daewoo, Hyundai, KIA, Ford, BMW, dan Mercedez. Bisa dikatakan bahwa tidak ada bedanya antara tempat parkir di Osh dengan di Jakarta atau di Surabaya. Satu-satunya yang membedakan hanya di Osh tidak terdapat parkir motor karena memang sepeda motor tidak pernah dijumpai di jalanan seantero negeri bekas bagian dari Uni Sovyet ini.
Begitu masuk pasar, yang saya jumpai pertama adalah adalah deretan kios-kios penjaja sayur dan buah-buahan. Saya tanyakan kepada warga lokal tentang asal-usul dagangan jenis ini. informasinya, kebanyakan adalah sayur dan buah lokal. Sebagian kecil sayur dan buah impor. Ada juga buah-buah tropis seperti pisang dan nanas walau tidak mendominasi.

Kota Osh dipandang dari Bukit Sulaiman yang berlokasi di pinggiran kota itu
Di sekitar lokasi pedagang sayur dan buah juga terdapat banyak pedagang yang menjajakan roti tradisional setempat. Bentuknya bulat berdiameter lebih besar dari ukuran piring. Ada jenis lunak ada juga jenis keras. Tebalnya sekitar 2-3 cm dengan rasa sedikit manis. Setiap saya makan baik di warung maupun di rumah warga setempat, roti ini selalu tersedia. Saya juga amati warga setempat selalu menikmati roti ini setiap makan. Hidangan utamanya apa saja tetapi selalu ditambah dengan roti jenis ini.
Masih di kedai-kedai makanan minuman. Yang sangat familiar bagi saya adalah logo Coca Cola dan Pepsi. Dua merek ini juga banyak dijumpai di gerai-gerai yang menjajakan minuman dalam kemasan di pasar tradisional yang bersih itu.
Selanjutnya saya melangkah ke gerai pakaian. Suasananya tidak berbeda dengan gerai pakaian di pasar-pasar tradisional di Indonesia. Hanya denyut nadi pasar lebih terasa karena di Osh tidak terdapat mall-mall besar seperti di Surabaya misalnya. Pusat perdagangan busana terpusat di pasar ini.

Menikmati makan menu khas kota Osh bersama keluarga Islambek Nurmamatov, team SNF Consulting dari Kyrgistan
Secara umum, barang-barang yang dijumpai di pasar tradisional kota Osh dapat dikelompokkan menjadi dua: produk bermerek dan komoditas. Untuk produk bermerek, nama-nama global seperti Coca Cola dan Pepsi juga dengan mudah dijumpai dan dikonsumsi masyarakat. Walaupun negara ini lama dalam asuhan Uni Sovyet yang kehidupannya sangat diwarnai oleh kebijakan negara komunis yang mengontrol ketat ekonominya, nampaknya bukan halangan bagi merek-merek global sekelas Coca Cola atau Pepsi untuk masuk. Apalagi merek-merek mobil.
Jenis kedua adalah barang komoditas alias tanpa merek. Untuk produk seperti ini sebagian dilayani oleh produsen lokal. Terutama untuk produk yang tidak membutuhkan proses manufakturing. Untuk produk-produk yang membutuhkan proses manufakturing, produk-produk yang diimpor dari RRC menonjol. Informasi dari warga setempat, untuk produk busana misalnya, RRC benar-benar mendominasi.
&&&
Ada 2 cara untuk masuk dan unggul pada pasar yang luas menurut Michael Porter yaitu diferensiasi dan keunggulan biaya. Secara sederhana prinsip diferensiasi adalah “menjual produk yang sangat bagus sehingga orang lupa harga”. Sebaliknya, keunggulan biaya berprinsip “ menjual produk sedemikan murahnya sehingga orang lupa kualitas”. Itulah konsep strategi generik Porter yang bisa menjadi penjelasan tentang suasana pasar tradisional kota Osh, Kyrgystan.
Produk-produk bermerek dijual dengan harga relatif tinggi. Tentu ini dibarengi dengan kualitas yang tinggi untuk menjaga citra mereknya. Inilah yang sukses dilakukan oleh Coca Cola dan Pepsi. Merek-merek mobil yang hadir di tempat parkir pasar juga sukses dengan prinsip ini. Perusahaan-perusahaan seperti ini menggelontorkan anggaran riset yang tinggi untuk terus menjaga kualitas seiring dengan perkembangan teknologi. Biaya riset diperoleh dari margin yang secara umum akan jauh lebih tinggi dari pada produk komoditas.
Sebaliknya, produk-produk komoditas dari RRC menyerbu pasar Osh dan Kyrgystan pada umumnya dengan strategi keunggulan biaya alias cost leadership. Perusahaan seperti ini mengandalkan volume produksi yang besar kualitas standar. Tidak dibutuhkan riset sebagaimana yang dilakukan perusahaan yang menjual produk bermerek. Yang penting bisa memproduksi barang dalam volume besar dan kemudian menjualnya dengan harga murah. Kualitasnya cukup standar saja. Tidak perlu yang tinggi-tinggi. Itulah cost leadership.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
****Ditulis oleh Iman Supriyono, konsultan senior dan direktur SNF Consulting sebagai oleh-oleh dari perjalanan ke Kuala Lumpur-Hanoi-Moscow-Osh-Bishkek-Tashkent-Jakarta. Tulisan pernah dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya
Ping-balik: Sudu: Miri Municipal Council | Korporatisasi
Ping-balik: Jembatan Terpanjang Dunia | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi
Ping-balik: Raya Caruban Orchard Road | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi USA di Moscow | Korporatisasi
Ping-balik: Chatsworth Road: Tujuhbelasan | Korporatisasi