Chatsworth Road: Upacara Nostalgia


Chatsworth Road di suatu sore. Niat saya sebenarnya adalah untuk mencari informasi tentang pendidikan di Singapura. Menggali berbagai celah yang mungkin untuk bisa masuk ke sekolah setingkat SMA bagi si buah hati yang baru lulus SMP di tanah air. Tetapi apa daya, begitu mengetuk pintu gerbang, petugas keamanan dengan logat melayunya menjelaskan bahwa kantor sedang libur. Sebagaimana kantor kantor di tanah air, tanggal 17 Agustus 2009 adalah hari libur untuk Kedutaan Besar Republik Indonesia di Chatsworth Road, Singapura.

Tetapi ada informasi menarik dari petugas keamanan. Jam 4 sore akan ada upacara penurunan bendera. Selain dihadiri oleh para staf KBRI, upacara juga boleh diikuti oleh warga masyarakat indonesia di negeri Singa ini. sesuatu yang menarik. Upacara tujuh belasan di negeri seberang. Saya pun putuskan untuk mengikutinya.

Benar benar nostalgia. Saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan mengiringi menurunkan bendera, ingatan saya terbang kesana kemari. Tentang masa kecil di kampung halaman yang para peserta upacaranya bertelanjang kaki tak bersepatu. Tentang saat menjadi petugas upacara serupa masa masa remaja. Tentang keterharuan mendengarkan lagu perjuangan saat ikut test beasiswa ke luar negeri dan gagal. Tentang keengganan ikut upacara masa masa mencari jati diri di kala mahasiswa. Tentang tanah air dengan segala suasananya.

Tentang suasana tanah air ini bahkan saya merasakan keterharuan yang dalam. Melayanglah ingatan saya bolak balik Surabaya-Singapura. Di Surabaya jalanan dipadati pengendara motor penuh sesak. Di Singapura sepeda motor hanya ada satu dua saja. Orang orang lebih suka bepergian kemanapun dengan menggunakan bus atau kereta listrik. Kereta listrik dan bus yang sejuk nyaman jauh lebih murah dari pada biaya naik sepeda motor.

Pagi dan sore hari awal dan akhir jam kerja di Surabaya bisa dipastikan jalanan akan padat oleh sepeda motor. Sepeda motor bisa dikredit nyaris tanpa uang muka. Cicilannya pun sangat murah bahkan untuk kantong masyarakat yang hanya mengandalkan gaji UMR kelas buruh pabrik sekalipun. Apalagi bila dibandingkan dengan ongkos dan waktu yang terbuang dalam ketidaknyamanan sarana transportasi publik. Belum lagi risiko kecopetan. Maka….kredit sepeda motor adalah solusi jitu. Inilah yang mengakibatkan sepeda motor menyemut di jalan. Kepadatan akan sangat meningakt luar biasa pada jam berangkat dan pulang kerja. Macet.

Pagi dan sore hari awal dan akhir jam kerja di Singapura sungguh berbeda. Jalanan tetap lancar. Tidak tampak kepadatan yang menyolok. Kepadatan justru dirasakan di kabin dan stasiun kereta. Bahkan terkadang penumpang yang sudah antri di dekat pintu kereta harus menunggu kedatangan kereta beriktunya. Kereta penuh penumpang.

Daya tarik kereta bukan hanya karena murah dan nyamannya. Tetapi juga frekuensinya. Kereta yang jaringannya bisa memotong kepadatan bangunan pusat kota dengan terowongan bawah tanah itu datang tiap beberapa menit. Tidak sampai sepuluh menit menunggu, kereta pasti sudah datang dengan tepat waktu. Ini menjadikan perjalanan berangkat dan pulang kantor maupun ke tempat tempat lain bisa diprogram. Tidak ada risiko terlambat karena harus menunggu kereta.

Setelah keluar dari stasiun kereta terdekat, penumpang bisa melanjutkan perjalanan dengan bus kota. Karena bus dan kereta sudah dikelola secara terpadu, penumpang cukup menggunakan satu kartu prabayar untuk seluruh jalur bus dan kereta api. Praktis sekali. Tarinya pun jauh lebih murah dibanding pembayaran tunai.

Singapura-Surabaya jauh berbeda. Yang membuat saya makin terharu adalah fakta bahwa Surabaya telah merdeka pada tahun 1945. Semantara itu, Singapura baru meredeka 20 tahun berikutnya alias tahun 1965. Sesuatu yang sungguh menyedihkan. Merdeka duluan tetapi kalah dalam pembangunan fasilitas layanan publik.

Banyak yang menjadikan jumlah penduduk banyak sebagai alasan terlambatnya pembangunan Surabaya dan kota kota besar lain di tanah air. Faktanya, penduduk yang besar adalah pasar yang sangat baik bagi investasi transporatsi kereta bawah tanah atau bus kota yang nyaman. Penduduk yang banyak jualah yang menjadikan negeri ini masuk anggota G-20 alias kelompok 20 negara yang ekonominya terbesar di dunia. Kita masuk G-20 bersama Amerika, Jepang, Inggris dan raksasas ekonomi lain. Singapura tidak masuk.

Batin ini menangis. Menangisi para siswa yang suka curang dalam ujian. Menangisi para mahasiswa yang suka titip absen. Menangisi para pejabat yang menghambur hamburkan uang negara. Para pegawai yang suka menerima “hadiah” alias sogokan dari para pemasok atau kontraktor proyek. Menangisi aksi “damai” pelanggaran lalu lintas. Menangisi moral anak bangsa yang telah rusak. Karakter yang telah “memakan” uang jatah membangun jaringan kereta bawah tanah. Dan….hiduplah Indonesia Raya…… di akhir lagu kebangsaanpun seolah berubah menjadi pertanyaan. Hidupkah Indonesia Raya? Chatsworth road…..moga bisa menjadi renungan untuk berubah. Anda bagaimana?

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting

Tulisan Iman Supriyono ini pernah dimuat di majalah BAZ, terbit di Surabaya

Baca juga catatan perjalanan inspiratif lainya:
Jamaah Salahuddin: Intangible Asset
Sudu: Miri Municipal Council
Manokwari: Menang Tanpa Pesaing
Moscow: Korporasi USA
Osh: Pasar Tradisional Kyrgistan
Uzbekistan: Agar Rupiah Laku Dimana-Mana
Ho Chi Minh: Kota Tanpa Mal
Pnom Penh: Hyundai
Makkah: Koperasi KPF
Singapura: Totalitas Melayani
Kuala Lumpur: TKI
Anjing Bangkok: Sahabat atau Musuh
Khao San Road: 7 Pagi 11 Malam
Palembang: Kewaspadaan Korporat
Nha Hang: Hijrah Tumbuh Berpresati
Tanjung Selor Tarakan: Cessna Grand Caravan
Simpadan Ligitan: Tuban

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s