Kali ini saya berbeda. Lima orang yang mengelilingi meja makan itu menyatakan ketidaksukaannya pada menu yang terhidang. Ada yang sama sekali tidak mau makan. Ada yang makan tetapi hanya sekedar mencicipi. Ada yang hanya makan nasi putih dengan sedikit sambal. Beberapa hari ini mereka memang disuguhi menu yang tidak familiar.
Mereka, kawan semeja makan itu, semua berlidah Indonesia. Lahir di Indonesia, hidup di Indonesia dan tentu saja menyukai menu Indonesia. Sementara yang terhidang di meja makan beberapa hari ini adalah menu Malaysia. Bedanya terasa pada aroma rempah yang menonjol. Ada sedikit kemiripan dengan masakan Padang. Berbumbu kental. Bedanya: aroma rempahnya yang sangat menonjol. Sangat tidak familiar dengan lidah indonesia.
Saya? Karena kegemaran traveling, lidah saya sudah terdoktrin: perasaan bisa dilatih. Apa yang menurut orang lain lezat bisa kita rasakan pula kelezatannya dengan melalui serangkaian latihan alias pembiasaan. Maka, ketika sedang berada di sebuah daerah manapun, saya selalu berusaha menikmati menu setempat. Asalkan saya yakin kehalalannya, apapun akan saya coba menikmatinya. Termasuk menu malaysia siang itu. Ini yang pada dibantah beramai ramai oleh kawan kawan semeja siang itu.
Ini kan di Makkah? Bukan di Kuala Lumpur? Mengapa harus menu Malaysia? Nah, pertanyaan ini menarik sekali untuk didiskusikan. Ya… diskusi meja makan siang itu memang terjadi di Cafetaria Hotel Dar Ummu Hani. Sebuah hotel berbintang sekitar 200 meter di depan pintu 1 Masjid Haram di Makkah. Mengapa menu Malaysia?
Selidik punya selidik, hotel berlantai 13 itu adalah milik Koperasi Permodalan Felda Malaysia Berhad, sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Malaysia. Karena dimiliki dan dikelola oleh orang Malaysia, wajar bila pasar utama yang disasar adalah tamu dari Malaysia. Dan karena tamunya memang mayoritas dari Malaysia, wajar jika kemudian menu yang dihidangkan juga menu Malaysia. Menu berbumbu kental dengan aroma rempah yang tajam.
Ada dua hal yang menarik dari hotel dari halamannya kita bisa melihat menara jam tertinggi dunia di kompleks Masjid Haram itu. Pertama adalah kembali kita melihat peran perusahaan-perusahaan Malaysia di pentas global. Petronas, Rotiboy, Proton, May Bank, dan CIMB Bank adah beberapa yang sudah dikenal kiprahnya di tanah air. Koperasi Permodalan Malaysia Berhad yang disingkat KPF nampak mulai menyusul.
Kedua adalah bentuk badan usahanya: Koperasi. KPF yang beraset lebih dari 9 Miliar Ringgit alias sekitar Rp 25 Triliun ini memberi inspirasi tersendiri bagi kawan kawan yang berkarya melalui koperasi. Satu lagi bukti bahwa koperasi pun bisa menjadi kelas dunia. Koperasi pun bisa menjadi perusahaan yang beroperasi melampaui batas batas negara. Ini melengkapi daftar koperasi kelas dunia yang produk atau layanannya sudah sangat dikenal di tanah air: susu bendera dan es krim campina oleh koperasi Frieslandcampina Belanda-Jerman, susu Anmum dan Anlene oleh Koperasi Fonterra Selandia Baru, Rabo Bank oleh koperasi Rabo dari Belanda.
Nah, bagi kawan kawan yang tidak beraktivitas di sektor koperasi, ini tetap menjadi inspirasi yang luar biasa. Koperasi sebagai sesuatu yang selama ini dicitrakan selalu kecil, tidak profesional, tidak berprestasi, sekedar papan nama untuk mengejar proyek pemerintah….ternyata tidak sepenuhnya benar. Sesuatu yang selama ini dipandang sebelah mata bisa membuktikan eksistensi kelas dunianya! Ada koperasi koperasi kelas dunia. Ada koperasi koperasi raksasa. Ada koperasi koperasi beraset puluhan, ratusan bahkan ribuan trilyun Rupiah. Semua tergantung visi, kerja keras, dan profesionalisme pengelolanya. Hotel Dar Umm Hani di Makkah dengan menu Malaysianya menjadi saksi. Semoga kelak akan ada kooperasi kita yang berkelas dunia. Yang mampu menjadi pemegang tongkat estafet format ekonomi yang dicanangkan oleh bapak koperasi dan bapak bangsa Bung Hatta. Agar nanti kawan kawan tidak perlu risau dengan menu Malaysia lagi. Agar nanti menu Indonesia berkibar dimana mana. Seperti KPF. Berkelas dunia……Koperasi….Bisa! Anda pun…bisa!
Tulisan ini dimuat di majalah BAZ, terbit di Surabaya
Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Mengapa Koperasi Kita Kerdil? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jembatan Terpanjang Dunia | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi
Ping-balik: Raya Caruban Orchard Road | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi USA di Moscow | Korporatisasi
Ping-balik: Chatsworth Road: Tujuhbelasan | Korporatisasi