MA 60
Oleh Iman Supriyono, konsultan dan penulis buku-buku bisnis pada SNF Consulting, http://www.snfconsuting.com
Lampu tanda kenakan sabuk keselamatan baru saja padam saat saya membuka laptop untuk tulisan yang Anda baca ini. Pesawatan buatan Republik Rakyat China yang saya tumpangi telah terbang pada ketinggian jelajah. Penerbangan Banyuwangi Surabaya ini menjadi kesempatan pertama saya naik pesawat berkapasitas 60 tempat duduk ini. Sebuah kesempatan yang selalu saya nantikan: naik jenis pesawat yang belum pernah saya naiki. Ini adalah bentuk hobi yang sangat saya sukai sebagai kelanjutan penulisan skripsi tentang sayap pesawat terbang yang dulu saya tulis sebagai syarat kelulusan dari jurusan teknik mesin ITS spesialisasi aerodinamika belasan tahun lalu.
Pikiran saya melayang ke negeri tirai bambu saat berada di kabin pesawat berpenggerak propeler yang dioperasikan oleh Merpati ini. MA 60 ini juga menjadi sumber kekaguman itu. Bukan kagum karena teknologinya. Justru saya kagum kemampuan marketing dari negeri berpenduduk satu milyar lebih ini. Bagaimana ia sukses menjual sebuah pesawat yang bersaing head to head dengan ATR 72 nya Prancis ini. Hingga saya menulis artikel ini, MA 60 baru diproduksi sekitar 40 unit. Merpati membeli sejumlah 14 pesawat. Bayangkan bagaimana hebatnya China bisa meyakinkan manajemen Merpati dan Indonesia pada umumnya untuk mengoperasikan sebuah pesawat yang baru diproduksi dalam jumlah sedikit. Bandingkan dengan misalnya ATR 72 yang hingga kini telah diproduksi lebih dari 400 unit. Apalagi MA 60 juga belum disertifikasi oleh FAA, lembaga sertifikasi penerbangan federal Amerika yang biasanya selalu menjadi rujukan sertifikasi pesawat.
Makin kagum karena sebenarnya Indonesai juga punya CN 235. Sebuah pesawat propeler berkapasitas 35 penumpang yang higga telah diproduksi lebih dari 350 unit dan di pakai berbagai negara di sunia. Turki misalnya hingga kini masih memakai lebih dari 60 unit pesawat rancang bangun IPTN (kini PT DI) dan Cassa Spanyol (kini Airbus Military) ini. Bahkan saya membayangkan mestinya CN 235 lebih cocok untuk rute seperti Banyuwangi Surabaya. Dari 60 kursi pesawat bikinan pabrikan Xian di cina ini hanya terisi sekitar separuhnya. Andai saja menggunakan CN 235 tentu kursinya hampir terisi penuh. Jelas lebih efisien dari kacamata bisnis.
Lalu apa keuntungan bagi merpati? Saya coba merenung. Bagaimana proses berpikir pengambil kebijakan merpati hingga membeli pesawat yang belum disertifikasi FAA nya Amerika sementara CN 235 sudah? Saya menemukan jawaban menarik. Dengan pembelian 14 unit pesawat, Merpati menjadi operator terbesar untuk pesawat bermesin Pratt Whitney Canada ini. Posisi ini menajadikan nama Merpati terikut pada hampir pembicaraan atau publikasi apapun tentang pesawat ini. Sebuah simbiosis marketing yang saling menguntungkan. Apalagi kini Merpati sedang berbenah untuk tampil sebagai jembatan wisata untuk seluruh pelosokn negeri ini, termasuk bagi wisatawan asing. Wisatawan China yang datang kemari tentu bangga naik pesawat buatan negeri mereka.
Kepiawaian China dalam marketing ini tidak hanya di produk pesawat terbang. Banyak produk lain yang kita juga kagum dibuatnya. Produk telekomunikasi berupa hand set dan infrastruktur pendukungnya juga luar biasa. China sukses menjual produk telekomunikasi super murah dengan usia ekonomi yang pendek. Ini cocok sekali dengan perkembembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat. Perangkat yang berusia ekonomi panjang dengan harga mahal seperti buatan eropa tidak cocok untuk kondisi perkembangan teknologi seperti ini.
China menemukan kunci-kunci marketing. Inilah yang harus dicari oleh para pengusaha atau pemasar. Menemukan sebuah kunci sehingga tembok marketing yang kadang terasa tebal bisa dibuka dengan mudah. Xian dengan MA 60 sukses bahkan mengalahkan CN 235 yang mestinya secara nasionalisme dan secara kualitas lebih diakui dunia. Bahkan secara kapasitas penumpang pun mestiny CN 235 lebih pas untuk penerbangan ke dan dari kota kecil seperti banyuwangi yang saya tumpangi sore itu. Kita mesti belajar marketing dari MA 60 ini. Bisa kan?
Tulisan ini dimuat di majalah Matan, edisi Agustus 2012, terbit di Surabaya
tulisan yang menarik.. fakta yang menarik juga.. tapi jadi sedih, maskapai kita jadi alat promosi produk bangsa lain.. ini namanya kalah di kandang pak, kalau dalam liga champions udah susah maju ke babak selanjutnya š¦
hehehe…..mari bangkit!