Seorang sahabat sedang dirawat di rumah sakit. Kabar yang saya terima ia sedang menderita hepatitis. Sebuah penyakit yang cukup serius. Gara gara penyakit ini tidak jarang seseorang menemui ajalnya. Karenanya, masyarkat yang memiliki kemampuan finansial tinggi sampai sampai harus mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk operasi ganti hati. Ganti lever. Upaya inipun belum tentu berhasil. Cak Nurcholis Majid adalah contoh operasi ganti hati yang gagal dan kemudian menemui ajal tidak berapa lama setelah operasi.
Sepengetahuan saya yang bukan ahli kesehatan, hepatitis adalah penyakit menular. Maka, sebelum berangkat ke rumah sakit saya sempatkan diri untuk menelepon seorang kawan dokter. Dari kawan inilah saya mendaptkan informasi agak detail tentang penyakit hepatitis. Yang penting terkait dengan rencana bezoek saya ke rumah sakit adalah bahwa penyakit bahaya ini menular lewat saluran pencernaan. Maka, kawan dokter berpesan agar setelah berinteraksi dengan pasien segera cuci tangan dengan sabun sebelum beraktivitas lain.
Bismillah….berbekal saran dokter itu saya segera meluncur ke rumah sakit. Menjalani sunnah terhadap sahabat yang sedang diuji-Nya dengan penyakit berat. Tiba di kamarnya segera saya salami di pembaringannya, berbincang memberi semangat kepadanya, dan tidak lupa mendoakannya. Setelah cukup, saya pun berpamitan kepadanya dan keluarganya. Dan…tidak lupa masuk kamar mandi cuci tangan sebelum meninggalkan rumah sakit. Mengikuti saran dokter.
♦♦♦♦
Jaman makin modern. Banyak keluarga yang suami istri sama sama bekerja. Maka, sering kali keluarga tidak sempat memasak untuk memenuhi kebutuhan makanan. Atau kalaupun ada pembantu yang memasak di rumah, jam makan siang tentu tidak mudah untuk bisa pulang makan di rumah. Maka, makan di restoran atau warung makan menjadi solusi.
Apalagi di negara negara yang tingkat pengangguran sudah rendah atau hampir nol. Sangat sulit untuk bisa mendapatkan pembantu. Kalaupun bisa, dibutuhkan anggaran besar untuk gajinya. Maka, makin jarang keluarga yang memasak makanan di rumah. Hari hari adalah makan di warung. Makan di restoran. Di Singapura misalnya, pada jam jam makan, pagi, siang maupun malam, pusat pusat makanan (food court) selalu dipenuh pelanggan. Makan di warung atau restoran adalah cara yang sangat efisien untuk memenuhi kebutuhan makanan. Efisien bagi pembeli karena waktu dan tenaganya lebih bisa dikonsentrasikan untuk bekerja dan berprestasi. Efisien juga bagi pengelola warung karena volume masakan yang besar. Mass production.
Siapun bisa makan di restoran. Sehat maupun sakit. Coba bayangkan apa yang terjadi jika seorang yang mengidap penyakit hepatitis makan di restoran. Tentu amat logis bila kemudian virus yang berasal darinya menempel di cendok yang dipakainya. Tentu saja cendok itu kemudian dicuci oleh petugas restoran. Tetapi, siapapun tahu bahwa virus itu ukurannya kecil. Tidak nampak oleh mata telanjang. Tentu tidak mudah menghilangkan virus dari cendok. Siapapun yang kemudian menggunakan cendok ini untuk menikmati menu restoran kegemarannya akan sangat berisiko tertular penyakit hepatitis. Sesuatu yang sangat membahayakan!
Logika tentang penyakit seperti yang tertulis di atas tentu sudah banyak diketahui orang. Faktanya, penggemar makanan di warung atau restoran tidak surut. Bahkan dari tahun ke tahun bisnis ini makin ramai seiring dengan perkembangan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Maka, risiko penyebaran penyakit hepatitis dan penyakit penyakit lain yang menular lewat jalur saluran pencernakan akan makin meningkat. Bagaimana solusinya?
♦♦♦♦
“Semua pengendali makanan mesti: (1) memakai apron dan penutup kepala. (2) menyediakan air panas untuk perkakas seperti sudu dll sebelum digunakan. MMC. Hotline 085-424-111”. Ini adalah tulisan dalam bahasa melayu yang terpampang di sebuah papan besar di food court Terminal Bus Miri, kota di Malaysia Timur yang berbatasan dengan Brunei Darussalaam. Apron adalah kain penutup dada para petugas restoran yang dalam bahasa kita sering disebut clemek. Sudu adalah sebutan cendok dalam bahasa Melayu. MMC, Miri Municipal Council, adalah si pemasang papan itu yang dalam masyarakat kita disebut dengan pemerintah kota (pemkot).
Pembaca yang budiman, pemerintah Miri mewajibkan pengusaha restoran menyediakan segelas air panas untuk mensterilkan cendok sebelum dipakai oleh pelanggan restoran. Maka, saat makan di Miri, disamping sepiring makanan dan segelas minuman, pelayan restoran juga menyediakan segelas air panas. Cendok dan garpu dibenamkan di gelas air panas ini. Sebuah upaya yang cerdas dari pemerintah setempat untuk melindungi warganya yang makan di warung dari berbagai penularan penyakit lewat jalur pencernakan.
Kelihatannya sepele. Tetapi sesungguhnya ini adalah upaya yang sangat besar. Biasya operasi ganti hati sekitar Rp 3 Milyar bisa dihemat dengan segelas air panas ini. Harga segelas air panas tentu tidak ada apa apanya dibanding Rp 3 Milyar. Kalaupun tidak ganti hati, biaya perawatan di rumah seperti sahabat yang saya bezoek tadi juga besar. Kebijakan gelas air panas untuk sudu dari MMC memang cerdik. Bisa menjadi teladan bagi para pengusaha restoran, pemkot ataupun pemkab. Ayo!
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah BAZ, terbit di Surabaya
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Atau ikut KELAS KORPORATISASI
Baca juga:
Pelesir: Pasar Osh Kyrgistan
Agar Rupiah Diterima di Uzbekistan
Nha Hang: Hijrah dan Tumbuh Berprestasi
Khao San Road 7 Pagi 11 Malam
Korporasi USA di Moscow
Ping-balik: Jembatan Terpanjang Dunia | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi
Ping-balik: Raya Caruban Orchard Road | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi USA di Moscow | Korporatisasi
Ping-balik: Chatsworth Road: Tujuhbelasan | Korporatisasi