Berada di kota manapun, yang selalu saya cari adalah masjid raya. Masjid terbesar di kota itu. Indah sekali bisa sholat sunnah selepas adzan dan selanjutnya sholat wajib begitu iqomah diperdengarkan. Keindahan tiada tara yang tidak tergantikan dengan apapun.
Maka, begitu selesai check in di sebuah hotel di kawasan Pham Ngu Lao, saya segera keluar berjalan kaki mencari masjid untuk sholat magrib dan isya secara jamak. Jalan kaki malam itu pun terasa indah. Ho Chi Minh yang tidak ada mall itu terasa sebagai sebuah mall besar. Rolex, Zara, Crocodile, dan merek-merek terkenal lain hadir berupa toko di pinggir-pinggir jalan dengan pedestrian-pedestrian lebar. Pedestrian telah menjadi semacam koridor mall yang penuh dengan pejalan kaki santai.
Setelah berjalan lumayan jauh dalam balutan kesegaran suasana, ketemulah sebuah masjid cukup besar. Sebuah bangunan dengan cita rasa India bertahun 1935. Segeralah saya mengambil air wudhu dan menunaikan sholat. Memang saya tidak sempat mendengarkan adzan isya malam itu karena datang sudah terlalu larut malam. Tetapi saya susun jadwal selanjutnya agar bisa maksimal menghadiri shalat jamaah di masjid itu selama tinggal di kota terbesar di vietnam ini. Sebuah keindahan tersendiri pada sebuah kota dimana keberadaan muslim sangat minoritas itu.
Dan benar. Masjid yang dibangun dan dikelola oleh komunitas muslim asal India itu benar benar menjadi oase selama keberadaan saya di kota yang dilintasi sungai Saigon itu. Bukan sekedar oase spiritual. Lebih dari itu, di sekitar masjid juga ada beberapa warung masakan halal. Ada ala malaysia, turki dan india. Sesuatu banget untuk dinikmati.
••••
Hari ahad lalu saya mengisi aktivitas senggang di sore hari dengan berkebun. Mempercantik taman kecil di depan kantor yang tidak jauh dari rumah. Perhatian saya tertuju pada sebuah rumpun bunga bakung. Membayangkan rumpun tanaman ini akan lebih baik bila diperluas. Alternatifnya: bisa membeli lagi bibit baru atau memecah rumpun itu menjadi bibit bibit bakung dan kemudian menanamnya kembali dengan area yang lebih luas. Alternatif kedua lah yang saya pilih. Segera saya dongkel dengan linggis rumpun itu. Saya pisah umbi demi umbi lengkap dengan daunnya sebagai bibit baru. Dan kemudian menanamnya kembali. Rumpun bakung itu pun kemudian menjadi hamparan bakung yang lebih luas. Tinggal menunggunya tumbuh dan beranak-pinak kembali seperti rumpun asalnya.
Pembaca yang baik, apa yang terjadi pada rumpun bakung ahad sore itu tepat sekali untuk menggambarkan keberadaan masjid India di Ho Chi Minh City. Umat Islam di India yang populasinya cukup besar adalah analog dengan bakung yang rumpunnya juga lebat. Umbi dan daunnya berjejal memenuhi hamparan tanah sempit. Memisah umbi umbi tersebut menjadi bibit dan kemudian menanamnya kembali di lahan kosong adalah penyebaran sebuah kebaikan. Ho chi Minh adalah “hamparan tanah kosong” yang siap ditanami “bibit-bibit bakung”. Itulah yang dilakukan oleh kaum muslimin India yang kemudian pada tahun 1935 membangun masjid yang kini berada tidak jauh dari hotel Sheraton itu.
Pembaca yang baik, itulah hikmah dari hijrah. Meninggalkan tanah kelahiran menuju kawasan lain untuk penyebaran kebaikan. Hijrah itulah yang 1434 tahun lalu dilakukan oleh Nabi SAW bersama para sahabat dari Makkah ke Madinah. Tonggak sejarah perkembangan Islam yang luar biasa. Hijrah itulah pula yang dilakukan oleh komunitas muslim india di masjid yang dalam bahasa setempat bernama Nha Hang itu.
Dan ternyata, hijrah itu mengandung manfaat luar biasa bagi saya dan para pelancong lain dari berbagai negeri. Tentu juga bagi warga lokal yang kemudian menjadi muslim. Bisa menikmati indahnya sholat jamaah di tengah komunitas mayoritas vietnam yang non muslim. Menikmati menu halal di sebuah komunitas yang tidak mengenal halal haram. Semua berkat hijrah. Jika Anda suatu saat berkesempatan ke Ho Chi Minh…jangan lupa datang ke masjid Nha Hang. Nikmati sensasi keindahan sholat jamaahnya. Nikmati kuliner halal di sekitarnya. Nikmati hasil hijrahnya. Nikmati Nha Hang!
*)Ditulis oleh Iman Supriyono, konsultan dan direktur SNF Consulting sebagai catatan perjalanan di Ho Chi Minh City, Vietnam. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Mulia, terbit di Surabaya, dengan judul “Nha Hang“
Ping-balik: Sudu: Miri Municipal Council | Korporatisasi
Ping-balik: Jembatan Terpanjang Dunia | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi
Ping-balik: Raya Caruban Orchard Road | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi USA di Moscow | Korporatisasi
Ping-balik: Chatsworth Road: Tujuhbelasan | Korporatisasi
Ping-balik: Aleksandrovskiy Sad: Tumbuh Eksponensial | Korporatisasi
Ping-balik: Aleksandrovskiy Sad: Menjaga ROA | Korporatisasi