Hari masih pagi ketika saya keluar dari kamar sebuah hotel di tengah kota Ho Chi Minh. Pagi itu agenda saya memang jalan-jalan. City tour menikmati suasana kota yang baru pertama kali saya kunjungi itu. Di tangan sudah tersedia peta kota yang cukup informatif. Maka saya pun segera menuju Ben Tanh Market. Saya ingin menyaksikan bagaimana kondisi pusat perbelanjaan di kota terbesar Vietnam itu yang juga akrab disebut HCMC itu.
Begitu masuk dari pintu utama, yang menonjol adalah stan pakaian. Saya cek harganya kurang lebih seperti harga baju-baju di Indonesia. Terus berjalan menyusuri lorong pasar yang sangat terasa adalah kebersihannya. Bahkan ketika tiba di bagian pasar basah, kebersihan itu tetap terasa menonjol. Pedagang sayur, ikan, daging babi, ayam, semua menata dagangannya dengan rapi dan bersih. Saya pun meninggalkan pasar dengan membeli sawo dan srikaya yang ukurannya jumbo, kelapa muda yang sabutnya sudah dikupas dengan rapi, kaos T shirt dan gantungan kunci. Harganya semua mirip-mirip dengan harga di Indonesia. Suasana yang juga mirip pasar-pasar tradisional di Indonesia.

Di taman, bukan di Mall: jalan-jalan, olah raga, bercengkerama dengan sahabat atau keluarga….. itulah HCMC
Bagaimana kalau ada orang membutuhkan barang-barang yang lebih berkelas? Jam tangan Rolex, baju bermerek Zara, tas LV misalnya? Tentu yang seperti ini tidak ada di pasar. Terus apakah orang HCMC tidak butuh barang seperti itu? Tetap butuh. Dimana membelinya?
Kalau di Indonesia tentu dengan mudah kita bisa memperoleh barang barang branded seperti itu di mall-mall besar yang tersebar di seantero kota. Nah, HCMC agak berbeda. Di kota pusat bisnis Vietnam ini sama sekali tidak ada Mall. Lalu tidak adakah merek merek terkenal itu? Tetap ada. Merek merek terkenal seperti itu hadir di toko-toko pinggir jalan. Kemewahan interior untuk mamajang Rolex misalnya bisa diperoleh di sebuah toko tidak jauh dari Ben Tanh Market. Begitulah semua merek merek terkenal memiliki outlet di toko-toko pinggir jalan.

HCMC: olah raga pagi di taman kota yang luas indah segar dan gratis….. bukan di gym nya mall yang bayar…
Mungkin Anda membayangkan betapa tidak myamannya berbelanja barang mewah seperti itu di toko pinggir jalan. Tidak. Bayangan seperti itu tidak terjadi di HCMC. Tidak adanya mall justru menjadikan kota itu lebih mirip sebagai sebuah mall besar. Suasana ini terbentuk oleh taman-taman kota yang cantik dimana-mana. Pedestriannya walaupun tidak berkeramik seperti di Singapura tetapi nyaman dipakai jalan-jalan karena selalu diteduhi dengan pohon-pohon rindang berhias taman-taman kota nan elok nyaris dimanapun kita berada.
Suasana ini membentuk budaya masyarakat yang juga berbeda dengan Jakarta atau Surabaya misalnya. Tempat favorit untuk jalan-jalan kelarga di malam minggu kalau di Surabaya atau Jakarta pastilah ke mall dengan aneka barang bermerek dan food court yang nyaman. Di HCMC, masyarakat menikmati suasana santai dengan jalan-jalan di taman dan pedestrian kota. Yang mau berbelanja barang bermerk atau dan menikmati makanan bisa mampir di toko-toko di pinggiran jalan. Maka, tiap hari nyaris 24 jam pedestrian dan taman kota selalu dipadati masyarakat yang bersantai.
&&&&
Pembaca yang baik, keberadaan mall besar di kota memang dianggap menjadi penanda modernitas. Tapi itu ternyata bukan sesuatu yang mutlak. HCMC berhasil membangun kota tanpa mall yang justru menjadikan nyaris seluruh penjuru kota menjadi nyaman untuk jalan-jalan. Suasananya jadi mirip pesta kebun besar dimana-mana dan setiap saat.
Di HCMC, saya jadi ingat sebuah lagu lama berbahasa jawa suroboyoan… “Rek ayo rek mlaku mlaku nang tunjungan….”. Suasana jalan-jalan seperti yang digambarkan pada lagu itu ternyata dapat dinikmati dengan sempurna di Ho Chi Minh. Apapun kebutuhan warga kota disediakan dengan baik di Ho Chi Minh. Taman terbesarnya dengan lebar lebih dari 500 meter dan lebih panjang 2 km dipenuhi dengan fasilitas olahraga yang bisa dipakai siapa saja kapan saja. Maka jangan heran setiap saat ada saja masyarakat yang memanfaatkannya untuk olahraga menjaga kebugaran. Bahkan di tengah malam pun. Semuanya terjadi karena konsep sederhana: kota tanpa mall!
Ditulis oleh Iman Supriyono, konsultan dan direktur SNF Consulting. Tulisan ini pernah dimuat di majalah Baz, terbit di Surabaya, dengan judul “Tanpa Mall”
Matur suwun Kang..sdh berbagi
sami2. haturnuhun juga ….
Alhamdulillah di Hutan Kota Serpong sudah mulai dibuat yang kyk begitu mas..
siip….semoga makin bagus….
Ping-balik: Jembatan Terpanjang Dunia | Korporatisasi
Ping-balik: Jamaah Shalahuddin | Korporatisasi
Ping-balik: Raya Caruban Orchard Road | Korporatisasi
Ping-balik: Korporasi USA di Moscow | Korporatisasi
Ping-balik: Chatsworth Road: Tujuhbelasan | Korporatisasi