Rata-rata nilai rapor sebuah kelas semester lalu adalah 8,1. Semester ini mengalami penurunan yang drastis menjadi 6,9. Wali kelas pun pusing tujuh keliling. Tapi tidak demikian dengan si Budi. Nilainya justru meningkat. Semester lalu 7. Semester ini justru menjadi 9. Budi pun melakukan sujud syukur. Ayah ibunya bahagia.
Paragraf diatas adalah analogi yang bagus untuk menarasikan kondisi melambatnya ekonomi sebagai akibat dari penyebaran virus Covid atau karena sebab apapun. Perlambatan ekonomi dalam ukuran statistik adalah penurunan product domestik bruto (PDB, GDP). Disebut resesi bila terjadi penurunan PDB. Tapi kembali ke analogi di atas, PDB itu adalah seperti nilai rata-rata kelas. Dan itu adalah indikator keberhasilan seorang “wali kelas” yaitu pemerintah dalam “membimbing keseluruhan murid-muridnya” yaitu para pelaku bisnis.

Bagaimana kita sebagai pelaku ekonomi baik individu maupun korporasi? Gambarannya adalah seperti si Budi dalam analogi di atas. Rata-rata kelas boleh turun. Tetapi namanya rata-rata kan diperoleh dari keseluruhan warga kelas. Ada yang turunnya lebih parah dari pada penurunan rata-rata kelas. Ada yang menurun persis seperti penurunan rata-rata kelas. Tapi pasti ada juga yang seperti Budi. Justru mengalami peningkatan saat rata-rata kelas turun.
Sebagai pelaku bisnis, fokuslah pada apa yang Anda lakukan. Jangan terpengaruh oleh “nilai rata-rata kelas”. Biarlah nilai rata-rata kelas itu menjadi ukuran kinerja “wali kelas” pemerintah. Jadilah seperti si Budi dalam analogi di atas.
$$$
Krisis pada dasarnya adalah sebuah gejolak atau perubahan ekonomi. Dalam perubahaan apapun, selalu ada pihak yang diuntungkan. Ada pihak yang dirugikan. Ada juga yang netral. Tidak diuntungkan juga tidak dirugikan.

Mari belajar dari sejarah perusahaan. Ketika terjadi krisis minyak dunia tahun 1973, Toyota, perusahaan otomotif yang kini terbesar dunia, merasakannya dari kedua sisi. Sisi yang diuntungkan dan sisi yang dirugikan.
Yang dirugikan adalah negara-negara bukan produsen minyak seperti Eropa. Pasar mobil di Eropa turun drastis. Volkswagon Jerman mengalami kerugian. BLMC Inggris dinasionalisasi. Penjualan Toyota di Eropa pun turun. Deutsche Toyota Fehrtrip, perusahaan distributor Toyota di Jerman Barat, mengalami krisis dan akhirnya diakuisisi oleh Toyota yang secara global masih kokoh.
Sebaliknya, yang diuntungkan adalah Timur Tengah. Di kawasan yang menjadi episentrum krisis minyak dunia ini, permintaan mobil meningkat tajam karena melimpahnya uang hasil penjualan minyak. Impor mobil di 11 negara Timur Tengah naik dari 190 ribu unit tahun 1973 menjadi 670 ribu unit pada tahun 1976. Timur Tengah berubah drastis menjadi pasar utama mobil dalam sekejap. Tahun 1973 ekspor Toyota ke Timur Tengah hanya 30 ribu mobil alias 4,2% dari total ekspor. Ekspor tumbuh dua kali lipat dalam dua tahun menjadi 102.800 mobil pada tahun 1975 alias 12% dari total ekspor Toyota.
$$$
Bagaimana perusahaan Anda di tengah wabah Corona? Ada tiga kemungkinan. Terpengaruh negatif seperti travel agent atau maskapai penerbangan. Terpengaruh positif seperti perusahaan produsen masker dan alat-alat kesehatan terkait corona. Atau netral seperti perusahaan produsen beras misalnya.
Yang netral tidak peru dibahas. Bagi yang terpengaruh positif, tetaplah berperilaku wajar. Jangan berfoya-foya di di tengah penderitaan orang lain. Manfaatkan uang melimpah dari efek corona ini untuk berinvestasi. Mengembangkan perusahaan. Membangun sistem manajemen. Menjadikannya sebagai proses percepatan pencapaian visi. Atau upgrade visi perushaan jika selama ini masih terlalu rendah. Siapkan strategi untuk ekspansi pasar. Termasuk ekspansi ke luar negeri.
Bagi yang terpengaruh negatif, ini saatnya untuk belajar. Mungkin saja selama ini manajemen risiko perusahaan sudah bagus. Ada persediaan kas yang cukup untuk menjalankan operasional perusahaan sepanjang penyebaran wabah corona yang bisa sekitar 3 bulan. Bersyukurlah jika kondisi perusahaan Anda seperti ini. Kontrol ketat pengeluaran. Berhemat. Agar jika masa pengaruh corona lebih panjang perusahaan tetap selamat sampai nanti kondisi normal kembali.
Tetapi mungkin saja selama ini manajemen risiko perusahaan kurang baik. Tidak ada persediaan kas yang cukup untuk bertahan menghadapi penurunan. Jika seperti ini, perusahaan harus mencari cara untuk bertahan. Bisa memangkas berbagai pengeluaran secara ekstrim. Bisa mendatangkan dana dari pihak luar seperti menerbitkan saham baru atau utang. Risikonya adalah tingginya cost of capital. Dana mahal. Tetapi apapun yang terjadi perusahaan tetap harus diselamatkan. Saatnya menghalalkan segala cara yang memang halal.
Jadikan pelajaran untuk masa depan. Bahwa perusahaan harus siap segala kondisi. Krisis selalu datang dan datang lagi. Kalau rumusnya Nabi Yusuf, perusahaan harus siap tujuh tahun masa paceklik. Persiapannya diperoleh dari menyimpan hasil panen dari tujuh tahun masa subur. Agar saat paceklik justru bisa membangun mereka-mereka yang mengalami kesulitan.
Masa-masa bisnis melambat juga berarti banyak kesempatan untuk melakukan pembenahan. Di bidang akuntansi keuangan misalnya. Menurunnya volume transaksi akan menjadi saat yang tepat untuk melakukan pembenahan sistem akuntansi. Menambal apa-apa yang selama ini kurang. Pembenahan untuk proses korporatisasi lebih lanjut.

Masa-masa bisnis sepi berarti banyak waktu bagi manajemen untuk memikirkan dan mendesain ulang strateginya. Mendesain ulang road map perusahaan. Jika perlu dan memungkinkan panggil konsultan manajemen. Bagaimana agar perusahaan menjadi seperti Toyota. Saat krisis justru menjadi kesempatan untuk mengakusisi. Justru mendapatkan keuntungan dari negara yang ekonominya terpengaruh positif oleh krisis. Bisa!
*)Artikel ini ke-255 ini semula ditulis untuk pwmu.com oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting, pada tanggal 24 Maret 2020 sambil menikmati suasana bekerja dari rumah alias work from home kemudian diunggah di laman ini dengan editing dan sedikit penambahan.
Ping-balik: Corona Sebagai Durian Runtuh: Zoom | Catatan Iman Supriyono
Cak Iman, diversifikasi Toyota saat periode krisis dilakukan dengan cara membangun pabrik pemutihan kain. Padahal Toyota sudah berekspansi secara global ke beberapa negara. Harusnya cukup untuk mengatasi krisis seperti yang dianjurkan oleh korporatisasi (ekspansi). Nah apakah artinya hanya berekspansi global tidak cukup utk menghadang efek krisis?
Saya belum baca ttg pemutihan kain itu
Ada di Sarapan pagi nomor 1532 “Sejarah Toyota: Perampingan dan Diversifikasi Saat Terpuruk”, Toyoda cikal bakal Toyota mendiversifikasi bisnisnya ke bleaching fabric. Jika sudah berkekspansi global, msh mendiversifikasi bisnis kan artinya tidak cukup utk menghadang efek krisis?
Toyoda memang berbisnis mesin2 kain dan tenun yang kemudian melahirkan Toyota
Toyoda saat berbisnis mesin2 kain apakah sudah melakukan ekspansi global Cak?
sudah tapi masih sangat terbatas
Ping-balik: Ngawur Tentang Resesi: Tarik Uang di Bank? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Bisnis Rumah Sakit: Bagaimana 2021? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Simalakama Garuda: Pailit Atau Korporatisasi? | Korporatisasi
Baik dan perlu di praktekkan