Banyak yang salah menyebut dan memaknai Return on Investment (ROI). Salah kaprah dalam istilah jawa. Silakan baca penjelasan ini:

Seperti mendaki gunung, mendayagunakan ROI dalam korporatisasi adalah berat di awal. Tetapi semua akan terbayar setelah mencapai puncak. Foto: puncak gunung Welirang, koleksi pribadi
- Sebagai gambaran, misalkan sebuah perusahaan pemilik merek resto menawarkan peluang investasi dengan nilai Rp 300 juta. Prinsipal tersebut menjanjikan (berdasarkan proyeksi) bahwa si investor tiap tahun akan menerima uang dari investasi tersebut sebesar Rp 100 juta. Dengan demikian dalam tiga tahun uang Rp 300 juta akan kembali. Dikatakan bahwa ROI adalah 3 tahun. Ini adalah contoh penggunaan istilah ROI yang salah
- Mestinya yang tepat adalah Payback Period (PBP). PBP 3 tahun artinya investasi sebesar Rp 300 juta yang dikembalikan Rp 100 juta per tahun. Akan kembali total dalam waktu 3 tahun. Pengembalian 100 juta per tahun itu tidak peduli apa dari laba atau laba plus depresiasi. Dalam analisis PBP yang diperhitungakan adalah aliran kas dari investasi. Tidak peduli perhitungannya seperti apapun
- Jika investasi resto tersebut misalnya termasuk didalamnya sewa bangunan selama 5 tahun dan perjanjian kerjasama antara investor dan prinsipal juga 5 tahun berarti setelah 3 tahun si investor akan menerima Rp 100 juta per tahun alias total Rp 200 juta. Setelah itu investasi bisa dihentikan atau dilanjutkan (dengan memperpanjang sewa bangunan dll) sesuai kesepakatan antara prinsipal dan investor
- PBP digunakan untuk menganalisis investasi yang berbatas waktu. Ada awal ada akhirnya. Sifatnya proyek.
- Lalu bagaimana penggunaan ROI? Secara konsep, ROI digunakan untuk investasi yang tidak berbatas waktu. Waktunya selamanya. Karenanya si investor tidak memikirkan kapan uangnya akan ditarik kembali.
- Contoh penggunaan ROI yang tepat adalah saat seorang investor masuk sebagai pemegang saham sebuah perusahaan yang menerbitkan saham baru.
- Misalkan ABC adalah perusahaan ritel yang telah memiliki dan mengoperasikan 20 mini market. Katakan total aset ABC adalah Rp 25 milyar. Dari 20 gerai yang dioperasikan perusahaan mengantongi omzet 10 Milyar dengan laba 800 juta rupiah (per tahun). ABC telah berusia 20 tahun sejak pendiriannya. Sepanjang usia tersebut ABC sepenuhnya tumbuh dari modal setor pendirinya ditambah laba yagn tidak dibagikan (laba ditahan) dan utang bank sesuai kapasitas agunan yang dimilikinnya. Katakan total utangnya Rp 5 miliar sehingga ekuitasnya adalah Rp 20 miliar.
- Titap tahun rata-rata hanya membangun 1 gerai baru. Lambat sekali untuk ukuran pertumbuhan sebuah perusahaan. Lambat karena hanya mengandalkan uang dari si pendiri dan utang. Katakan 20 tahun lalu pendiri menyetor uang Rp 400 juta untuk mendirikan PT ABC berupa 400 lembar saham @ Rp 1 juta
- Untuk lebih cepat, maka tahun depan ABC merencanakan ekspansi 5 gerai baru. Satu gerai dari kas internal dan selebihnya (4 gerai) dari investor dengan mekanisme menerbitkan saham baru
- Untuk keperluan itu perusahaan menyusun proposal. Dengan adanya gerai baru tersebut tahun depan akan memperoleh laba Rp 1 miliar.
- Investor DEF sepakat masuk sebagai pesaham baru. Setelah berunding, disepakati bahwa DEF akan menyetor Rp 5 miliar dengan mendapatkan 50 lembar saham. Artinya DEF membayar 100 juta per lembar.
- Dari Rp 100 juta tersebut, yang dibukukan sebagai saham adalah Rp 1 juta. Selebihnya sebesar Rp 99 juta adalah agio saham alias tambahan modal disetor alias additional paid in capital (APIC). Agio saham adalah untuk menghargai intangible asset seperti merek, pengalaman, jaringan dengan pemasok, kekuatan sistem manajemen dan sebagainya. Jadi menerbitkan saham baru bagi ABC adalah cara menjual intangible asset tersebut untuk menghasilkan modal ekspansi. Perusahaan yang tidak pernah melakukannya berarti tidak pernah menjual intangible asset yang telah dengan susah payah dibangunnya bertahun-tahun dengan keringat dan air mata
- Dengan transaksi tersebut, nilai ABC sebagai perusahaan adalah Rp 100 juta dikalikan total lembar saham yaitu 450 lembar alias Rp 45 miliar. Nilai perusahaan meningkat pesat berkali-kali lipat dari nilai bukunya. Nilai seperti ini tidak akan pernah terjadi pada perusahaan yang tidak menerbitkan saham baru. Ibarat kenaikan harga rumah atau properti yang tidak pernah dijual.
- Dengan jumlah lembar saham yang dibayarnya, DEF akan memiliki hak 50/450 alias 11% dari laba Rp 1 miliar sebagaimana yang diproyeksikan. Angka 450 adalah jumlah lembar saham setelah penerbitan saham baru. Rinciannya, 50 lembar dipegang oleh DEF dan 400 lembar tetap dipegang oleh pendiri ABC. Dengan demikian proporsi kepemilikan tersebut maka hak laba DEF adalah Rp 111 juta.
- Dengan hak laba itu maka dikatakan bahwa ROI investasi DEF dalam investasi saham mini market ABC adalah Rp 111 juta dibagi Rp 1 milyar alias 11,1 %.
- Apakah Rp 111 juta itu diterima oleh DEF sebagai uang kas? Tidak. Yang diterima adalah dividen. Biasanya laba tidak semua diambil sebagai dividen. Untuk perusahaan yang ekspansif, umumnya hanya sekitar 20-30% laba yang dibagi menjadi dividen. Katakan ABC membagi 30% laba. Rp 300 juta sebagai dividen
- Dengan pembagian dividen tersebut maka DEF akan menerima 11,1 % alias sebesar Rp 33 juta. Jika dibagi degnan investasi Rp 1 miliar maka divident yield investasi ABC adalah Rp 33 juta dibagi Rp 1 miliar alias 3,3%. Angka ini sudah sangat bagus bagi sebuah investasi saham.
- Muncul pertanyaan, mengapa 3,3% dikatakan sangat bagus? Padahal kalau didepositokan bisa mendapatkan 6% per tahun. Jawabanya karena adanya capital gain yang bisa diharapkan. Capital gain adalah kenaikan harga saham saat dibeli dan saat dijual di kemudian hari. Sebaliknya, deposito malah nilainya termakan inflasi. Investasi saham itu seperti investasi properti. Insvetor rumah yang menyewakan asetnya hanya memperoleh uang sewa sekitar 3% per tahun dari nilai rumah.
- Dalam kasus ABC, saat didirikan harga saham hanya Rp 1 juta. Persis sama antara nilai nominal (par value) dengan nilai pasar (market value). Tetapi 20 tahun kemudian untuk saham yang par value-nya tetap Rp 1 juta investor DEF mau membayar Rp 100 juta. Naik 100x lipat dalam 20 tahun.
- Jika ingin menikmati hasil kerjanya, pendiri ABC bisa menjual sebagian sahamnya dengan harga kurang lebih Rp 100 juta per lembar kepada orang lain. Menjual 10 lembar saja sudah akan menerima Rp 1 miliar. Menerima capital gain sebagai cara menikmati hasil bisnis tanpa mengganggu kas dan pertumbuhan perusahaan
- Mengapa untuk investasi saham ABC si DEF tidak perlu memperhatikan PBP? Karena investasinya jangka panjang. Dan jika ia ingin uangnya kembali sewaktu waktu bisa menjual saham yang dimilikinya dengan harga yang bagus seperti yang contoh penjualan saham si pendiri di atas.
- Perusahaan yang bagus akan terus menerus menerbitkan saham baru untuk ekspansi. Kas untuk investasi bisa berkali kali laba. Sebagai contoh pada ABC ini, laba hanya 800 juta atau naik Rp 1 miliar tapi investasinya 5 Miliar. Lima kali laba. Jika ini dilakukan tahun berikutnya ABC bisa membangun paling tidak 10 gerai dari penerbitan saham baru lagi. Ketika itu harganya sudah akan meningkat lagi karena labanya juga meningkat. Merek juga makin kuat karena gerainya makin menjamur. Investor tetap akan memperoleh ROI paling tidak seperti yang diterima oleh DEF walaupun harganya meningkat. Inilah yang disebut proses korporatisasi. Menerbitkan saham secara terus menerus untuk ekspansi yang pesat.
- Tanggung jawab manajemen adalah mewujudkan apa yang telah dituangkan dalam proposal. Laba proyeksi Rp 1 Miliar harus benar-benar tercapai. Jika tidak investor akan kecewa. Inilah yang menyebabkan korporatisasi adalah sarana menguatkan manajemen. Plan-execute-control! Tanpa eksekusi perencanaan tidak akan ada artinya.
Bagaimana, Anda sudah menangkap apa perbedaan ROI dan Payback period? Sudah bisa menangkap nilai strategik memanfaatkan ROI untuk ekspansi perusahaan senilai 5x laba dalam setahun? Sudah bisa membayangkan bagaimana menggunakan ROI untuk mengembangkan perusahaan Anda?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga: Korporatisasi langkah demi langkah
*)Artikel ke 219 ini ditulis pada tanggal 22 Agustus 2019 oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting
Ping-balik: Pajak: Dikejar Petugas atau Beramal? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Ironi Buy Back OJK: Dekorporatisasi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah – SNF Consulting
Ping-balik: Pajak: Dikejar Petugas atau Beramal? – SNF Consulting
Belum paham sy….Pahan dikit dikit ja