Siter
Oleh Iman Supriyono, http://www.snfconsulting.com
Saat diundang untuk memberi masukan kepada salah satu fraksi di DPRD Jatim, hati saya campur campur. Satu sisi saya merasa asing dan buta dengan dunia politik. Hidup saya sepenuhnya beribadah melalui profesi sebagai konsultan di SNF Consulting. Sisi lain, hati saya berbunga-bunga. Bisa berdiskusi dengan para politisi. Walaupun tetap saja diskusinya tentang si Rupiah. Tentang anggaran.
Segeralah perhatian saya tercurah mata anggaran demi mata anggaran. Salah satu yang menarik bagi saya adalah kesehatan. Membaca mata anggaran ini, saya jadi ingat siter. Inilah salah satu kudapan faforit saya dan kawan kawan saat masih di SD. Kudapan pedesaan berupa biji trembesi. Kulitnya keras warna coklat. Di dalamnya ada isi berwarna kuning. Gurih. Siter kira kira adalah akronim dari isi trembesi.
Siter mengantarkan saya untuk membandingkannya dengan kudapan anak anak masa kini. Saya jadi ingin tahu. Apa yang saat ini dimakan anak anak usia TK SD sebagai tambahan terhadap menu kelas berat berupa nasi tiga kali sehari.
Maka, ide pun muncul. Segera saya datang ke sebuah warung di gang kecil sebuah kampung. Di dekat warung itu ada sebuah sekolah TK dan dua SD. Saya ambil setiap jenis kudapan yang dijajakan satu-satu. Setelah semua terkumpul, si penjual segera menghitung. Sekitar Rp 20 ribu untuk sekitar 40 jenis kudapan. Rata rata Rp 500 perbungkus.
Sesampai di rumah, segera saya buka bungkus demi bungkus kue tadi. Mencicipi kudapan jaman modern. Merek dan namanya macam macam. Tetapi hampir semuanya kurang lebih sama: sejenis biskuit atau kripik berbahan tepung dengan berbagai rasa.
Segera saya menghitung hitung. Dari Rp 500 harga kue, tentu kemudian dibagi bagi menjadi beberapa komponen. Coba kita kira-kira. Laba toko pengecer Rp 50. Honor sales yang mengedarkannya Rp 50. Laba pedagang perantara antara toko pengecer hingga pabrik Rp 100. Gaji pegawai pabrik, depresiasi mesin-mesin pengolah, harga kemasan, dan laba pabrik Rp 100. Maka, yang tersisa untuk bahan baku adalah Rp 200 perbungkus.
Pertanyaannya, bahan kue apa yang bisa dibeli dengan uang Rp 200? Jawabnya: tidak ada yang bisa dibeli kecuali: tepung, bahan perasa, bahan pewarna, dan bahan pengawet. Jadi kalaupun misalnya kue itu rasa coklat, tentu bukan coklat sebenarnya. Hanya perasa coklat saja. Kalau rasa keju, tentu bukan keju sebenarnya. Hanya rasa keju saja. Demikianlah pula untuk rasa jeruk, nanas, susu, manis, gurih, ayam, daging, dan sebagainya. Jangan membayangkan bahan-bahan bergizi dari uang dua ratus perak. Tidak ada coklat, keju, daging, ayam, jeruk, nanas atau bahan bahan sejenis yang bisa dibeli dengan uang Rp 200 perbungkus.
••••
Ingatan saya kemudian tertuju pada masyarakat kelas bawah. Para buruh pabrik, pedagang kecil, tukang becak, kuli bangunan dan sejenisnya. Mereka punya anak-anak kecil yang sedang sekolah di TK dan SD. Untuk buah hati, tiap hari mereka memberi uang saku. Lima ratus atau seribu rupiah tiap hari. Tapi bagi mereka, ini adalah bukti cinta dan harapan kepada buah hati yang sedang menuntut ilmu.
Untuk apa uang saku seribu atau lima ratus rupiah tiap hari? Tentu untuk beli kudapan di sekolah. Kudapan apa? Tidak lain adalah kudapan yang didalamnya berisi: tepung, perasa, pewarna dan pengawet. Gizi? Tentu kalah jauh dengan siter. Bahkan siter jauh lebih baik karena tidak mengandung pewarna, perasa, dan pengawet yang bila dikonsumsi tiap hari tentu sangat berbahaya.
Maka, bayangkan kualitas generasi mayoritas bangsa ini dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan. Generasi yang ayah ibunya hanya berpendapatan UMR atau bahkan kurang. Di rumah makan seadanya. Ada uang kudapan barang seribu atau lima ratus rupiah perhari sama sekali tidak untuk menambah gizi. Berat sekali untuk membayangkan kualitas generasi.
Suram? Tidak juga. Harapan selalu ada. Dari mana harapan itu? Dari Anda para dermawan. Tentu juga dari anggaran pemerintah yang tidak salah alamat. Mendidik masyarakat bawah agar uang yang ada dibelanjakan makanan yang berkualitas tentu butuh daya upaya dan dana. Edukasi. Uang sedikit tentu lebih bergizi jika dibelikan pisang goreng, kacang, kedelai, koro, tempe goreng, dan sejenisnya….termasuk siter. BMH dan lembaga lembaga amal lain sudah berupaya. Anda para donatur adalah pendukungnya. Menyelamatkan generasi. Makin banyak donasi makin banyak pula generasi yang bisa diselamatkan. Ayo!
Tulisan ini pernah dimuat di majalah BMHNews, terbit di Surabaya
Tulisan yang menarik pak Iman… belum lagi iklan di tv yang ditayangkan berulang, tentu dibebankan kepada konsumen. Soal rasa enak sih, tapi kalo bagi orang dewasa dan logis mikirnya kalo keterusan pasti berbahaya… bisa menyebabkan kanker beneran dan kanker alias kantong kering bagi yang bergaji pas-pasan.
Sebenarnya menarik jika sekolah memberikan kudapan murah meriah seperti buah lokal, kacang-kacangan lokal, kelihatanya remeh, kalo diberdayakan akan membuat ekonomi didaerah maju lho… terjaid perputaran uang, petani buah senang, pedagang pun senang, tapi orang yang ada di kantin sekolah tidak senang hehehehe…
Selain itu penyedia kudapan atau minuman bagi anak-anak juga tega, memberikan pemanis buatan, pewarna tekstil, dan sejak kecil seingat saya, saya suka dengan makanan seperti itu, mungkin juga anak2 sekarang….
Kesadaran orang tua memberikan pengertian kepada anaknya juga penting, namun gempuran iklan, kemudahan mendapatkan barang, kesadaran lingkungan akan menghantam pesan yang diberikan orang tua.
B: orang tua penanggungjawab utama. ia juga diberi kendali utama. anak tidak akan bisa beli apapun kecuali uangnya dikasih oleh orang tua…bisa kan?