Jepang lanjutkan proyek di RI. Itulah headline harian Bisnis Indonesia tiga hari setelah bencana gempa bumi yang disusul dengan tsunami dan meledaknya reaktor nuklir di Jepang. Harian ini memberikan informasi cukup detail tentang proyek proyek jepang di negeri ini. Ada pembangunan akses jalan tol Tanjung Priok senilai Rp 722,2 Milyar. Ada pembangunan Mass Rapid Transport (MRT, kereta api bawah tanah) sepanjang 15,5 kilometer senilai Rp 12,7 Triliun. Ada proyek double track kereta api dari Manggarai ke Cikarang sepanjang 32 km senilai Rp 6 Triliun. Bencana besar tidak mempengaruhi proyek proyek jepang di negeri ini. Cermin sebuah kekuatan dan ketangguhan negeri matahari terbit ini.
Untuk kelancaran aktivitas seluruh anggota keluarga, jam dinding adalah kebutuhan dasar dalam sebuah keluarga. Sholat, bangun tidur, ke sekolah, bekerja, semuanya membutuhkan penunjuk waktu. Karenanya, salam sebuah rumah sering kali tidak cukup terpasang satu jam dinding. Penanda waktu ini paling tidak harus ada di ruang keluarga, kamar-kamar tidur tiap anggota keluarga, ruang tamu, bahkan dapur. Inilah kebutuhan pokok rumah tangga di jaman modern ini, termasuk rumah saya.
Untuk keperluan jam dinding rumah, seingat saya, sepanjang 18 tahun usia keluarga, saya atau istri belum pernah membelinya. Saat menikah, ada beberapa jam dinding kado dari kawan dan handai taulan. Jam itu kemudian dipasang di ruang ruang yang ada di rumah untuk menemani aktivitas keseharian. Perawatan rutin berupa penggantian batre terus menerus dilakukan.
Seiring perjalanan waktu, satu demi satu jam jam itu rusak. Tapi saya pun tetap tidak perlu membeli yang baru. Setelah itu ada saja jam dinding gratisan souvenir berbagai perusahaan. Cukup untuk mengganti jam-jam yang telah rusak. Bahkan kadang belum ada yang rusak, sudah mendapatkan yang baru lagi dan akhirnya saya berikan kepada orang lain.
Dari silih bergantinya jam dinding selama ini, ada satu yang menarik. Bila jam dinding pada umumnya sudah “datang dan pergi”, jam ini tidak pernah beranjak dari dinding rumah. Bukan karena sengaja diabadikan atau apa. Perawatan yang dilakukan selama ini sama dengan jam jam lain: mengganti batre. Yang jelas, hingga saya mengerjakan tulisan ini, jam warna hitam itu masih bisa menjadi penunjuk waktu yang tepat.
Apa istimewanya? Saya juga tidak tahu persis. Yang jelas, jam dengan ornamen garis garis vertikal ini adalah kado nikah dari seorang sahabat yang juga kawan sekolah SMP di kampung halaman. Bila berpikir sedikit agak melow, awetnya jam Hitachi ini bisa menjadi penanda awetnya persahabatan hingga saat ini. Dan tentu saja saya berharap agar persahabatan itu tidak akan terputus ketika suatu saat jam ini nanti rusak.
Hitachi? Jepang dong? Ya, jam terawet ini adalah karya sebuah perusahaan besutan Namihei Odaira yang sejak tahun 1910 sudah memproduksi motor induksi. Hingga kini, Hitachi adalah sebuah perusahaan penghasil berbagai produk teknologi berkelas global dengan pendapatan ¥8,9 Triliun alias sekitar Rp 900 Triliun. Angka ini setara hampir satu setengah kali pendapatan pajak pemerintah RI. Angka ini di kalangan perusahaan teknologi global hanya kalah dengan Samsung Electronic dan Hewlett Packard. Angka 101 tahun tentu merupakan bukti ketangguhan perusahaan yang sahamnya tercatat di Tokyo dan New York Stock Exchange ini.
Bencana gempa bumi, tsunami dan ledakan nuklir telah kembali menunjukkan kualitas bangsa Jepang. Menunjukkan ketangguhan bangsa investor terbesar di negeri ini. Sebagaimana yang ditulis oleh Bisnis Indonesia, bencana dahsyat pun tidak mengetahui rencana investasinya pada fasilitas-fasilitas penting di negeri ini. Hitachi adalah salah satu pilar dari segudang pilar ketangguhan itu. Saya merasakannya melalui jam dinding Hitachi. Merasakannya melalui kado terawet. Anda mau seperti Hitachi?
Tulisan karya Iman Supriyono ini pernah dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya, dengan judul “Kado Terawet”. Terima kasih kepada seorang sahabat pemberi kado ini yang tidak mau namanya diwebkan