Rawon Cumi
oleh Iman Supriyono, konsultan pada SNF Consulting, http://www.snfconsulting.com
Ada sebuah analisis menarik tentang selera kuliner. Secara umum cita rasa makanan dapat digolongkan menjadi dua. Kelompok pertama adalah kuliner berbumbu kental tajam kelas berat. Bisa dengan rempah rempah atau karena pedasnya cabe. Yang termasuk kelompok ini misalnya adalah masakan india yang aroma rempahnya sangat menyengat. Sup tom yam nya thailand juga termasuk pada kelompok ini. Masakan padang, penyetan khas jawa timur, pecel, rujak cingur, rujak madura, lodeh, gudeg jogja, dan aneka sambel lain bisa dimasukkan pada golongan ini. Ibarat rokok, makanan seperti ini masuk pada kategori rokok kretek sekelas Djie Sam Soe, Djarum 76 atau Gudang Garam Surya. Kandungan tar dan nikotin tinggi.
Kelompok kedua adalah kuliner berbumbu ringan. Contoh masakan jenis ini adalah aneka sup, sayur asem dan sayur bening. Kuahnya bening hanya mengandung bumbu sedikit bumbu. Sedikit garam, sedikit gula, sedikit bawang merah bawang putih dan bebeapa bumbu lain pun sedikit. Cita rasa asli dari bahan makanan masih bisa dirasakan. Kubis masih terasa sebagai kubis, wortel masih terasa sebagai wortel. Jika diibaratkan rokok, makanan jenis ini bisa dikategorikan sebagai rokok berkadar tar dan nikotin rendah seperti A Mild atau LA Light.
Analisis ini menyebutkan bahwa ternyata pada umumnya menu kuliner dengan bumbu kelas berat pada umumnya digemari oleh bangsa bangsa atau masyarakat berekonomi menengah kebawah. Mengapa demikian? Karena masyarakat ekonomi menengah ke bawah tidak mampu membeli daging. Dengan cabe yang banyak, lidah tidak bisa membedakan mana daging mana tempe. Sama sama pedasnya. Sama-sama bikin keringat keluar dari sekujur tubuh. Seorang kawan menambahkan: bahkan irisan spon sandal jepit pun masih terasa nikmat karena pedasnya. Huahahaha…..
•••
Jika sesekali berada di Tuban, jangan lupa menikmati rawon cumi atau kare rajungan. Itulah pesan seorang kawan. Kebetulan suatu saat saya bersama si kawan berada di Tuban untuk sebuah pekerjaan. Di saat santai, langsung saja saya ajak dia untuk bersama menikmati kuliner Tuban referensinya.
Salah satu yang ciri menu itu, menurut kawan tadi, adalah pedasnya yang minta ampun. Saya tetap tertarik karena lidah saya sejak kecil terbiasa makan pecel madiun yang jug dikenal pedas dibanding pecel dari daerah lain. Saya bahkan merasa tertantang. Sepedas apa sih rawon cumi dan kare rajungannya?
Menu yang saya pilih adalah rawon cumi. Sepiring irisan cumi dengan kuah warna hitam khas rawon lengkap dengan sepering nasi pun terhidang. Perut yang sedang lapar membuat kelenjar air liurpun berproduksi deras. Segeralah saya menikmatinya.
Saya coba mengambi seiris cumi. Memang pedas. Saya coba lagi…pedasnya makin tajam. Sampai kira kira lima iris. Seluruh ketahanan pedas saya jebol. Keringat mengalir deras nyaris dari sekujur tubuh. Hampir menyerah. Tetapi saya buru buru ingat bahwa mubadzir adalah saudara syetan. Maka saya harus menghabiskannya. Saya pun mencoba lagi setelah “beristirahat” beberapa saat untuk menetralisir efek pedasnya dengan mengelontor mulut dengan air putih. Tetapi saya hampir benar-benar menyerah sampai saya ingat kebiasaan para ibu saat menyuapi anak anak dengan makanan yang pedas: membasuh makanan dengan air putih. Maka air putih dari botol AMDK besar bukan hanya saya minum, justru saya habiskan untuk “mencuci” irisan cumi cumi agar hilang bumbu pedasnya. Teknik yang mujarab untuk menaklukkan pedasnya rawon cumi sampai ludes.
Yang saya heren, warung itu sangat laris. Saya amati para tamu lain sangat menikmati menu super pedas ini. Bahkan tampak mereka menghisap hisap irisan cumi dengan ekspresi penuh kenikmatan. Kita bisa membaca mereka sebagai sebuah segmen tersendiri dalam kuliner. Segmen penggemar pedas ekstrim. Bentuk aplikatif dari strategi fokusnya Porter. Memilih segmen tertentu di pasar dan melayaninya dengan sangat baik menurut karakter segmen itu.
Saya memang akhirnya tidak kembali lagi ke warung ini karena tidak kuat pedasnya. Saya bukan segmen pedas ekstrim kelas rawon cumi tuban. Tetapi, para penggemer pedas ekstrim ini justru ketagihan. Apakah mereka berasal dari kalangan masyarakat konomi menengah ke bawah seperti analisis kuliner di atas? Hehehe….nampaknya analisis ini juga ada kelirunya. Tidak mungkin lah masyarakat ekonomi menengah kebawah berlangganan rawon cumi. Harganya bukan kelas bawah!
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Muslim, terbit di Surabaya
Joke ”spon sandal jepit” itu loh yg bikin aq terkesan.
Hehehe . . . .
hahaha….karet bekas sol sepatu pun masih enak kok hehehe
Di jepang malah banyak yg gak berbumbu macam2. Mentah lagi