Ini kisah tentang sepatu. Bukan sebuah dongeng. Bukan juga kisah fiktif. Melainkan sebuah kisah nyata tentang sepatu yang saat saya menulis di kabin pesawat dalam penerbangan Surabaya-Kupang ini pun sedang saya pakai.
Sebagai orang yang bekerja di bidang konsultan manajemen, memberikan presentasi materi tentang bisnis adalah salah satu pekerjaan yang menyenangkan. Termasuk dalam beberapa kesempatan diminta menjadi nara sumber tentang branding. Dalam forum yang biasanya dihadiri oleh para praktisi seperti ini tentu tidak elok kalau berpresentasi dilakukan tanpa daya tarik khusus. Nah, sepatu yang saya kenakan siang ini telah beberapa kali menjadi sumber daya tarik itu. Jadi bisa disebut sepatu yang multi fungsi. Berfungsi sebagai alas kaki untuk kehadiran di forum-forum resmi, juga berfungsi sebagai sarana presentasi.
Sebagai sarana presentasi, sepatu saya butuh pendamping. Untuk keperluan ini, biasanya saya meminjam beberapa sepatu peserta lain yang sama-sama sepatu formal dan terbuat dari kulit. Setelah ada beberapa sepatu, tiap peserta saya mengajak para peserta untuk bermain tebak-tebakan berhadiah. Seluruh peserta saya persilahkan membawa secarik kertas, mengamati tiap sepatu yang ada, menulis mereknya dan kemudian menebak berapa harga baru dari tiap sepatu tersebut. Tentu termasuk sepatu saya.
Karena sudah saya lakukan beberapa kali dengan peserta yang banyak, tentu saya tidak bisa menghafal apa saja merek sepatu yang pernah diikutkan tebak-tebakan ini. Yang masih saya ingat adalah rentang harganya. Berbagai merek tersebut, berdasarkan pengakuan pemiliknya, dibeli dengan rentang harga mulai bilangan puluhan ribu sampai juta rupiah. Yang menarik adalah kesalahan yang tebakan peserta. Ada yang menebak dengan kesalahan selisih harga sampai bilangan juta rupiah.

Buaya yang menjadi nama merek terkenal
Yang saya ingat misalnya ada kesalahan dalam menebak sepatu saya. Sepatu itu saya beli di Sogo Tunjungan Plaza Surabaya. Ketika itu kebetulan outlet milik jaringan ritel 7-Eleven Jepang itu ada program diskon sehingga sepatu yang dibandrol dengan harga Rp 2,5 juta itu bisa dibeli dengan harga separuhnya. Saya pun tidak perlu membayar tunai karena kebetulan sedang memegang voucher belanja dari sebuah produk yang nilainya cukup untuk membayar sepatu bermerek Crocodile itu. Memperhatikan tampilan sepatu yang memang modelnya standard itu banyak peserta yang menebaknya dengan harga sekitar Rp 250 ribu alias ada kesalahan tebak sekitar Rp 1 juta.
&&&
Pembaca yang baik, jaman modern ini orang begitu percayanya pada merek produk. Kepercayaan in mengakibatkan munculnya nilai dari sebuah merek. Sebagai contoh, sepatu yang saya gunakan sebagai permainan tebakan harga di atas pernah saya tunjukkan pada seorang pemilik perusahaan sepatu. Perusahaan Yang memproduksi sepatu kulit sendiri setelah sebelumnya ia bekerja sebagai ahli sepatu pada sebuah produsen sepatu besar.

Crocodile: Sepatu yang mereknya jauh lebih mahal dari pada produknya
Setelah mengamati sepatu saya dengan seksama, ia bilang bahwa sepatu saya terbuat dari kulit dengan kualitas sangat bagus. Kualitas menyamakannya prima sehingga warna hitamnya tidak akan terkelupas. Sol sepatunya pun dari material yang sangat bagus sehingga dipakai lima tahun pun tidak akan aus. Lemnya pun berdaya rekat hebat sehingga tidak akan jebol bahkan andaikan ditarik dengan beban sekian ton. Jahitannya juga luar biasa bagus. Tapi, kata ahli safety shoes ini, sebagus-bagusnya sepatu saya, ia bisa menjualnya dengan harga tidak Rp 250 ribu sepasang dan sudah laba. Jadi ada selisih Rp 1 juta. Inilah nilai marek itu.

Kerja panjang membangun kekuatan merek Crocodile dimulai dari sesuatu yang sederhana. Foto dari http://www.crocodileinternational.com
Mengapa nilai merek lebih tinggi dari harga sebenarnya bahkan sampai diluar jangkauan prediksi tebakan banyak orang? Itu tentu saja tidak lepas dari upaya branding yang dilakukan oleh Tan Hian Tsin di Singapura sejak tahun 1947. Crocodile lahir di Singapura jauh sebelum negara kota itu lahir. Dalam rentang waktu yang sangat panjang itulah kekuatan merek terus menerus dipupuk. Hasilnya bisa kita saksikan hari ini.
&&&
Sama-sama menggunakan logo buaya, di belahan dunia lain hadirlah merek Lacoste. Merek ini diambil dari nama belakang pendirinya. Rene Lacoste, itulah sang pemilik dan pencetus merek, sejak tahun 1933. Merek berlogo buaya dengan aksen warna hijau ini terus menerus dipupuk sejak kelahirannya.

Korporatisasi adalah cara perusahaan tumbuh pesat dengan mengubah intangible asset menjadi modal murah dan melimpah
Tidak hanya dari Perancis negeri asalnya, Lacoste juga terus menerus di branding dan di ekspor ke berbagai Negara. Dimulai dari ekspor ke Italia pada 1951 kini Lacoste sangat populer sebagai merek sepatu, baju, kaos, parfum, ikat pinggang dan berbagai aksesoris gaya hidup di berbagai Negara. Termasuk di Indonesia. Bahkan urusan produksi pun banyak diserahkan kepada pihak lain sedemikian sehingga perusahaan bisa fokus mengelola branding dengan kreativitas yang tinggi. Seperti Crocodile, Lacoste pun memiliki merek yang nilainya melampaui harga produknya. Memiliki intangilble asset yang besar dan bisa menjadi uang untuk modal pertumbuhan perusahaan. Seperti apa yang terjadi pada permainan tebakan tadi. Mari belajar dari Crocodile. Mari belajar dari Lacoste!
Baca juga: Menguangkan intangible asset ala Sari Roti.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
*)Tulisan ini pernah dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya dengan diedit kembali oleh penulisnya, Iman Supriyono, CEO SNF Consulting
luar biasa ya value dari sebuah brand, bahkan mengalahkan nilai fisik dari produknya itu sendiri. tapi brand juga bisa jadi bumerang manakala kualitas fisik ternyata berada ‘di bawah’ ekspektasi orang terhadap si brand
artinya brand harus bisa menjadi jaminan kualitas suatu produk. jika tidak, maka gawat! 🙂
makanya lacoste juga meemilih pemasok dan menjaga produknya untuk tetap berkualitas istimewa
bagaimana dengan preferensi konsumen pak?bagi beberapa orang, membeli lebih mahal dari kualitas produknya menjadi tidak lagi
rasional
merek2 top seperti lacoste itu menyasar orang yang tidak sekedar memberi produk. tidak sekedar membeli kualitas. referensi konsumen dalam jangka panjang telah menjadi dan menyatu dengan niali dari merek
anehnya Lacoste yang dibuat oleh pemain tennis harganya lebih mahal dibanding polo ralph lauren (untuk kaos) padahal polo ralph lauren dibuat oleh desainer terkenal.Lacoste saja harganya 1.400.000 sedangkan polo harganya 800.000
kalo 10 brand high end yg terbaik menurut saya adalah
1.Polo Ralph Lauren
2.Lacoste
3.Jack Nicklaus
4.Arnold Palmer
5.Polo Assn
6.Tommy hilfilger
7.Nautica
8.vineyard vines
9.Brooks brothers
10.Hugo Boss
Ping-balik: Colliers-Menara 165: Uang & Gedung Saja Tidak Cukup | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kalsiboard : Belgia….. | Catatan Iman Supriyono
Lahh terus crocodile dari Hongkong yg didirikan Dr. Chan sun itu yg mana lagi?
Ini sebenarnya ngebahas CROCODILE atau LACOSTE?
itu 2merek berbeda loh CROCODILE itu harganya memang jauh lebih murah dibanding LACOSTE karna produk CROCODILE itu tidak sebanding dengan LACOSTE
tentang keduanya
Ping-balik: Kalsiboard : Belgia….. – SNF Consulting
Ping-balik: Colliers-Menara 165: Uang & Gedung Saja Tidak Cukup – SNF Consulting