Berhentilah membaca buku. Berhenti! Sumbangkan buku Anda ke perpustakaan. Kalimat ini disampaikan dengan tegas. Mantab. Tanpa ada keraguan sedikitpun. Laa roiba fiih.
Yang menyampaikan bukan orang sembarang. Dialah pak Dahlan Iskan. Orang yang jati dirinya tidak perlu saya jelaskan lagi. Orang yang pagi itu diundang untuk memberikan inspirasi bisnis kepada 200 lebih peserta Muhammadiyah International Business Forum di Denpasar.
Nasihat itu disampaikan dengan terlebih dahulu meminta salah seorang audiens naik ke panggung. Ia adalah seorang pengusaha real estate usia tiga puluh sekian tahun. Pemuda itu telah berdialog dengan Pak Dahlan Iskan malam hari sebelumnya. Disampaikan bahwa membaca adalah kebiasaan sehari-hari sang pemuda.
Berapa jam sehari waktu yang Anda habiskan untuk membaca? Mengapa tidak Anda manfaatkan waktu itu untuk menjual rumah dagangan yang belum laku? Saya tidak mau lagi berbicara dengan Anda sebelum berhenti membaca. Itu kalimat tajam Pak Dahlan. Dari samping Pak Dahlan saya melihat sang pemuda hanya tersenyum-senyum.
Demi mendengar nasihat itu, saya yang pagi itu menjadi host acara jadi ingat nasihat Pak Dahlan yang lain. Nasihat ini diceritakan oleh kawan Jawa Pos. Katanya, saat ada anak buah Pak Dahlan yang minta izin kuliah lagi, beliau melarangnya. Anda sudah sarjana. Anda dulu kuliah untuk bekerja. Sekarang sudah bekerja kok kuliah lagi. Tidak usah. Kerja saja yang baik. Demikian kira-kira sikap Pak Dahlan.
Berhenti membaca adalah nasihat yang paradoks. Audiens pada terkaget-kaget. Tetapi sesungguhnya nasihat itu adalah konsisten dengan nasihat tentang kuliah lagi itu. Nasihat yang menurut saya sangat dibutuhkan oleh para pelaku bisnis. Juga oleh masyarakat Indonesia yang memang menurut saya sudah terlalu banyak bersekolah.
Setiap kali ditanya oleh kawan-kawan praktisi tentang kuliah S2 atau S3, saya selalu mencegahnya. Alasannya kurang lebih sama dengan yang disampaikan pak Dahlan pagi itu. Sekolah S2 atau S3 itu mubadzir bagi kawan-kawan praktisi. Kemubadziran itu kawannya setan. Baca tulisan saya khusus tentang hal ini.
Manusia bisa dikelompokan menjadi dua golongan. Praktisi dan ilmuwan. Dalam hal membaca, praktisi berbeda dengan ilmuwan. Praktisi membaca untuk dipraktekkan dalam profesinya. Polanya adalah baca-praktek-baca-praktek-baca-praktek dan seterusnya. Maka, nasihat paradoks itu tepat sekali disampaikan kepada siapa saja para praktisi. Praktisi yang belum mempraktekkan apa-apa yang dibacanya. Dalam kondisi demikian, berhenti membaca adalah keharusan. Praktekkan dengan baik apa yang telah dibaca. Setelah itu baru membaca lagi.

Saya sebagai host bersama Pak Dahlan Iskan sebagai nara sumber di acara Muhammadiyah International Business Forum di Denpasar akhir November 2019. Foto karya Budi Wahyu Mahardhika, konsultan SNF Consulting.
Ilmuwan membaca untuk memahami fenomena alam. Bisa di laboratorium. Bisa juga di alam luas. Konteksnya adalah meneliti untuk menghasilkan karya ilmiah. Sebagai konsultan saya berada di posisi ini. Setiap hari saya membaca segala sesuatu tentang perusahaan. Hasilnya saya simpulkan berupa tulisan. Tiap hari menerus. Sudah ribuan artikel saya publikasikan. Tulisan itu kemudian dibaca oleh para praktisi bisnis. Dibaca untuk dipraktekkan.
Contoh hasil membaca saya adalah apa yang kemudian saya beri nama korporatisasi. Saya tidak menemukan konsep ini pada buku-buku manajemen yang diajarkan di kampus-kampus bisnis saat ini. Mengapa? Karena kampus-kampus bisnis berkiblat pada literatur bisnis Barat terbaru. Sememtaraa di dunia bisnis USA-Eropa korporatisasi itu sudah terjadi dua abad lalu. Prosesnya sudah tuntas beberapa puluh tahun lalu. Hasilnya adalah perusahaan seperti Chevron, BP, Unilever, Ford, Boeing, Nestle, Danone, Airbus, JP Morgan Chase dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan fully public company.
Saya menemukannya justru dari membaca sejarah dan data finansial ratusan bahkan ribuan perusahaan. Rentang waktunya tidak kurang dari dua abad terakhir. Mereka berproses dari perusahaan keluarga. Dari didirikan dan dimiliki oleh sebuah keluarga menjadi korporasi. Temuan itu kemudian saya tuliskan. Sudah bertahun-tahun tiap hari saya menulis. Karena memang itulah kerja saya di SNF Consulting, consulting firm yang saya dirikan.
Lalu siapa yang membaca? Bukanlah para praktisi bisnis telah dilarang membaca oleh Pak Dahlan? Betul. Semua pelaku bisnis memang tidak boleh membaca tulisan saya. Larangan keras.
Namun demikian, setiap larangan selalu mengandung perkecualian. Termasuk larangan membaca tadi. Tulisan-tulisan saya tidak boleh dibaca oleh pelaku bisnis siapapun. Perkecualiannya adalah pelaku bisnis yang perusahaannya belum melakukan korporatisasi atau korporatisasinya belum tuntas dan berminat kuat untuk melakukannya.
Ciri perusahaan yang korporatisasinya sudah tuntas adalah seperti Chevron, Nestle, McDonald’s dan sejenisnya itu. Ada dua ciri utama. Pertama adalah telah menguasai pasar hampir semua negara di dunia. Menguasai pasar lebih dari 200 negara. Perusahaan yang aman dari risiko politik karena omzet rata-rata dari satu negara kurang dari 1%. Bahkan perang dunia pun tetap aman karena yang terlibat perang tidak akan lebih 10 negara.
Ciri kedua adalah tidak adanya pemegang saham pengendali. Ini terjadi bukan karena pendirinya menjual saham yang dimilikinya. Tetapi karena perusahaan terus-menerus menerbitkan saham baru untuk modal ekspansi pasar sampai 200 negara tadi. Organik maupun anorganik melalui akuisisi dan merger. Perusahan pun membesar. Sistem terbentuk sempurna karena level jabatannya menjadi belasan bahkan lebih. Persis seperti level jabatan di tentara pada tulisan ini.
Itulah mengapa materi korporatisasi tidak diajarkan di kampus-kampus bisnis yang berkiblat pada literatur Barat saat ini. Karena memang korporatisasi mereka telah tuntas berpuluh-puluh tahun lalu. Mereka sudah menguasai pasar 200-an negara. Nilainya sudah ribuan triliun sehingga tidak ada yang sanggup memilikinya sampai menjadi pesaham pengendali. Mereka telah menjadi fully public company. Mereka telah menjayakan bangsanya di kancah bisnis internasional yang analog pertandingan sepak bola. Bagaimana perusahaan tempat Anda berkarya? Sudah melaksanakan nasihat paradoks Pak Dahlan Iskan?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
*)Artikel ke-239 ini ditulis di Denpasar di tengah-tengah acara Muhammadiyah International Business Forum pada tanggal 25-27 Nopember 2019 oleh Iman Supriyono, CEO dan pendiri SNF Consulting.
Lalu mengapa sampai sekarang Jawa Pos Group korporatisasinya terhenti? Padahal Pak DIS kan masih ingat Anda dengan segala dogma dan kredo korporatisasi yang Anda usung.
Pak Dahlan sudah tidak menjadi CEO jawapos sejak jadi Dirut PLN
Putra mahkota nya (Azrul Ananda) masih di JP kan? Harusnya bisa berkorporatisasi (jika memang berniat).
Sdh tidak juga
Ping-balik: Pak Nadjikh: Obituari Untuk Sang Komandan Esksekusi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pak Nadjikh: Obituari Untuk Sang Komandan Esksekusi – SNF Consulting