Masjid Baitul Muttaqin, suatu pagi. Fajar telah terbit di masjid yang tidak jauh dari kampus ITS itu. Saat ada di rumah, saya memang memilih masjid yang dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah ini untuk sholat subuh berjamaah. Masjid yang tidak terlalu jauh dari rumah. Tidak sampai 5 menit naik motor atau mobil.
Setiap masuk masjid kita selalu menyerap biaya. Air, listrik, kebersihan, depresiasi bangunan dan sebagainya. Itu semua butuh uang. Dan tentu saja biaya mesti diserap oleh orang-orang yang mendapatkan manfaatnya. Termasuk saya pagi itu.
Maka, demi melihat kotak infak, sebagai orang yang sehari-hari bekerja terkait dengan keuangan langsung teringat biaya masjid. Maka saya pun menuju kotak infak itu. Paling tidak agar saya tidak membebankan listrik, air, kebersian, dan depresiasi masjid yang saya manfaatkan kepada orang lain.
Tapi ternyata tidak membawa dompet. Dan tentunya juga tidak membawa uang tunai. Saya pun langsung mengeluarkan gadged dan membuka aplikasi pembayaran QRIS dari sebuah bank. Dan, masjid Baitul Muttaqin tidak menyedikan pembayaran infak melalui QRIS.
Saya tetap ingin membayar. Akhirnya saya pun membuka file di gadged yang berisi jepretan QRIS beberapa masjid. Pilihan saya jatuh pada masjid Al Falah, di Surabaya juga. Jadi, pagi itu saya mengalihkan urunan biaya perawatan masjid dari masjid Baitul Muttaqin kepada Masjid Al Falah. Semata karena Masjid Baitul Muttaqin tidak menyediakan fasilitas pembayaran infak dengan QRIS sedangkan masjid Alfalah Surabaya menyediakannya.
&&&
Dulu saat kuliah, jika pulang kampung ke Caruban, Madiun, saya suka naik bus berangkat malam dari Surabaya. Sampai di Caruban menjelang subuh. Nah, dalam perjalanan dari tempat turun bus ke rumah bapak ibu di kampung, saya biaya melihat beberapa orang yang menggendong daun jati dibawa ke pasar untuk dijual. Lengkap dengan obor sebagai sarana penerangan. Itu adalah rutinitas kehidupan jelang subuh di kampung halaman saya tahun 90-an.
Bagaimana sekarang? Tidak ada lagi. Teknologi adalah penyebabnya. Dulu daun jati dipakai sebagai pembungkus barang belanjaan di pasar. Kini semua tergantikan dengan kertas atau plastik. Dan karenanya pasar tidak membutuhkan lagi daun jati seperti dulu. Maka, pemandangan orang-orang penjual daun jati jelang subuh pun kini hilang. Bisnis daun jati sebagai pembungkus terdisrupsi oleh bisnis kertas dan plastik.
Pebisnis yang baik, disrupsi semacam itu akan terus terjadi dan terjadi lagi setiap ada teknologi baru. Ingat bagaimana Kodak yang dulu jaya kemudian lenyap seiring penemuan teknologi kamera digital. Ingat bagaimana bisnis perangko juga hilang seiring dengan perkembangan teknologi telekomunikasi. Ingat bagaimana bisnis delman kini pun lenyap seiring dengan perkembangan teknologi tranportasi bermesin.

Apa yang harus kita lakukana? Yang jelas perkembangan teknologi tidak bisa dibendung. Orang tidak bisa dihalangi untuk menggunakan teknologi terbaru dan meninggalkan teknologi lama. Maka, yang harus dimiliki oleh para pebisnis adalah kemampuan mengadopsi teknologi baru. Apa yang saya ceritakan saat mau berinfak di masjid Baitul Muttawin adalah sebuah contoh. Bahkan bukan hanya urusan bisnis. Urusan infak saja ternyata sebuah masjid dituntut untuk mengadopsi teknologi yang ada. Keterlambatan atau bahkan tidak mau mengadopsi teknologi akan menurunkan daya saing. Konsumen atau pelanggan akan pergi beralih ke pesaing. Akibatnya bisnis bisa lenyap. Maka, teruslah mengadopsi tekonoligi.
Artikel ke-475 karya Iman Supriyono ditulis ditulis untuk dan diterbitkan oleh Majalah Matan edisi April 2025 dengan beberapa perubahan.
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi