Pesantren Hidayatullah Deli Serdang. Persis memasuki pintu gerbangnya, tanah lapang ditumbuhi rerumputan rapi berada di hadapan. Warna merah bunga bougenvile berpadu dengan ketinggian palm dan eksotisme tetumbuhan lain. persis di seberang tanah lapang, sebuah masjid cantik berdiri tegak. Cat putih disapu pilar pilar kuning serasi dengan kubah peraknya.
Lebih dalam lagi memasuki jalanan komplek pesantren seluas lebih dari 5 hektar ini, pemandangannya makin mendinginkan hati. Pohon jati, durian, coklat, kemiri, sawit…..semuanya memancarkan variasi kehijauan. Keberadaan sapi putih hitam dan kecoklatan terasakan seperti taburan bubuk coklat pada segelas capucino hangat. Nikmat!
Di pesantren yang berjaringan nasional ini, sore itu saya sedang senggang. Menunggu jadual keesokan harinya untuk berbagi inspirasi untuk para asatidz alias guru. Inspirasi untuk mereka mereka yang kemudian akan menginspirasi para santri alias murid. Sore senggang yang indah untuk menunggu kegiatan esok yang menggairahkan. Luar biasa.
Sebagai tuan rumah, pimpinan pesantren memberikan sambutan yang hangat. Kesederhanaan kehidupan seorang guru teladan semakin mengokohkan kehangatan selamat datang. Aura kebersihan hati menjadikan saya sebagai tamu sudah menikmati hidangan luar biasa jauh sebelum menikmati hangatnya kopi kemudian.
Sebagaimana terjadual, dua hari saya bersama seorang kawan berbagi inspirasi. Bukan hanya untuk guru internal. Pesantren yang juga masih memiliki lahan pertanian 20 an hektar ini juga mengundang para guru di sekolah dan pondok pesantren sekitar. Berbagi inspirasi dengan sesama pengemban amanah pendidik generasi harapan. Itulah acara yang telah terencanakan sejak awal.
♦♦♦♦
Awie. Begitulah pemuda ramping ini memperkenalkan namanya. Saat menjabat tangan pria berparas Tionghoa ini, saya merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Kulit telapak tangannya terasa jauh lebih kasar dari pada telapak tangan orang pada umumnya. Bahkan lebih kasar dari pada telapak kaki para tetangga masa kecil di kampung halaman madiun yang sehari berjalan kaki tanpa beralas kaki. Kulit telapak tangannya menebal dan mengeras. Orang jawa menyebutnya ngapal.
Malam itu saya sungguh menikmati karya tangan Awie yang ngapal. Berempat bersama rombongan Pesantren Hidayatullah Deli Serdang terbius oleh nikmatnya lima buah durian besar pilihan Awie di Restoran Wong Rame. Di kawasan Jalan Medan Lubuk Pakam, Pinggiran Kota Medan inilah durian nan manis dengan sedikit sensasi pahit gurih terhidang. Empuk dengan daging buah yang tebal berwarna kuning emas. Aromanya…..waow……luar biasa. Belum pernah sebelumnya saya menikmati durian seperti itu.
Ya….Awie adalah “profesor” durian yang malam itu memilihkan buah istimewa itu untuk saya dan rombongan. Kualitas super istimewa dipilih dari tumpukan tumpukan durian. Cukup dengan memegang, memandang, dan mencium bau kulitnya, Awie sudah bisa memastikan bahwa durian yang akan dibelah benar benar super istimewa.
Enam belas tahun. Itulah waktu yang dibutuhkan Awie untuk menguasai seluk beluk durian. Jejak waktu dua windu itu terekam dari telapak tangannya yang ngapal. Enam belas tahun sehari hari telapak tangan akrab dengan runcingnya kulit durian. Keahlian itulah yang malam dipakainya untuk memanjakan saya bersama rombongan kawan kawan Pesantren Hidayatullah. Keahlian itu juga yang malam itu digunakan untuk menyortir durian istimewa yang akan dikirim ke jakarta dan kota kota lain. Tiap hari sepanjang tahun. Enam belas tahun.
♦♦♦♦
Pembaca, di bangku pesawat Boeing 737-900 ER yang saya tumpangi untuk pulang ke Surabaya, Awie dan Pesantren Hidayatullah Deli Serdang terus menari di kepala. Keduanya memberikan inspirasi yang luar biasa melalui tarian sepuluh jari saya di atas keyboard laptop. Di Deli Serdang, Pesantren hidayatullah sedang punya semangat besar menatap masa depan. Mendidik generasi muda untuk berkarakter tauhid yang kokoh yang menggeluti sektor pengelolaan lahan. Sektor alam. Sektor pertanian, peternakan, perkebunan. Bersama kawan kawan pengelola dan guru Hidayatullah, saya bertemu Awie dengan durian supernya yang juga hasil budidaya alam
Awie dan Pesantren Hidayatullah Deli Serdang memberikan sebuah harapan besar. Harapan agar kita bisa menikmati makanan berkualitas bukan dengan hasil karya petani-petani asing. Durian Thailand, jeruk dari China, tepung terigu-jagung-kedelai-apel dari Amerika, beras dari Thailand atau Vietnam, buah pear-garam dari Australia, dan masih banyak lagi. Semua diimpor. Sementara….jutaan hektar lahan di negeri ini dibiarkan begitu saja ditumbuhi semak belukar dan pepohonan liar. Derita ini harus diakhiri!

Gampangkah? Tentu tidak. Tangan Awie yang ngapal memberi bukti. Untuk bisa menjadi penyortir durian saja membutuhkan waktu 16 tahun. Waktu yang lama dengan pengorbanan telapak tangan yang ngapal. Maaf….saya kemudian membayangkan bagaimana pengorbanan anak istri Awie. Tentu mereka tidak bisa menikmati belaian romantis dari telapak tangan ayah dan suami mereka yang berkulit kasar tebal dan ngapal. Pesantren Hidayatullah menyiapkan santri santrinya untuk bermental baja. Siap mengelola lahan pertanian puluhan bahkan ratusan hektar. Kisah pengorbanan anak istri Awie tidak menyurutkan langkah dan semangat. Justru makin memuncak. Itulah karakter tauhid. Itulah kelak yang akan dinikmati masyarakat dan tentu diri dan keluarga mereka. Senikmat durian pilihan Awie. Bisa!
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Muslim, terbit di Surabaya
bah mantab Lae duriannya., HORAS
mantab lae….horas3x!
pernah saya baca ulasan bahwa membuka kebon yg memadai utk skala ekonomis di negeri ini ternyata tidak menguntungkan.
pada awalnya ketika membeli lahan, sudah kena palak dari para penjabat setempat, minta pelicin untuk ijin
pada tengahnya, ketika memelihara kebon itu sih normal2 wajar2 saja
pada akhirnya, ketika siap panen sekian tahun kemudian, adanya ancaman penjarahan.
jadi cak iman, tampaknya jalan kita masih panjang
hahaha….dengan segala kondisi yang ada, yang bisa justru wilmar international dari spore. dia adalah raja kebon sawit di kalimantan. terbesar! harusnya kita juga bisa kan?
Trus hubungannya dengan kebun sawit, tangan kapalan dengan korporatisasi apa Pak?
Tangan kapalan adalah penanda sebuah keseriusan dan proses panjang untuk sebuah keberhasilan. Tetapi itu semua tidak cukup tanpa ada proses korporatisasi. Kebun sawit adalah salah satu bidang yang menunggu para entrepreneur untuk mengkorporatisasinya
Ping-balik: Hilangnya Swasembada Ayam: si Blirik Klawu dan Bendan | Korporatisasi