Jadi Gubernur
oleh: Iman Supriyono, konsultan pada SNF Consulting, http://www.snfconsulting.com
Jam 4 sore saya sudah meninggalkan rumah di kawasan Sukolilo Surabaya. Tujuan saya adalah Babat, kota kecamatan di wilayah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Perjalanan kali ini agak lain. Jalur utama Surabaya Babat yang lewat gresik dan Lamongan terputus total karena banjir. Jalur alternatif yang melalui pantai utara juga macet luar biasa karena jembatan di kawasan Sembayat rusak. Yang berfungsi tinggal satu jalur. Kendaran dari kedua arah harus bergantian melewati jalur yang masih berfungsi. Terjadi kemacetan yang luar biasa parah. Inilah informasi yang saya terima baik melalui radio, internet, maupun kawan kawn yang kebetulan melewati jalur tersebut.
Karena acara sudah direncanakan jauh jauh hari, saya tidak bisa menundanya. Maka, jam 4 sore persis saya sudah meninggalkan rumah. Berdasarkan berbagai pertimbangan dan informasi, akhirnya saya memutuskan untuk melalui jalur alternatif melalui Krian-Legiundi-Pucuk-Lamongan-Babat. Jalur hampir 100 km inilah rute yang paling bagus berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Tentu saja dibandingkan dengan rute normal yang sedang bermasalah baik karena banjir maupun jembatan rusak.
Surabaya Krian terlalui seperti perjalanan selama ini. Lalu lintas cukup padat. Ketika kepadatan lalu lintas berkurang, mobilpun tidak bisa dipacu dengan kecepatan tinggi karena disana sini jalannya bergelombang. Tetapi bagi saya Surabaya Krian memanglah begitu. Tetap seperti yang sebelumnnya sering saya lalui.
Yang menarik justru ketika mulai musuk kawasan Legundi. Saya baru pertama kali melalui jalur itu. Kondisinya luar biasa: jalan berlubang sana sini. Mobil harus berjalan ekstra pelan-pelan dan ekstra hati hati. Bahkan sering kali harus berhenti berbagi jalan yang masih bisa dilalui jika berpapsan dengan mobil lain. Hampir sepanjang perjalanan yang ada adalah jalan rusak. Maka, jarak tempuh yang tidak sampai 100 kilometer memakan waktu 4 jam. Jam 8 malam saya baru tiba di Babat.
Tak ada gading yang tak retak. Inilah nampaknya pepatah yang cocok untuk menggambarkan kondisi jalan di berbagai penjuru negeri ini. Tidak ada jalan yang tak berlobang. Tidak ada jalan yang tidak bergelombang. Tidak ada jalan yang tidak rusak. Jalur Surabaya-Babat lewat Legundi adalah salah satu contohnya. Kondisi jalan jalan di Sulawesi, Sumatera, Papua, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, kurang lebih pun demikian. Kurang lebih sama. Beberapa hari lalu saya juga dibuat benar benar teler dalam perjalanan Surabaya-Lumajang. Jarak sejauh 150 kilimeter ditempuh dalam waktu 7 jam.
Perjalanan ini sangat kontras misalnya dibandingkan jalur Kuala Lumpur Johor Bahru yang sekitar 300 km ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam. Jalanan mulus nyaris tanpa lobang dan gelombang. Mobil dengan santai bisa dipacu dengan kecepatan rata rata 100 km/jam lebih. Perjalanan pun nyaris tanpa menginjak pedal rem.
Karena pernyataan saya “tiada gading yang tak retak” di atas, ada seorang kawan yang menimpali. Katanya, paling tidak saya harus jadi gubernur agar bisa memimpin pemeritahan negeri ini agar kondisi jalan raya tidak seperti yang saat ini. Tidak seperti Surabaya-Babat, atau Surabaya-Tuban. Agar jalan raya bisa mulus seperti jalur Kuala Lumpur-Johor Bahru.
Jadi gubernur? Tidak. Saya ingin berkontribusi melalui apa yang saya tekuni selama ini sampai akhir hayat: menjadi konsultan. Membesarkan SNF Consulting, perusahaan konsultan yang saya dirikan, mencapai visinya menjadi berkelas dunia. Dipercaya perusahaan perusahaan berkelas dunia.. Dibutuhkan fokus luar biasa untuk mencapai sebuah cita-cita besar. Saya tidak ingin terbelokkan. Apalagi ke bidang politik. Aku berlindung kepada-Nya dari godaan syetan dan politik….hehehe…
Terus bagaimana memperbaiki kualitas jalan? Tentu tidak mungkin kita bisa menyelesaikan seluruh permasalahan masyarakat. Di sektor politik dan pemerintahan sudah banyak orang yang berkecimpung disana. Pada merekalah harapan untuk perbaikan jalan sebagai sarana publik. Kalau Kuala Lumpur-Johor Bahru bisa mulus, kenapa Surabaya-Babat dan Surbaya-Lumajang tidak? Kenapa Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Papua, Nusa Tenggara dan sebagainya tidak? Pasti ada cara. Sesuai peran sebagai konsultan, saya memberi inspirasi melalui tulisan. Tidak perlu tidak usah menjadi gubernur. Biarlah kawan-kawan poliitisi dan birokrat yang mencari cara itu. Sama-sama fokus di bidangnya masing masing. berlomba lomba menuju kebaikan. Fastabiqul khoirot. Pak Gubernur, bisa kan?
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Muslim, terbit di Surabaya