Waktu sudah cukup larut saat saya tiba di sebuah hotel di kawasan Khao San Road Bangkok jelang Ramadhan itu. Sejak berada di Bandara Kuala Lumpur sengaja saya tidak makan. Tujuan saya adalah supaya bisa makan malam di Negeri Gajah Putih itu. Saya yakin ada sesuatu yang menarik dan inspiratif tentang kuliner di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha itu. Maka, begitu selesai mandi, segeralah saya keluar hotel mencari makanan.
Kao San Road memang tidak pernah tidur. Walaupun jam sudah menunjukkan tanda pergantian hari, toko dan resto tidak tutup. Justru makin ramai dikunjungi para turis. Wajah wajah bule mendominasinya. Saya amati satu demi satu resto yang ada untuk mencari makanan yang cocok.
Dari ujung ke ujung sudah terlalui. Tetapi saya tidak menemukan satupun makanan yang saya yakini cocok dengan kriteria utama saya: dijamin halal. Maka, akhirnya saya hanya berani menyantap yang saya yakin kehalalannya: telur panggang. Ya, di Khao San Road banyak penjaja telur kaki lima. Bukan telur asin rebus seperti yang biasa saya jumpai di tanah air. Yang dijajakan adalah telur panggang. Telur bulat dipanggang. Saya pun membelinya beberapa butir. Ditambah buah siap santap. Cukup untuk memenuhi kebutuhan energi sampai keesokan harinya saat waktu makan pagi. Saya pun segera kembali ke hotel merebahkan badan yang memang sudah sangat lelah setelah perjalanan Kuala Lumpur Bangkok.
•••
Denpasar pada suatu hari. Selepas sholat magrib bersama istri saya keluar hotel mencari makan malam. Sebagai seorang muslim kriteria yang tidak boleh ditawar adalah kehalalanan. Sadar berada di daerah mayoritas non muslim, saya pun harus hati hati memastikan kehalalan. Kebetulan ada seorang gadis berjilbab melintas. Dari gayanya berjalan yang mantap dan tidak tolah toleh, saya yakin ia familiar dangan kawasan itu. Segeralah saya bertanya kepadanya tentang restoran atau warung makan di kawasan itu yang dijamin halal.

Tuk tuk, kendaraan beroda tiga khas kota Bangkok
“Jalan ini lurus saja. Nanti sekitar 200 meter ada perempatan jalan. Di sebelah kiri perempatan itu ada resto yang dijamin halal”. Sebuah jawaban yang cukup jelas dan membantu.
Saya pun segera melangkah. Tidak butuh waktu terlalu lama saya sudah sampai pada perempatan jalan dimaksud. Saya pun segera menengok ke kiri jalan. Betul sekali. Ada sebuah restoran besar yang memajang tulisan besar besar pula: Dijamin Halal-Majelis Ulama Indonesia. Saya pun yakin dan makan di resto yang saya yakin Anda juga sangat mengenalnya: McDonald’s.

“Truk air” di Chao Phraya, sungai yang melintas di kota Bangkok
•••
Pembaca yang baik, kebutuhan makanan halal tidak bisa ditawar lagi oleh kaum muslimin. Telur panggang di Bangkok menjadi “pelarian” untuk kebutuhan ini. Memang tidak ideal tetapi itulah yang mungkin. Setelah mencari cari di sekitar hotel, keesokan harinya barulah saya menemukan warung makanan arab di dekat sebuah masjid. Menu yang lebih cocok untuk kebutuhan dari pada sekedar telor panggang.

Sebuah perusaan resto akan tumbuh pesat mampu melayani pasar berbagai bangsa seperti McD jika melakukan syirkah modern yang berbasis ekuitas alias korporatisasi
Kebutuan ini dalam kaca mata bisnis dibaca sebagai sebuah peluang pasar. Pasar yang bahkan bisa menjadi sangat fanatik. Tidak akan berbelanja makanan kecuali yang halal. Inilah yang ditangkap oleh McD di negeri negeri mayoritas muslim atau negeri yang terdapat penduduk muslim dalam prosentase yang dianggap signifikan. Indonesia, Malaysia dan Singapura oleh McD termasuk yang kelompok ini. Maka, jaringan resto siap saji global ini memastikan kehalalannya melalui kerja sama dengan MUI atau otoritas keislaman sejenis. Di Singapura misalnya “stempel halal” McD diperoleh dari MUIS alias Majelis Ugama Islam Singapura. Orang Islam pun tidak perlu ragu untuk menyantapnya. Seperti yang saya alami di Denpasar. McD yang asal usulnya tidak berasal dari kaum muslimin justru menjadi penolong saya di Denpasar. Bahkan menu burger yang menurut resep aslinya menggunakan daging babi sudah dikoreksi dan diganti daging sapi yang halal. Dijamin oleh MUI! Apakabar resto Anda?
*)Artikel karya Iman Supriyono ini pernah dimuat di majalah Baz, terbit di Surabaya, dengan judul “Dijamin Halal”, ditambah dan diedit kembali
DI Jepang kita kaum muslim demikian teliti dengan ingredient makanan. Samapi tanya ke pabriknya segala. Tetapi kadang2 di tanah air main embat saja, padahal banyak yang belum bersertifikat halal oleh MUI. Justru Mc D yang sertifikatnya ditempel dan setiap orang tahu…..
Maturunuwun komentarnya. Moga kita bisa memperbaiki kekurangan kita!
insya ALLAH, kalo yg muslim sdh memenuhi kriteria halal dari segi pemilihan bahan dan proses…. akan tetapi, di dunia penjagalan itu yg perlu dicek lagi, prosedur syar’i sdh berjalan atau belum??? dan satu lagi, aspek lain, higienis…. masih banyak pengusaha makanan muslim yg ‘kemproh’…
hehehee…dan …banyak yang meremehkan serfitikasi halal n ndak mau mengurusnya. jadilah McD tetap dipilih
jauh2 k bangkok kok cuma makan telur…hehehehe
itu namanya menu pembuka om hehehe
Dijamin HALAL dan boikot produk yahudi, ustadz…
harusnya begitu. tapi karena kelemahan kita yang luar biasa, tiap hari kita terpaksa harus pake produk mereka. urusan perut saja kita tergantung pada mereka….
Keren nih tulisannya, keep posting ya…
Sudah Coba Empat Tempat Makan Unik Di Bali
Klik http://goo.gl/ZGcfU
woke…tks dah baca tulisan di blog ini