Sumpyuh
oleh Iman Supriyono, http://www.snfconsulting.com
Pak Abdullah Shahab, dosen senior Teknik Mesin ITS yang juga seorang ustadz, dalam sebuah ceramahnya pernah bercerita tentang sebuah penelitian. Walaupun lulusan Prancis ini ahli metalurgi, ceritanya bukan penelitian tentang logam. Justru sebuah penelitian sederhana tentang salah satu jenis lebah yang dalam bahasa jawa disebut sumpyuh. Jenis lebah berbadan ramping yang biasanya membuat rumah dari tanah berbentuk gundukan setemgah oval menempel di pada dinding tembok atau kayu.
Rumah oval digunakan oleh sumpyuh untuk menyimpan telor yang akhirnya akan menetas. Sebelum telornya menetas, sumpyuh mempersiapkan seluruh keperluan calon anaknya termasuk makanan. Semuanya dimasukkan lewat lubang kecil di bagian atas rumah dan si supyuh tidak memasuki rumah ovalnya. Aktivitas rutinnya: terbang mencari makanan, memasukkan hasil pencarian makanan ke lubang di bagian atas rumah ovalnya, dan terbang lagi dan seterusnya.
Penelitian perilaku sumpyuh dilakukan dengan melubangi bagian bawah rumah oval. Lubang dibuat sedemikian rupa sehingga manakanan yang dimasukkan lebah melalui lubang atas akan terjatuh. Makanan tidak tersimpan di dalam rumah oval lebah.
Apa yang dilakukan sumpyuh setalah rumahnya dilubangi bagian bawahnya? Ia tetap bekerja seperti sedia kala. Terbang mencari makanan. Memasukkannya melalui lubang atas rumahnya. Terbang lagi. Begitu seterusnya tanpa henti walaupun makanan yang “disimpan” nya tidak akan bisa dinikmati anak anaknya setelah menetas. Makanan itu selalu terjatuh.
ttt
Beberapa hari lalu saya ada lewat di jalan raya Babat Lamongan. Saya lumayan sering melalui jalur ini untuk berbagai keperluan pekerjaan. Maka, apa yang terjadi di jalan itu cukup menggoda “keusilan” pikiran saya untuk menulisnya.
Kalau Anda melalui kawasan itu sejak sekitar dua tahun yang lalu, tentu Anda akan mendapati banyak alat berat sedang bekerja. Menggali jalan lama sedalam sekitar 30-40 centimeter dengan escavator. Membuang tanah galian dengan dumptruck. Mengisinya kembali dengan tanah berpasir batu. Meratakannya dengan buldozer. Mengeraskanya dengan roller. Melapisinya dengan campuran pasir aspal. Meratakannya dengan grader. Mengeraskan dan menghaluskannya dengan roller. Itulah rutinitas perbaikan jalan negara ini. Harapan akan adanya jalan yang mulus sedang di depan mata.
Muluskah jalan Babat-Lamongan? Hehehe….nampaknya harus menunda kembali harapan untuk jalan yang mulus sehingga mobil bisa melaju dengan kecepatan hampr100 km per jam seperti jalan jalan antar kota di Malaysia misalnya. Kok? Ternyata, jalan yang selesai diperbaiki sudah banyak yang berlubang dan tidak mulus lagi pada saat alat alat berat yang mengerjakannya masih beroperasi tiap hari. Perbaikannya belum selesai, jalannya sudah rusak lagi.
ttt
Saya bukan insinyur sipil. Saya juga bukan operator alat berat konstruksi jalan. Pun saya bukan arsitek jalan. Saya orang awam dalam urusan ini. Saya yakin, orang yang lewat di jalan Babat Lamongan lebih banyak yang awam tentang konstruksi jalan dari pada yang memahaminya. Awam seperti saya.
Sebagai orang awam, otak saya tidak bisa mencernanya. Bagaimana jalan yang baru diperbaiki kok sudah rusak lagi. Karena orang awam, kemudian muncul obrolan khas orang awam juga dengan kawan sekantor yang sedang memegang kemudi. Intinya: prasangka buruk. Mark up nilai proyek, pelaksanaan proyek tidak sesuai spek, korupsi. Sekali lagi….ini pandangan saya yang sangat awam tentang kontruksi jalan.
Betulkah prasangka buruk saya? Saya juga tidak bisa menjawab. Mudah mudahan salah. Hanya saja, efeknya langsung terasa dan sangat jelas: menggerus kepercayaan. Menggerus kepercayaanya kepada pemerintah sebagai pemungut pajak yang kemudian menggunakannya untuk membangun dan memperbaiki jalan. Bahkan gerusan kepercayaan ini bisa menjalar ke berbagai sektor. Bisa merembet ke hilangnya kepercayaan terhadap peraturan pemerintah, rambu lalu lintas, aparat penegak hukum, sistem politik, sistem pendidikan, sistem perpajakan dan sebagainya. Bahaya kan?
Lalu harus bagaimana? Yang jelas, sebagai bangsa kita tidak boleh berperilaku seperti sumpyuh di bagian awal tulisan ini. Sumpyuh terus menerus bekerja tanpa peduli bahwa yang dikerjakannya sia sia. Memperbaiki jalan yang segera rusak adalah mirip si sumpyuh yang memasukkan makanan di rumah oval yang berlubang. Anak lebah akan mati kelaparan. Bagaimana nasib anak negeri? Maka….hindari perilaku ala si sumpyuh. Untuk negeri merah putih yang dulu didirikan oleh para syuhada dengan nyawa dan darah, bisa kan?
tulisan ini pernah dimuat di majalah Baz terbit di Surabaya