Surabaya, 21 Februari 2017. Selepas sholat jamaah asyar di mushola lantai 17, saya segera kembali ke lantai 9. Di ruang tamu SNF Consulting, kantor saya, tiga orang telah duduk manis. Seorang ibu dengan dua putranya yang memang telah janjian melalui telepon. Bertiga akan tentang bisnisnya yang menurutnya telah “memenjarakan” dirinya. Disebut memenjarakan karena sekeluarga semuanya harus full ngurusi bisnis. Ditinggal sedikit saya sudah eror.
Si ibu punya empat unit bisnis. Masing-masing bersifat ritel (langsung melayani end user). Bisnis pertama adalah toko obat. Ini adalah rintisan sejak awal. Melayani konsumen yang membeli obat bebas (obat non resep, OTC). Berada di sebuah kota kecil yang intensitas kebersamaannya tinggi, bisnis pertamanya ini memiliki pelanggan pelanggan loyal dan menghasilkan laba yang bagus.
Setelah memiliki uang yang cukup dari bisnis pertama, si ibu memutuskan membangun bisnis kedua berupa apotek. Motivasinya adalah melengkapi bisnis pertama. Melayani konsumen yang kurang lebih sama yaitu warga sekitar yang membutuhkan obat dengan resep dokter. Bisnis kedua ini pun relatif lancar dan menghasilkan laba yang menyenangkan.
Berikutnya, laba dari bisnis obat, baik yang resep maupun non resep dikumpulkan dan kemudian digunakan untuk membuka bisnis baru berupa toko perlengkapan bayi (baby shop). Toko ini pun mendapatkan sambutan yang juga cukup bagus dari pasar warga sekitar dan menghasilkan laba.

Fokus dibutuhkan untuk hadirnya sebuah karya besar. Korporasi yang memberi manfaat luas kepada umat manusia lintas bangsa adalah karya besar seorang entrepreneur pendiri perusahaan
Selanjutnya, laba dari ketiganya dipakai untuk bisnis baru lagi berupa klinik kecantikan. Sebuah bisnis yang sama sekali berbeda karakter dengan bisnis-bisnis sebelumnya yang hanya bersifat perdagangan. Klinik kecantikan membutuhkan layanan yang intensif. Bisnis ini pun menguntungkan hingga saat ini.
Masalahnya adalah beban pekerjaan. Si ibu, sang suami dan anak pertama yang sudah lulus kuliah setiap hari berkutat berbagi mengelola empat bisnis tersebut. Si suami mengelola toko obat dan apotek. Hari-hari waktunya habis untuk operasional bisnis toko obat dan apotek-nya. Si anak sulung mengelola bisnis perlengkapan bayi. Si ibu mengelola bisnis klinik kecantikan. Masing-masing sudah menyita sebagian besar waktu keseharian. Karyawan yang ada murni hanya menjadi pembantu. Tidak bisa dilepas tanpa kehadiran pemilik. Inilah masalah si ibu bersama keluarga dalam menjalani bisnis sehari-hari.
&&&
Pembaca yang baik, apa yang dilakukan oleh si Ibu dengan empat gerainya adalah bisnis perseorangan. Sebagai sebuah awalan, hal itu bukanlah masalah. Perusahaan besar manapun pada umumnya dimulai dari bisnis perseorangan dengan beberapa karyawan yang berfungsi murni hanya sebagai pembantu. Bahkan banyak yang dimulai sendirian. Single fighter.

Fokus tambah outlet: Dibutuhkan paling tidak sekitar 30 outlet yang dikelola sendiri untuk bisa dibangun sistem manajemen retail yang kuat seperti K24 ini.
Dengan bisnis sederhana seperti itu, uang dan kekayaan bisa diperoleh. Banyak orang punya rumah mewah, mobil mewah, pergi haji, menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan tertinggi dan sebagainya dengan bisnis sesederhana itu.
Tetapi….jaman berubah. Satu demi satu bisnis perorangan tergusur oleh bisnis korporasi besar bermerek dan bersistem manajemen kuat. Yang kasat mata misalnya adalah bisnis ritel toko-toko kelontong di gang-gang kampung. Satu demi satu dipaksa tutup terkalahkan oleh jaringan minimarket dengan merek dan sistem manajemen kuat yang hadir dengan puluhan ribu gerai dimana-mana. Kalah karena tidak mampu memperoleh crowding effect. Kalah dalam perebutan SDM di era career choice effect. Kalah dalam era monopolistik. Maka, yang dialami si ibu dengan dua anak di atas sebenarnya adalah sesuatu yang mesti dijawab dengan perbaikan. Perbaikan sistem manajemen adalah agenda paling mendesak.

Fokus akan memungkinkan munculnya sebuah ikan besar.
Bagaimana melakukannya? Sistem manajemen itu bisa dianalogikan sebagai anyaman bilah-bilah bambu. Salah satu syarat utama anyaman adalah jumlah bilah bambu yang cukup. Satu, dua, tiga atau empat bilah bambu tentu tidak dapat dianyam. Anyaman baru akan kuat jika dibuat dengan puluhan bahkan ratusan bilah bambu. Bilah-bilah bambu saling mengikat satu sama lain sehingga membangun sebuah anyaman yang kokoh awet.

Sistem manajemen ibarat anyaman bambu vertikal dan horisontal
Analog anyaman, sistem manajemen baru bisa dibuat dengan baik jika ada karyawan dengan jumlah yang cukup untuk membentuk struktur organisasi dengan banyak level. Ada banyak level jabatan dari pimpinan puncak sampai staf terbawah akan saling mengikat dengan standard operating procedure (SOP) untuk menjadi sebuah “anyaman”. Jika karyawan sedikit, tentu tidak bisa dibuat banyak level jabatan.

Tanpa fokus, akan sulit membangun sistem manajemen dengan level jabatan yang banyak. Sistem manajemen belum terbentuk saat pendiri meninggal. Keberlangsungan bisnis terancam.
Bagaimana si ibu tadi bisa membangun sistem manajemen? Jika mau, si ibu harus memilih satu dari empat unit bisnisnya dan menjual 3 yang lain. Hasil penjualan 3 unit bisnis dipakai untuk membuat gerai baru untuk unit bisnis yang dipilih. Misalkan memilih klinik kecantikan, ia mesti menjual apotek, baby shop, dan toko obat. Hasil penjualannya dipakai untuk membuat 3 gerai klinik kecantikan baru. Dengan demikian ia akan memiliki 4 klinik kecantikan. Bertransformasi dari konglomerasi (multi bidang) menjadi fokus satu bidang.

Konglomerasi: saatnya bertransformasi
Dengan fokus, barulah bisa dibuat struktur organisasi yang walau masih sangat sederhana bisa “dianyam” dengan SOP untuk menjadi sistem manajemen dalam bentuk yang juga masih paling sederhana. Sistem manajemen paling sederhana seperti ini mustahil bisa dibuat pada sebuah jenis bisnis yang masing-masing hanya memiliki satu gerai seperti selama ini.
Hidup itu pilihan. Tetapi kita harus ingat bahwa waktu hidup itu terbatas. Untuk membangun perusahaan yang terus eksis dari generasi ke generasi dibutuhkan sistem manajemen yang cukup. Dan…waktu kita membangun sistem berpacu dengan datangnya ajal. Jika ajal datang sebelum sistem manajemen terbentuk, perusahaan akan kacau dan terancam hancur. Maka, bekerja keras untuk membangun satu saja perusahaan bersistem manajemen sebelum ajal menjemput adalah upaya stratejik untuk membangun amal jariyah. Perusahaan yang terus menerus menebar manfaat bagai umat manuisia berbagai bangsa.
Pertanyaan sering muncul, bagaimana dengan nasihat “jangan letakkan telurmu pada satu keranjang”. Jangan salah persepsi. Nasihat itu bukan untuk bisnis. Bukan untuk pengelolaan sebuah perusahaan. Tetapi untuk investasi. Penerapan prinsip itu adalah pada sebuah investment company. Bukan untuk sebuah perusahan operasional alias operating company.
Pelajaran penting dari uraian di atas adalah…. Memilih dan menekuni satu bidang usaha lalu memperbesarnya dengan banyak gerai adalah prasyarat untuk dibangunnya sistem manajemen yang kuat. Prasyarat untuk dilakukannya proses korporatisasi. Prasyarat untuk menang menghadapi persaingan bisnis dengan raksasa-raksasa global yang juga telah jauh lebih dahulu melakukan spesialisasi dan korporatisasi. Korporatisasi atau mati. Anda siap?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup WA SNF Consulting atau Gabung Grup Telegram SNF Consulting
Tulisan dari Iman Supriyono, CEO SNF Consulting, ini pernah dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya, dengan edit dan penambahan.
Masyaallah…luar biasa……mudah mudahan bermanfaat bagi kita semua….