Hari-hari menjelang ramadhan tahun ini dunia penerbangan diwarnai sedikit goncangan. Penyebabnya tidak lain adalah naiknya harga tiket pesawat. Tiket Surabaya Jakarta atau sebaliknya yang biasanya bisa dibeli dengan harga sekitar 500 ribu naik menjadi sekitar Rp 1 juta. Semua maskapai penerbangan nasional yang terdiri dua grup, Lion dan Garuda, sepakat naik. Air Asia tidak naik tetapi didepak dari aplikasi travel online. Tetapi masyarakat tetap saja dengan mudah bisa menginstall aplikasi Air Asia untuk tetap bisa menikmati tiket murah. Itu juga yang saya lakukan sebagai konsumen yang banyak butuh tiket pesawat.
Pada industri masakapai penerbangan dikenal ada dua konsep, full service dan low cost carrier. Di Indonesia contoh maskapai full service adalah Garuda Indonesia atau Batik Air di kelompok Lion. Dengan maskapai seperti ini para penumpang akan disuguhi makanan saat dalam penerbangan. Contoh maskapai berbiaya murah adalah Lion Air dan Citilink. Para penumpang maskapai jenis ini tidak menerima hidangan makanan selama penerbangan.

Tampilan pesawat Southwest Airlines. gambar dari http://www.upgradedpoints.com
Dahulu semua maskapai penerbangan berkonsep full service. Perubahan datang pada tahun 1971 ketika Southwest Airlines hadir di dunia bisnis penerbangan tepatnya di Amerika Serikat. Perusahaan yang terbang perdana dengan 3 pesawat Boeing 737 ini ini hadir dengan konsep keunggulan biaya alias cost leadership.
Harga satu unit pesawat Boeing 737 atau pesaingnya, Airbus 320, versi terbaru adalah sekitar Rp 1,5T. Bila sebuah maskapai penerbangan akan memakai pesawat ini selama 10 tahun maka biaya penyusutannya sehari adalah sekitar Rp 410 juta. Nilai itulah yang akan menguap tiap hari sejak pesawat dimiliki. Nah, Southwest Airlines mengutak-atik angka ini. Membuat konsep bagaimana supaya angka tersebut bisa diserap dengan optimal sehingga biaya yang harus ditanggung setiap penumpang jari murah.
Tahun 1973 misalnya maskapai yang kini mengoperasikan lebih dari 700 pesawat ini mampu mengangkut terbang 10 619 penerbangan dengan 3 pesawat. Jika setahun pesawat terbang 365 hari maka bisa dihitung bahwa rata-rata tiap pesawat terbang 9,7 kali alias bisa dibulatkan menjadi 10 kali dalam sehari.
Untuk bisa membayangkan degan mudah, mari kita hitung kemampuan operasioanl Southwest itu dengan harga pesawat hari ini. Dengan harga dan angka operasional sebagaimana diatas maka rata-rata biaya penyusutan yang ditanggung dalam sekali terbang adalah Rp 41 Juta. Jika sekali terbang bisa mengangkut 150 penumpang maka biaya penyusuatan yang harus ditanggung oleh seorang penumpang adalah Rp 273 ribu. Maka, jika tiket dijual dengan harga Rp 500 ribu maka masih ada ruang untuk memperoleh laba setelah diperhitungkan biaya bahan bakar, kru penerbangan dan sebagainya.
&&&
Perang Badar, salah satu tonggak sejarah Islam terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Perintah puasa Ramadhan juga turun pada tahun ke-2 Hijriah. Artinya, umat Islam menghadapi perang besar bersamaan dengan pertama kali menjalankan puasa wajib sebulan penuh. Artinya, lapar dan haus dalam menjalani ibadah pasa ramadhan bukan halangan bagi umat islam untuk produktif. Bahkan justru semakin produktif.
Suksesnya perang badar di bulan Ramadhan bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk juga sukses dengan sesuatu yang besar pada bulan Ramadhan. Tentu semuanya bertumpu pada kesuksesan ibadah puasa yang ikhlas dan semata-mata mengharap ridho Allah. Ibadah puasanya sendiri mesti sukses. Selanjutnya kita tambahkan daftar kesuksesan lain seperti sukes perang Badar itu. Kesukesan produktifitas yang tinggi di bulan ramadhan.
Akan tetapi, sukses produktivitas bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Butuh konsep besar. butuh kreatifitas dan inovasi. Dalam konteks inilah apa yang dilakukan oleh Southwest Airlines menjadi sangat menginspirasi. Sehari sebuah pesawat terbang sampai 10 kali. Padahal maskapai-maskapai yang berkonsep full service terbang rata-rata jauh di bawah angka itu. Penyediaan makanan di udara menajdi salah satu penyita waktu.
Adanya makanan menyebabkan tiap mendarat pesawat harus membersihkan sisa-sisa makanan dan memuat makanan baru untuk penerbangan berikutnya. Aktivitas ini menjadi salah satu pemicu lamanya rentang waktu antara pesawat mendarat hingga terbang lagi. Efeknya adalah menurunkan jumlah penerbangan yang bisa dilakukan dalam sehari. Tentu saja ini juga berefek terhadap tingginya biaya pilot, kopilot, dan kru udara. Pula terhadap biaya parkir di bandara. Belum lagi harga makanan itu sendiri. Maka, pemangkasan hidangan makanan di udara bermakna penghematan besar. Dan itulah yang meyebabkan sebuah maskapai LCC bisa menjual tiket dengan murah.
Bagaimana ramadhan kita tahun ini? Tetap jaga puasa yang imanan wahtisaban. Dengan keimanan dan semata-mata mengharap ridho Allah SWT. Lalu, dalam kondisi seperti itu, renungkan bagaimana meningkatkan produktivitas dalam pekerjaan atau profesi kita masing-masing. Belajar dari Southwest yang kini adalah maskapai penerbangan terbesar dunia beromzet sekitar Rp 300 T dengan nilai sekitar Rp 430T. Menginspirasi Lion Air, Citilink, Air Asia dan maskapai-maskapai berbiaya murah lain. Dinikmati masyarakat sedunia dengan tiket murahnya.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
***Tulisan ini juga dimuat di Majalah Al-Falah, terbit di Surabaya, Mei 2019
Garuda walaupun muaaahal bangeet juga masih laku kok.. Masih banyak penumpang yang ingin sekedar snacking, ngopi atau makan besar diatas pesawat. Ada harga, ada kualitas, tergantung preferensi si pemilik uang. Itulah sebabnya air fares kini bersegmen-segmen.