Pajak: Dikejar Petugas atau Beramal?


Cak Mat menjual segelas kopi dengan harga Rp 5 ribu. Starbucks menjual kopi serupa dengan harga Rp 50 ribu. Untuk pajaknya saja hampir Rp 5 ribu. Artinya, pajaknya seharga kopi cak Mat. Pertanyaannya, mana yang bisnisnya berkembang? Mana yang terus tumbuh melampaui batas-batas negara?

Narasi di atas sering saya pakai untuk menjelaskan  bagaimana menyikapi pajak. Cak Mat akan sibuk mengatur-ngatur bisnisnya agar tidak dipaksa membayar pajak. Menyembunyikan omzet. Menyembunyikan harta. Agar tidak tercium petugas pajak.

Sementara Starbucks sibuk urusan marketing. Bagaimana produknya pantas untuk dijual Rp 50 ribu. Bagaimana konsep iklan dan promosinya agar konsumen puas membeli produk dengan harga mahal itu. Sibuk memilih lokasi yang tepat agar harga sebesar itu pun masih didatangi pembeli untuk menghasilkan omset sesuai target. Agar memperoleh laba.

Bahkan bukan hanya pajak atas harga kopi. Dari laba perusahaan pun masih akan dipotong sekitar 25% untuk membayar pajak. Pemerintah seolah-olah seperti pemegang saham yang berhak mengambil laba sebesar itu. Padahal pemegang saham pun belum tentu mengambil semua hak labanya. Umumnya laba akan diprioritaskan untuk pengembangan usaha. Sedikit saja yang diambil sebagai dividen.

“Dari pada saya pakai untuk membayar pajak, lebih baik untuk infaq”.  Pernyataan seperti ini juga sering terdengar dari kalangan pebisnis. Karena alasannya bernuansa religius, biasanya saya juga menjelaskannya dengan nuansa serupa.

Begini penjelasannya. Ketika sholat di sebuah masjid, seseorang akan menggunakan fasilitas air, listrik, kipas angin atau bahkan AC, ruang dan sebagainya. Semua fasilitas tersebut mengandung biaya. Akuntan bisa menghitung berapa biaya bagi seseorang yang sholat di masjid. Katakan biayanya adalah Rp 5 ribu untuk sekali sholat. Maka jika seseorang sholat di masjid tanpa membayar infaq, maka statusnya adalah sholat dengan ditraktir. Ditraktir fasilitas oleh orang lain yang berinfaq lebih dari Rp 5 ribu untuk sekali sholat. Jika ia berinfaq Rp 5 ribu maka ia membayar sendiri biaya sholatnya di masjid. Jika ia berinfaq Rp 20 ribu maka Rp 5 ribu untuk biaya dirinya sholat, Rp 15 ribu untuk membayari orang lain yang tidak berinfaq saat sholat.

Dalam agama juga ada ajaran bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dalam urusan penggunaan fasilitas masjid, orang yang mentraktir lebih baik daripada orang yang ditraktir. Yang membayar infaq Rp 20 ribu lebih baik dari pada yang tidak membayar infaq. Yang membayar Rp 5 ribu impas.

Nah, itulah fasilitas sholat di masjid. Di luar masjid, sehari-hari kita selalu menggunakan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, taman, bandara, keamanan dan sebagainya. Nah, dalam penggunaan fasilitas ini juga bisa dihitung berapa biayanya. Berapa biaya menggunakan jalan dengan mobil per kilometer. Semua biaya itu ditanggung oleh pembayar pajak.

Maka, sebagaimana di masjid, juga akan muncul tiga jenis orang. Yang membayar pajak kurang dari biaya fasilitas umum yang digunakannya. Berarti sedang ditraktir. Yang membayar pajak persis sebesar biaya fasilitas yang digunakannya. Berarti tidak ditraktir tapi juga tidak mentraktir. Yang membayar pajak lebih besar daripada biaya fasilitas umum yang dipergunakannya. Berarti mentraktir.

Ajaran agama tetap berlaku. Tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah. Yang mentraktir fasilitas umum lebih baik daripada yang ditraktir. Yang membayar pajak lebih besar daripada biaya fasilitas umum yang digunakannya lebih baik daripada sebaliknya.

Lho, apakah membayar pajak berpahala? Berniatlah sederhana saja. Niatilah mentraktir fasilitas umum kepada orang lain. Kepada masyarakat luas. Ingat bahwa memberi minum anjing yang kehausan saja bisa berbuah surga. Apalagi mentraktir fasilitas umum kepada orang banyak.

Bagaimana kalau uang pajak dikorupsi? Jangankan uang pajak. Uang masjid pun bisa dikorupsi. Tetapi itu bukan urusan Anda. Itu urusan si koruptor dengan Tuhan-nya. Saya yakin itu tidak mengurangi pahala bagi orang yang niatnya suci dan ikhlas.

Jadi? Tidak usah takut membayar pajak. Secara bisnis berpikirlah seperti Starbucks. Sibuklah dengan marketing dan menumbuhkan perusahaan. Sibuk membangun sistem manajemen. Sibuk melakukan akuisisi di berbagai belahan dunia. Sibuk melakukan korporatisasi. Sibuk membuka mengubah intangible asset menjadi modal dengan cost of capital rendah. Sibuk berkolaborasi. Bukan sibuk menghindari petugas pajak.

Secara religius berniatlah mentraktir orang lain. Berniatlah untuk menjadi orang yang bertangan di atas. Jika ke masjid infaqnya lebih besar daripada biaya fasilitas ibadah yang digunakannya. Jika menggunakan fasilitas umum membayar pajak lebih besar daripada biaya fasilitas yang digunakannya. Pajak itu sederhana. Bersembunyi dari pajak lalu dikejar-kejar petugas atau sejak awal dirancang untuk beramal?

*)Artikel ke-252 ini ditulis oleh Iman Supriyono dan pernah dimuat di majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi Pebruari 2020 dengan judul “Pajak Itu Sederhana” dan diedit kembali oleh penulis.

9 responses to “Pajak: Dikejar Petugas atau Beramal?

  1. Artikel ini bagus dalam menyikapi pajak. Sederhana tapi mengena. Ijin share…

  2. Ping-balik: Buka Donasi Corona: Pemerintah Panik? | Catatan Iman Supriyono

  3. Alhamdulillah.
    Artikelnya mencerahkan dalam menyikapi bayar pajak.
    Ijin share Cak Iman

  4. Ping-balik: Perusahaan Dakwah | Catatan Iman Supriyono

  5. Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Catatan Iman Supriyono

  6. Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais – SNF Consulting

  7. Timotius bambang Wiyanto

    Restitusi (lebih bayar) dalam pajak dalam prakteknya dari waktu ke waktu selalu lama. Dan kadang dialihkan untuk periode berikutnya. Itu kenapa org malas berurusan dengan pajak/KPP. Maaf, apalagi bagi pengusaha keturunan chinese, dana restitusi artinya uang mati dan cashflow mandeg. Itulah banyak yang setengah mati menghindari pajak dan pemeriksaan pajak. Sebisa mungkin, pengusaha bayar pajak sesedikit mungkin.

Tinggalkan Balasan ke Iman Supriyono Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s