Ummi, mengasuh 8 anak tentu tidak mudah bagi sebagian besar orang. Tapi kau tidak pernah takut. Kau tidak pernah mengeluh. Bahkan kau tidak pernah takut punya anak berapapun. Anak kedelapan kita lahir tiga tahun lalu. Saat usiamu 46 tahun.
Kau sama sekali tidak takut ketika dokter mengatakan bahwa risikomu terlalu tinggi. Kau juga tidak takut saat dokter menyampaikan bahwa air ketuban kandunganmu terlalu sedikit. Kau tetap mencoba untuk melahirkan normal. Tapi dokter kandungan yang juga kawan sekolahmu itu akhirnya kita ikuti. Persalinan dilakukan secara operasi. Sesuatu yang belum pernah terjadi kepadamu sebelumnya. Bahkan terhadap si kembar yang beratnya saat lahir 3,2 dan 3,3 kg pun alhamdulillah tetap dengan persalinan normal.
Kepada abi banyak orang menanyakan. Bagaimana mengasuh anak sebanyak itu terutama ketika masih kecil-kecil? Sedangkan orang lain mengasuh dua anak saja sudah sangat pusing. Nah, untuk pertanyaan ini, ummi punya jawaban yang manjur. Punya cara yang tepat. Yang membuatmu tetap bisa menjadi aktivis dengan seabreg kegiatan walaupun harus mengasuh banyak anak. Kuliahpun lulus dengan baik saat sudah ada 3 buah hati yang kau asuh plus hamil buah hati keempat.
Ummi, alhamdulillah kau sendiri punya latar belakang masa kanak-kanak yang mengkondisikanmu untuk mandiri. Sejak SD kelas satu sudah harus terpisah dari ayah ibu. Meninggalkan ibu dan kota kelahiranmu di Pamekasan untuk tinggal bersama nenekmu di Surabaya. Itupun bukan nenek langsung. Bukan ibu dari ibumu. Tapi saudara sebapak dari nenek langsungmu. Kisahmu, sejak SD itu kau sudah berani naik kendaraan umum sendiri Surabaya Pamekasan dan sebaliknya. Sejarah hidupmu mendukung pembelajaran kemandirian untuk anak-anakmu.
Itulah yang membuatmu santai saja ketika melepas si sulung dan 2 adiknya pergi pulang ke sekolah dan asramanya di Johor Bahru, Malaysia, sendirian. Bahkan terkadang harus berangkat dengan penerbangan malam. Tiba di bandara tujuan tengah malam bahkan dini hari. Yang penting dipastikan bahwa anak-anak tidak keluar bandara sampai pagi datang.

Bahkan kau juga tanpa ragu melepas junior keempat kita yang baru lulus SMP untuk belajar bahasa Thailand di Bangkok. Berangkat dari Surabaya sendirian. Kita lepas dari bandara. Untuk dijemput kakaknya di bandara Singapura. Lalu diantar dan ditinggal oleh kakaknya di Bangkok.
Di bangkok ia harus sendirian pergi ke Laos untuk perpanjangan ijin tinggal selama belajar. Perpanjangan berikutnya juga harus pergi sendiri ke Kamboja. Anak gadis lulusan SMP berkelana sendiri lintas negara naik kendaraan umum jalur darat. Kau melepasnya dengan tulus dan yakin. Tentu dengan doamu yang tiada henti.
Dalam hal ini, kau ini seperti ibundanya KH Hasyim Asyari remaja. Atau seperti Ibundanya KH Ahmad Dahlan remaja. Atau seperti ibundanya Bung Hatta remaja. Mereka melepas buah hatinya untuk perjalanan dan tinggal ribuan kilometer dari rumah untuk belajar. Berbekal keyakinan dan doa. Memang kau telah lebih diringankan dengan tersedianya sarana telekomunikasi modern yang tidak dijumpai pada jaman tokoh-tokoh besar itu. Tapi kekuatan seorang ibu seperti kau ini langka di era ini.
Ummi, itu semua juga bukan sesuatu yang instan. Sejak bayi aku merasakan apa yang kau lakukan untuk buah hati kita itu. Aku ingat saat kau praktikum dan aku juga harus kuliah atau bekerja, kau menitipkan anak-anak balita kita pada sahabat-sahabatmu. Dan alhamdulillah sahabat-sahabatmu pada seneng karena anak-anak kita tidak rewel. Sepeninggalmu, seorang sahabatmu menawarkanku untuk dengan senang hati dititipi bungsu kita si Jo-Joang Dimarga Albarr- jika sewaktu-waktu aku membutuhkannya. Subhanallah…
Tidak banyak digendong. Itulah langkah awalmu untuk kemandirian buah hati kita. Kau tidak akan menggendong anak-anak kecuali memang sangat dibutuhkan. Praktis di rumah anak-anak biasa bermain sendiri sejak bayi. Saat aku menulis ini di belakangku ada si Jo yang sedang asyik bermain mobil-mobilan setelah abi mandikan.
Untuk memberi kesempatan anak belajar mandiri seperti itu butuh pengorbanan. Rumah berantakan adalah hal biasa. Abi masih ingat persis bagaimana dulu saat si sulung selalu ngobrak-abrik buku-buku di rak. Ditata lagi. Dibongkar lagi. Ditata lagi. Dibongkar lagi. Demikian juga adik-adiknya.
Abi juga masih ingat bagaimana beras yang mestinya untuk dimasak dipakai mainan anak-anak dan bercampur pasir. Kau menghadapi itu semua dengan kesabaran seorang ibu. Sebagai pendidikan kemandirian bagi buah hati kita. Itu istimewamu.
Agak besar sedikit, kau bisakan anak-anak kita mulai belajar makan sendiri. Ini juga butuh kesabaran ekstra. Makanan akan tercecer disana sini. Lantai rekat oleh ceceran nasi. Sebuah ketidaknyamanan sendiri bagi kau. Tapi kau mengalah. Merelakan menerima ketidaknyamanan untuk kemandiran anak-anak kita. Sebuah proses kemandirian yang sangat baik bagi anak seusia 3 tahun. Pagi ini pun Jo makan pagi sendiri. Tidak perlu disuapi.
Kebiasaan anak-anak yang asyik mencari aktivitas dan makan sendiri itu diperkuat dengan kebiasaanmu untuk berani meninggalkan anak-anak dirumah sendiri sementara kita pergi. Tentu bukan pergi yang sampai menginap. Maka, ketika kemarin aku berada di kantor sementara di rumah hanya ada si Jo dan si Disa yang SD kelas empat adalah meneruskan apa yang kau lakukan. Tentu abi tetap memonitor mereka melalui telepon sebagaimana yang juga biasa kau lakukan. Tetap dengan emergency plan yang sudah biasa kita ajarkan kepada mereka.
Ummi, kau memilihkan sekolah SD yang dekat dari rumah untuk semua anak-anak kita. Bukan dekat dalam pengertian terjangkau jalan kaki. Tetapi dekat dalam pengertian terjangkau naik sepeda pancal. Maka, pada umumnya anak-anak kita sudah berangkat dan pulang sendiri ke sekolahnya sejak kelas 3 SD. Menjadi anak SD yang mandiri mengelola waktu mereka. Jam berapa harus bangun, jam berapa harus mandi, jam berapa harus berangkat. Mereka mengelola sendiri aktivitas mereka. Tentu semua sudah kau pikirkan strategi keamanannya di tengah santernya isu penculikan anak. Tentu kau melepas mereka dengan doa. Alhamdulillah mereka melalui masa-masa itu dengan aman sentosa.
Sampai anak ketiga, kau masih memilihkan SMP yang dekat rumah untuk anak-anak kita. Terjangkau naik sepeda pancal. Praktis di SMP mereka tinggal melanjutkan saja apa yang sudah mereka biasa lakukan sejak SD. Tapi sejak anak keempat, mereka bahkan lulus SD sudah meminta masuk pesantren. Jauh meninggalkan rumah dan orang tuanya untuk belajar di luar kota.
Kepada anak-anak yang belajar di pesantren, kau pun menyikapinya sebagai sebuah proses kemandirian. Kau tidak mau tiap bulan mengunjungi anak-anak. Cukup seperlunya saja. Bagimu, percuma saja sekolah di pesantren di luar kota jika orang tua masih sibuk ngurusi mereka. Tidak optimal untuk proses pembelajaran.
Dan hasilnya alhamdulillah kita sangat bersyukur. Di hari-hari terakhirmu, kita pernah diskusi asyik tentang anak-anak kita. Ketika aku bertanya, kau puas tidak dengan apa yang ada pada anak-anak kita hari ini? Alhamdulillah kau sangat puas dan bersyukur dengan mereka berdelapan. Akupun demikian. Mereka rukun-rukun. Kompak. Mandiri-mandiri. Sekolahnya bagus-bagus. Yang sudah lulus kuliah juga dicari oleh pekerjaan. Dan yang lebih penting…mereka semua dekat dengan masjid. Kau sekarang menikmatinya sebagai doa anak sholeh. Allahumarhamha….
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
Baca juga
Obituari pertama: Pendidikan terbaik berbagai bangsa
Obituari kedua: Pekerjaan tak terkenal sang Insinyur
Obituari ketiga: Pernikahan, pertengkaran dan sepiring berdua kita
Obituari keempat: Kau, aku dan masjid
Obituari kelima: Sahabatmu sahabatku, sahabatku sahabatmu
Obituari keenam: Caramu memandirikan anak-anak kita
Obituari ketujuh: Sederhana dan percaya diri adalah kamu
Obituari kedelapan: Kau, aku dan adikku
Obituari kesembilan: Istriku editorku
Obituari kesepuluh: Musim durian tahun lalu
Obituari kesebelas: Ummi di mata Jo
*)Artikel ke-303 karya Iman Supriyono ini ditulis rumahnya di Surabaya pada tanggal 10 Januari 2021. Tulisan ini merupakan obituari keenam untuk almarhumah R.A. Anni Muttamimah, istri penulis, yang meninggal pada hari Jumat tanggal 25 Desember 2020. Ummi adalah panggilan keluarga untuk almarhumah. Abi adalah panggilan keluarga untuk penulis.
Ping-balik: Sederhana dan Percaya Diri Adalah Kamu | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kau, Aku dan Adikku | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Istriku Editorku | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Musim Durian Tahun Lalu | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Ummi di Mata Jo | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Karir Tak Terkenal Insinyur Bergengsi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Bangku Kosong: Pendidikan Terbaik Berbagai Bangsa | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pernikahan, Pertengkaran & Sepiring Berdua Kita | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kau, Aku dan Masjid | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sahabatmu Sahabatku, Sahabatku Sahabatmu | Catatan Iman Supriyono
Masya Alloh… 👍👍👍🙏