Sebagai salah satu pendiri dan kemudian ketua ACR, www.acrku.org, sejak awal saya menyadari bahwa ini adalah proses yang panjaaaang. Berdasarkan catatan sejarah, membangun pengelola zakat infak sekelas YDSF yang berdiri tahun 1987 butuh waktu sekitar 20-30 tahun untuk menjadi organisasi kokoh. Dompet Dhuafa yang berdiri tahun 1993 pun demikian. Kini lebih dari 30 tahun kemudian masyarakat benar-benar merasakan kehadirannya.
ACR didesain berkonsep dana abadi alias wakaf. Dalam konteks ekonomi modern, dana abadi alias dana wakaf hanya tepat dikelola dengan model investing company, bukan operating company. Ini adalah sesuatu yang baru. Tidak banyak yang memahaminya. Maka, poin pertama yang dipikirkan oleh para pendiri adalah bahwa ACR butuh proses panjaaaang. Perkiraan juga butuh waktu sekitar 20-30 tahun.
Bagaimana gambaran ACR saat sudah jadi nanti? Kurang lebih begini. ACR memiliki aset dalam bilangan triliun. Aset itu dikelola model investing company dengan proporsi sekitar 50% adalah ekuitas alias saham di berbagai perusahaan. Semuanya saham minoritas sehingga ACR tidak mengkonsolidasikan laporan keuangan perusahaan tempatnya berinvestasi. Ada ratusan perusahaan investeee berkualitas.
Selanjutnya, sekitar 30% aset adalah berupa sukuk atau deposito syariah di berbagai bank. Selebihnya sekitar 20% adalah lain-lain seperti kepemilikan properti untuk disewakan, pembiayaan murobahah proyek dan sebagainya. Jadi pekerjaan pengurus ACR ketika itu adalah dari RUPS ke RUPS.
Karena memiliki aset saham yang secara akuntansi dilaporkan berdasarkan nilai pasar, maka aset bilangan triliun bukan berarti para donatur yaitu anggota ACR (ACR adalah ormas berbadan hukum perkumpulan yang asetnya berasal dari iuran anggota) benar-benar menyetor sejumlah itu. Sebagian besar asetnya akan berasal dari pertumbuhan nilai pasar dari saham-saham yang dimilikinya. Bukan hanya dari setoran pra anggota. Ini terjadi karena pada umumnya ACR masuk sebagai pemegang saham melalui skema private placement perusahaan-perusahaan terpilih jauh sebelum IPO. Harganya masih murah dan pertumbuhannya tinggi. Kriteria teknisnya adalah perusahaan sudah pada tahap revenue and profit driver, tahap kelima dari 8 siklus perusahaan. Ini adalah cara yang biasa dikerjakan pengelola dana abadi raksasa seperti pada Harvard University, MIT, The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints (LDS Church) si organisasi agama dengan aset lebih dari Rp 4 ribu triliun, dan sebagainya.

ACR adalah program besar. Maka, mengelola ACR adalah perjalanan panjang. Tidak boleh grusa grusu. Tidak boleh tergesa gesa. Tapi juga tidak boleh diam. Maka, sore itu, perjalanan saya mengemudikan mobil dari Natar, Lampung Selatan, menuju Banjar Agung, Tulang Bawang, adalah sesuatu yang sangat saya syukuri. Sore itu, 11-12-25, saya menikmati perjalanan di tol lintas sumatera untuk penandatanganan masuknya ACR sebagai pemegang saham PT Titokita Farma Sejahtera, sebuah perusahaan apotek yang telah memiliki 8 gerai. Masuknya ACR menandai awal proses scale up untuk menjadi korporasi sejati. Menjadi perusahaan yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Rahmatan lil alamin.
Satu lagi dari ACR. Itulah spiritnya. Di kantor notaris Tria Agustia, mewakili ACR saya melakukan penandatanganan akta bersama dengan pemegang saham Titokita lainnya. Bismilah….ini adalah saham ke-4 ACR. Insyaallah akan disusul saham ke-5, ke-6 dan seterunya sampai lebih dari seribu seperti LDS Church. Moga berkah bagi keluarga besar Titokita, berkah bagi keluarga besar ACR dan tentu saja berkah bagi adik-adik cemerlang kader umat yang sedang rajin belajar dengan fasilitas beasiswa ACR.
Karya ke-494 Iman Supriyono yang ditulis di Bandar Lampung pada tanggal 12 Desember 2025.
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi