Lee Kuan Yew. Ada banyak hal menarik yang dilakukan pendiri dan arsitek kemajuan Singapura ini. Salah satunya adalah saat ia mengamati fenomena pernikahan di negerinya. Saat memutuskan untuk menikah, para pemuda yang berpendidikan sarjana akan memilih gadis dengan strata pendidikan dibawahnya. Akibat logisnya: gadis-gadis sarjana banyak yang tidak “kebagian”. Gadis-gadis sarjana pada membujang walaupun usianya sudah empat puluhan tahun. Ada sekitar 60% gadis sarjana yang membujang sampai tua.
Dalam benak Lee, fenomena ini mengandung bahaya luar biasa bagi negerinya. Bahaya akan penurunan kualitas generasi yang akan datang. Nampaknya, ia yakin betul terhadap ilmu biologi yang pernah dipelajarinya di sekolah. Kualitas keturunan sangat dipengaruhi oleh dua hal: faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik artinya adalah anak-anak yang terlahir akan berkualitas baik bila bapak ibunya juga berkualitas baik. Ayah ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas. Ayah ibu yang kurang cerdas akan menghasilkan keturunan yang kurang cerdas pula. Faktor lingkungan artinya adalah makanan, pendidikan, pergaulan, dan sebagainya.
Karena sistem pemetaan pendidikannya yang bagus, yang kuliah sampai sarjana di Singapura adalah mereka-mereka yang memang memiliki kecerdasan lebih. Tidak banyak yang berpotensi seperti ini. Yang potensi kecerdasannya tidak lebih cukup belajar di pendidikan praktis seperti politeknik atau bahkan setara SMA saja. Belajar menjadi praktisi, bukan akademisi. Kalaupun dipaksakan melalui pendidikan kesarjanaan yang akademik, hasilnya juga tidak produktif. Hanya buang buang waktu, biaya dan potensi saja. Padahal negara yang suka buang buang waktu, biaya dan potensi adalah negara yang tidak efisien. Negara seperti ini tidak akan unggul di kancah persaingan global.
Maka, ketika seorang lelaki sarjana menikahi seorang perempuan bukan sarjana, tentu ada ketidak-seimbangan potensi disini. Sarjana memiliki kecerdasan lebih. Bukan sarjana yang “biasa biasa saja”. Akhirnya, bisa dibayangkan bahwa anak-anak yang terlahir bukanlah kualitas nomor satu. Ayahnya kualitas nomor satu. Ibunya kualitas nomor dua. Logika sederhana mengatakan: anaknya akan terlahir dengan kualitas antara nomor satu dan nomor dua. Nomor satu koma. Bukan nomor satu. Jika seperti ini terus menerus terjadi, Singapura tidak akan menjadi bangsa yang unggul.
Maka, dirancanglah dua program untuk memperbaikinya. Yang pertama adalah kampanye. Pada berbagai kesempatan Lee berkampanye. Adalah sebuah kesalahan seorang lelaki sarjana menikahi wanita bukan sarjana. Orang seperti ini akan memiliki anak-anak dengan kualitas bukan nomor satu. Anak-akan berkualitas tidak sebaik bapaknya. Sebuah keputusan yang harus dihindari.
Begitu program kampanye ini diluncurkan, pro kontra pun terjadi. Banyak yang memujinya sebagai pemikiran brilian, banyak juga yang mencelanya habis-habisan. Nampaknya Lee sudah siap dengan yang semacam ini. Ia tidak terlalu peduli untuk jaim alias jaga image. Yang penting negerinya jadi maju. Tetapi tentu saja pro kontra dan kampanye saja tidak akan menghasilkan apapun kecuali ada program konkrit. Inilah urgensinya program kedua.
Program kedua bersifat konkrit. Beberapa diantaranya adalah berupa insentif pajak kepada lelaki sarjana yang menikahi perempuan sarjana dan prioritas pendidikan terbaik bagi anak-anak yang terlahir dari ayah ibu sarjana. Inilah yang kemudian menjadi tindak lanjut efektif bagi program pertama yang berupa gembar-gembor kampanye di berbagai media dan kesempatan. Kampanye bertemu dengan program konkrit.
Bagaimana hasilnya? Progam yang diluncurkan puluhan tahun lalu itu kini sudah berbuah. Singapura tampil menjadi salah satu negara kuat di dunia. Ekonominya kuat, militernya disegani, lingkungannya asri, kebersihannya terjaga, rumah sakitnya mengglobal, BUMN nya menjadi berekspansi ke berbagai penjuru dunia, bandarnya termasuk bandara terpadat dunia, kampusnya masuk jajaran top universitas dunia, kunjungan wisatawan asingnya membludak, dan masih banyak lagi. Singapura menjadi madu yang menarik bagi masyarakat berbagai bangsa untuk datang dan makin memajukan negeri yang luasnya setara kota Surabaya ini.
Pembaca yang baik, saya mendapatkan informasi ini dari membaca buku tulisan Lee Kuan Yew berjudul From the Third Word to The First. Buku setebal hampir 800 halaman ini sarat dengan pelajaran yang sangat menarik bagi siapapun. Apalagi bagi Anda yang berkarya di sektor publik. Pelajaran tentang manajemen yang sangat detail, komprehensif, masif dan efektif dalam menjadikan setiap persoalan yang muncul sebagai pemicu kemajuan. Masalah pernikahanpun menjadi senjata bagi perbaikan negeri. Yang seperti ini tentu tidak akan muncul kecuali didasari niat yang lurus. Menjadi pejabat untuk memperbaiki negeri. Menjadi pejabat aparat negara murni untuk memperbaiki masyarakat. Bukan untuk mencari kembalian dana kampanye, memperkaya diri, jaim, “menggergaji” proyek pemerintah, memberi kesempatan kepada anak istri dan kolega untuk menggerogoti kekayaan negara, mendapatkan fasilitas kunker ke luar negeri, memiliki rekening gendut puluhan milyar secara ilegal, memanipulasi pajak, jual beli perkara, dan sejuta hal hal negatif lain. Bukan seperti negeri tetangga Lee Kwan Yew….. Hehehe……
Tulisan Iman Supriyono ini pernah dimuat di majaah BAZ, terbit di Surabaya dengan judul “Bukan Seperti Negeri Tetangga”
Wah, idenya boleh juga. Jadi pilih2 dong pak iman. :).
hahaha….monggo monggo
Wah bagus juga ide nya. …memberi sports ma cewek yg gila n lupa sama karier …ya ir cepat nalanin sunah nya Rosulluloh SAW.
heheheeh…tengyu….mga bermanfaat!
Negeri tetangga, oh negeri tetangga… ternyata itu rumah kita.
Negeri tetangga…oh negeri tetangga, ternyata itu rumah kita.
hehehehe…..mari kita baikkan “negeri tetangga” itu
Sangat inspiratif. Tapi, kurang setuju dengan statemen militernya disegani. Betul negeri Singa ini punya kualitas Alutsista yg modern. Kalau toh ada yang menyegani, itu karena di belakang Singapura ada Inggris, bapak-nya negara-2 persemakmuran. Menggempur Singapura berarti harus siap dikeroyok Inggris dan negara-2 mantan jajahannya. Kalau soal kualitas milternya, kita bangga aja dengan tentara merah putih. Dengan senjata yg ketinggalan jaman, tapi bidikkannya tak kalah dengan tentara Singapura. Itu tampak saat mereka latihan tempur bersama. Apalagi, masih ingatkan, ketika latihan wajib milter aja, ada satu di antaranya yang bawa ransel “babu” yg diimpor dari negeri tetangganya. Usul saya, sebaiknya jangan menggambil contoh dari perstasi orang-2 kafir, masih banyak kok contoh dari umat muslim yang berprestasi. Misalnya, Uni Emirat Arab, dll, yg punya prestasi moncer kayak Singapura.
maturnuwun. kalo dengan analis militer yang satu ini…saya ndak berdaya untuk membantah. hehehehe….saya tentang UEA moga saya segera dapat info menariknya untuk jadi bahan tulisan
coment ke tiga nih, luar biasa..!!
siip! tengyu. moga bermanfaat. senang kalo tulisan ini di share ke kawan2 lain
dan akhirnya para perempuan yang tidak sarjana tidak akan pernah mendapatkan suami yang mempunyai strata pendidikan lebih tinggi …
hahaha…..makanya harus kuliah…..heheheh
kapan ada Lee Kuan Yew di Indonesia??? 🙂
sekarangpun bisa tinggal ngundang aja…heheheh
Alhamdulillah…istriku juga sarjana he..he..he..
Kalau di negeri kita banyak pemuda yang nikah dengan wanita yang pendidikannya di atas dia. Berarti harusnya generasi negeri kita jauh lebih baik dari negeri tetangga. Tapi pada kenyataannya?? Apa yang salah??
kalo gitu berarti banyak pemuda sarjana yang ndak dapet jodoh hehehe
Sip, pak. Tulisanne menyentuh.
Kabar-kabarnya Lee Kuan Yew itu alumni SMP 3 Surabaya ya? He… heheh… hehehee….
wah….brarti kakak kelase bojoku rek….