Pasti Pas


Pasti Pas

Oleh Iman Supriyono, konsultan pada SNF Consulting, http://www.snfconsulting.com

Jujur saja, saya tidak bisa menerima perlakukan seperti itu. Inilah kalimat yang meluncur dari seorang kawan, biasa dipanggil Yanto. Mendengar kalimat itu, muncul pertanyaan di pikiran saya. Lho…kalo begitu informasi inforamsi yang disampaikan sebelumnya tadi tidak jujur ya? Kalimat yang tadi tipu tipu? Hanya yang terakhir saja yang jujur?

Ia pun merenung. Ekspresi wajahnya penuh tanya. Demi menjawab kegalauannya, saya pun menjelaskan kembali. Secara akal sehat, penggunaan kata “jujur saja” pada awal sebuah kalimat akan secara otomatis menempatkan kalimat lain (yang tidak diawali dengan kata “jujur saja”) menjadi ungkapan tidak jujur.

Penjelasan lain? Misalkan saja ada sepuluh gadis di sebuah ruangan. Jika Anda menyebut Si A dan Si B cantik, secara otomatis akal sehat akan menerjemahkan bahwa 8 gadis lain (selain si A dan si B) tidak cantik. Misalkan ada sepuluh menu di meja makan. Jika Anda menyebut menu A dan B pedas, itu sama artinya dengan menunjukkan bahwa menu lain (selain A dan B) tidak pedas.

Dengan penjelasan itu, kawan tadi sedikit demi sedikit berubah. Mengapa sedikit demi sedikit? Wajar. Tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah menajdi kebiasaan. Si kawan selama ini memang terbiasa menggunakan kata “jujur saja” pada kalimat kalimat yang dianggapnya penting. Saat saya menulis artikel ini, kawan ini sudah berubah. Tidak lagi menggunakan kata “jujur saja” sebagai pembuka kalimat kalimatnya.

■■■■

Pembaca yang sadar energi, akhir akhir ini Pertamina lagi rajin mengkampanyekan sertifikasi Pasti Pas untuk SPBU-SPBU yang menjual produknya. Sebagian SPBU sudah memasang papan bertuliskan PASTI PAS. Sebagian yang lain, bahkan mungkin sebagian besar, belum.

Konsumen yang membeli BBM di SPBU Pasti Pas dijamin. Ditanggung bahwa ia akan menerima BBM dengan volume persis seperti uang yang dibayarkannya. Tidak kurang dan tidak lebih. Pas. Pasti Pas.

Bagaimana dengan SPBU yang belum tersertifikasi Pasti Pas? Dengan menggunakan logika “jujur saja” sebagaimana bagian awal tulisan ini, bagaimana dengan pembelian di SPBU lain? Akal sehat akan mengatakan sebaliknya. SPBU yang pasti pas akan diberi tanda. SPBU ini berbeda dengan SPBU lain yang tidak bertanda Pasti Pas. Logika sederhana sama dengan mengatakan bahwa SPBU lain tidak pas. Tidak dijamin bahwa seorang pembeli akan menerima BBM persis seperti uang yang dibayarkannya.

Atau bahkan bisa ditangkap lebih ekstrim lagi. Selama ini, semua SPBU Pertamina tidak pas. Beberapa SPBU yang berminat (dan mau membayar biaya sertifikasi) diberi pelatihan dan SOP tertentu untuk menjual BBM pasti pas. Yang sudah memenuhi syarat diberi sertifikat Pasti Pas. Yang lain? Akal sehat Anda akan menjawabnya dengan baik.

Bagaimana? Betulkah demikian? Para pengkonsep sertifikasi Pasti Pas yang bisa menjawabnya dengan persis. Mungkin saja mereka tidak menyadari konsekuensi akal sehat dari sertifikasi Pasti Pas ini bagi SPBU lain. Persis seperti yang tidak disadari oleh Si Yanto dengan kata “jujur saja” di depan.

Maka…ada baiknya memikirkannya kembali. Merenungkan kembali dalam dalam. Bahkan bila perlu dilakukan riset. Survai tentang persepsi konsumen SPBU. Bandingkan antara persepsi terhadap SPBU bersesrtifikat Pasti Pas dan yang belum bersertifikat. Bahkan perlu pula membandingkan dengan SPBU asing yang juga mulai beroperasi di negeri ini. Tentu kita tidak ingin melihat BUMN energi milik orang se-Indonesia ini lambat laun dipecundangi di negeri sendiri. Butuh akal sehat untuk mewujudkannya. Bu Karen….Halo….! Pertamina….Halo….! Halo…..! Halo…!

tulisan ini pernah dimuat di situs Indonesia Energy ‘Watch

3 responses to “Pasti Pas

  1. Belajar menedidik calaon konsumen,,mempertahankan image atau mengembalikan image???

  2. mas Iman dan man Medhi, sebenarnya telah banyak bukti bahwa masyarakat Indonesia itu kecerdasannya sangat berlian.
    Dan sertifikasi baik itu berbentuk branding atau piagan, merupakan tanda hasil survei dari suatu lembaga yang membuatnya telah menyatakan bahwa produk yang akan dijual ke konsumen telah sesuai ukuran layak atau yang distandarkan.
    Maka peran lembaga sertifikasi adalah pelindung konsumen apabila pengawasan dilakukan dengan benar. Yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tentu saja pemerintah atau instansi yang terkait. Mestinya pemerintahlah yang melakukan pengawasan baik sebelum produk dipasarkan, maupun setelah produk beredar di pasar. Sayangnya, sampai kini lembaga yang ada masih kurang perannya. Bahkan tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk pengawasan post-market. Konon, Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Kementerian Perdagangan hanya mengawasi produk-produk yang wajib menerapkan standart atau dalam kategori SNI. Sampai saat inipun kita belum pernah mendengar adanya suatu institusi yang pernah menemukan pelanggaran SNI wajib, serta tindakan apa yang diambilnya. Baik tindakan tegas dan penegakan hukum menjadi sangat penting apabila pemerintah benar-benar ingin melindungi masyarakatnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s