Ini adalah pertanyaan masa depan yang menarik bagi PLN pasca blackout awal Agustus 2019 ini. Saya akan membahasnya berdasar data yang tersedia di SNF Consulting, perusahaan tempat saya berkarya. Tentu saja pembahasannya dari sudut pandang strategic management, bidang yang digeluti consulting firm berbasis di Jalan Pemuda, Surabaya itu. Saya akan membahasnya dengan format poin-poin. Link-link pada sekujur pembahasan ini penting Anda baca sebagai bagian tak terpisahkan dari tulisan ini. Link-link tersebut akan mengarahkan Anda pada tulisan saya sebelumnya di imansu.com ini. Selamat menikmati

Para penumpang berjalan di terowongan bawah tanah menuju stasiun terdekat MRT Jakarta saat black out awal Agustus 2019. Gambar dari papamuda.com
- Walau sahamnya 100% masih dipegang oleh pemerintah RI, tetapi secara legal PLN adalah berbadan hukum perseroan terbatas. Tentu bukan badan hukum yang ideal. Didalamnya pasti ada fenomena pseudo CEO. Bahkan bisa jadi malah pseudo company. Tetapi dengan segala keterbatasannya, tetap saja analisis yang paling tepat adalah berdasarkan pada kondisi PLN sebagai sebuah perusahaan
- Ada tiga komponen aset utama PLN dalam menjalankan fungsinya menyediakan aliran listrik yaitu: pembangkitan, transmisi dan distribusi. Berdasarkan catatan laporan keuangan akhir 2018, aset PLN untuk ketiga komponen utama itu masing masing adalah Rp 557 triliun, Rp 125 triliun dan Rp 196 triliun.
- Pertanyaannya, apakah ketiga komponen tersebut sudah cukup? Mari tinjau dari rencana stratejik PLN yang tertulis dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019-2018. Dokumen tersebut menyebut bahwa tujuan dan lapangan usaha PLN adalah menyelenggarakan usaha penyediaan listrik bagi kepentingan umum (1) dalam jumlah dan mutu yang memadai (2) serta memupuk keuntungan dan melaksanakan penugasan pemerintah di bidang ketenagalistrikan dalam rangka menunjang pembangunan (4) dengan menerapkan prinsip-prinsip perseroan terbatas (5).
- Terkait dengan peristiwa blackout di wilayah Jakarta dan sekitarnya, isu terpenting dari tujuan PLN adalah tujuan nomor 2 yaitu mutu yang memadai. Jumlah tidak perlu didiskusikan karena kapasitas terpasang pembangkitan sudah melebihi kebutuhan
- Black out seperti yang baru terjadi adalah masalah dan risiko besar. Aktivitas masyarakat kacau balau. MRT berhenti di tengah-tengah terowongan 40 meter di bawah tanah dan sebagainya. Maka, inilah risiko yang paling besar terkait dengan mutu.
- Bagaimana PLN mengelola resikonya bisa dibaca dari dokumen RUPTL tersebut. Terdapat 9 risiko yang telah diidentifikasi yaitu: risiko perencanaan tambahan kapasitas infrastruktur ketenagalistrikan (1), risiko pada proses pengadaan proyek (2), risiko pendanaan proyek (3), risiko eksekusi proyek (4), risiko penyediaan energi primer (5), risiko produksi/operasi (6), risiko regulasi (7), risiko bencana (8), dan risiko lingkungan (9).
- Risiko yang terkait dengan black out adalah risiko produksi/operasi (nomor 6) dan risiko bencana (nomor 8).
- Risiko produksi/operasi dijabarkan menjadi 4 yaitu kekurangan atau kelangkaan energi primer (1), kerusakan peralatan/fasilitas operasi karena peralatan sudah tua, pembangunan dipercepat dalam rangka fast track program, penggunaan teknologi baru, penggunaan pemasok baru (2), risiko kehilangan fasilitas produksi/operasi terutama karena pencurian (3), dan kesalahan manusia dalam mengoperasikan peralatan/fasilitas
- Blackout tidak disebut secara eksplisit. Hanya menjadi bagian jabaran risiko produksi/operasi yaitu kerusakan peralatan. Inilah masalah pokoknya. Sesuatu yang berakibat fatal tidak diidentifikasi secara cukup dalam dokumen rencana stratejik jangka panjang PLN. Masalah pokok ini harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum bicara angka-angka yang menjadi ciri khas analisis SNF Consuting yang dipublikasikan di imansu.com
- Semestinya, blackout menjadi pembahasan eksplisit. Paling tidak, identifikasi harus menyebut logika dasar bahwa selama ini fasilitas pembangkitan pemasok utama listrik adalah berada di Jawa bagian timur. Sedangkan pengguna besarnya adalah di kawasan Jakarta dan Jawa bagian barat. Kedua lokasi tersebut dihubungkan dengan jaringan transmisi. Jaringan transmisinya pun hanya satu jalur yaitu yang melalui semarang. Mestinya secara logika ini adalah faktor risiko sangat besar. Kejadian blackout yang baru lalu adalah risiko logis yang sangat mungkin terjadi walaupun beberapa sumber menyebut peluangnya hanya nol koma nol nol nol nol sekian persen.
- Jadi, dalam waktu dekat PLN mesti segera merevisi RUPTL ini dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten. Kantor tempat saya beraktivitas misalnya, SNF Consulting, memiliki kapasitas untuk membantu perbaikan ini
- Dari menemukan kelemahan RUPTL sebagai rencana stratejik di atas, mari kita lihat posisi keuangan PLN. Sebagaimana disebut di atas, aset pembangkitan sudah bukan merupakan isu penting karena kapasitas terpasang sudah melebihi kebutuhan. Aset distribusi juga bukan isu karena kalaupun terjadi masalah efeknya hanya parsial di wilayah yang sempit. Isu besar terkait black out adalah pada aset transmisi yang sebesar Rp 125 triliun. Sebesar inilah nilai seluruh jaringan transmisi saat ini.
- Untuk mitigasi risiko black out, yang paling sederhana adalah membangun jaringan transmisi back up total dengan nilai kurang lebih sama yaitu Rp 125 triliun. Jika ini dilakukan, PLN akan mempunyai dua jalur transmisi untuk semua jalur yang ada. Termasuk jalur utama timur barat. Manfaatnya, jika terjadi gangguan total pada sistem transmisi, dengan mudah tinggal di-switch ke jalur transmisi cadangannya.
- Pertanyaannya, mampukah PLN membangunnya? Posisi kas dan investasi jangka pendek PLN per 31 Desember 2018 adalah Rp 35 triliun. Angka ini saya kira sudah mepet untuk kebutuhan kas operasional mengingat beban usaha PLN dalam setahun 2018 adalah Rp 308 T. Arus kas operasional 2018 juga menunjukkan kebutuhan pembayaran kepada pemasok Rp 256 triliun, pembayaran karyawan 21 triliun, pembayaran bunga Rp 20 triliun. Tiga item penting aliran kas keluar operasional tersebut total menyedot Rp 297 triliun. Artinya, persediaan kas hanya setara dengan kebutuhan pengeluaran 1,4 bulan. Kondisi ini akan mengakibatkan direksi PLN terkejar-kejar urusan arus kas.
- Secara rangkuman, arus kas dari operasional tahun 2018 adalah Rp 35 triliun. Arus kas digunakan untuk operasi adalah Rp 100 triliun. Kondisinya minus sehingga tahun 2018 dibutuhkan dana dari pendanaan (tambahan utang) sebesar Rp 56 triliun. Pergerakan kas ini mengakibatkan posisi kas akhir 2018 turun Rp 9 triliun dibanding tahun sebelumnya.
- Jika mengikuti pola selama ini, satu-satunya pintu tambahan dana untuk pengadaan fasilitas transmisi back up sebesar Rp 125 triliun sebagaimana di atas adalah dari menambah utang.
- Secara rasio utang terhadap ekuitas (DER), PLN masih berada pada angka 0,6. Dengan tambahan utang Rp 125 triliun untuk membangun fasilitas transmisi back up di atas utang akan menjadi Rp 690 dan DER akan menjadi 0,74. Secara rasio ini masih aman.
- Namun demikian masalahnya ada pada arus kas. Jika penambahan utang dilakukan, kondisi arus kas PLN akan semakin mepet. Direksi akan makin sibuk berpikir urusan arus kas keseharian. Terkuras hanya untuk urusan yang sebenarnya sepele. Dan akan ada risiko besar wanprestasi dalam membayar kewajiban sampai pada risiko tuntutan pailit oleh kreditur. Tentu ini sangat berbahaya
- Alternatifnya adalah dengan menambah modal disetor Rp 125 triliun. Sebagai badan hukum PT yang menyetor bisa pemegang saham existing yaitu pemerintah. Bisa juga pemegang saham baru. Mampukah pemerintah? Tentu saja ini akan menambah defisit APBN yang selama ini memang diprogram menganga dan ujung-ujungnya pemerintah juga akan menambah utang. Terlalu beresiko juga jika dilakukan dengan mencetak uang.
- Bagaimana jika yang menyetor selain pemerintah? Peluangnya besar. Dengan laba Rp 12 T (pembulatan) dan menjanjikan investor ROI sebesar 2,5% per tahun misalnya, PLN cukup menerbitkan 26 % saham untuk mendapatkan Rp 125 triliun.
- Angka ROI 2,5% per tahun ini saya kira cukup menarik karena dengan ROI tersebut seluruh saham PLN (nilai PLN sebagai perusahaan) hanya Rp 480 triliun. Hanya 51% dari nilai buku ekuitas yang Rp 927 triliun. Dengan demikian, pembeli justru mendapatkan disagio alias diskon. Bukan membayar agio sebagaimana layaknya proses korporatisasi. Artinya, angka penerbitan saham baru berpotensi jauh lebih kecil dari 26% tersebut
- Namun demikian, penerbitan saham baru seperti itu (melalui proses IPO di lantai bursa) membutuhkan keputusan politik di dewan. Tentu ini tidak mudah. Tetapi secara logika ini jauh lebih baik dari pada membiarkan risiko black out tidak dimitigasi yang cukup. Atau dimitigasi tetapi dengan dana utangan baik oleh PLN maupun oleh pemerintah yang juga menimbulkan risiko baru berupa kepailitan bagi PLN. Masyarakat akan mudah menerimanya kecuali yang memang mindset-nya adalah raja utang atau cuek dengan risiko black out.
Bagaimana? Sudah jelas kan jawaban terhadap pertanyaan di judul tulisan ini? PLN mampu dengan catatan seperti di bagian akhir poin-poin di atas. PLN Bisa mencapai zero black out. Tentu kita tidak bisa membebankan eksekusinya ini kepada CEO atau direksi mengingat fenomena pseudo CEO yang jamak terjadi di BUMN. Bagaimana pendapat Anda?
*)Artikel ke 214 di imansu.com ini ditulis di SNF Consulting House of Management pada dini hari tanggal 6 Agustus 2019 oleh Iman Supriyono, konsultan dan CEO SNF Consulting, http://www.snfconsulting.com, twitter/telegram/instagram @imansupri
Alhamdulillah. syuper inspiratif skali P Iman. smg menjadi masukan pln. tks
Maturnuwun Pak Heru apresiasinya. Moga bermanfaat. Aamin
“Yang paling sederhana adalah membangun jaringan transmisi back up total dengan nilai kurang lebih sama yaitu Rp 125 trilyun “.
Apa yakin solusinya selalu dengan membangun jaringan transmisi baru? Belajar seluk beluk rekayasa ketenaga listrikan dulu ya baru nulis panjang lebar.
Salam.
Ronaldo David
Tx komentarnya
Ping-balik: BPJS Kesehatan: Berat! | Catatan Iman Supriyono