Mengapa riset di perguruan tinggi kita mandul? Mengapa hanya menghasilkan dokumen di rak-rak perpustakaan atau link internet yang hanya dibaca secara terpaksa oleh para mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi? Mengapa hasil risetnya tidak bisa dinikmati masyarakat luas? Mengapa anggaran penelitian kita kecil? Ini adalah daftar pertanyaan menarik seputar riset dan hasil-hasilnya. Saya akan menjawabnya dalam bentuk poin-poin
- Paling tidak ada lima penjelasan untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Penjelasan pertama, riset itu membutuhkan sumber daya antara lain berupa keahlian, waktu, fasilitas (laboratorium, sumber pustaka, dll), dan sebagainya. Semuanya mengandung angka finansial.
- Segala sesuatu yang membutuhkan sumber daya finansial tidak akan bisa berjalan secara berkelanjutan kecuali bisa terjadi putaran. Uang kembali menjadi uang yang terus-menerus. Gambaran sederhana, sebuah warung makanan di kampung akan bisa hidup berkelanjutan jika sumber daya berupa tenaga pemiliknya, uang yang dipakai untuk membeli kompor dan segala fasilitas warung, maupun bahan baku bisa kembali dari penjualan makanan. Kembali dengan nilai lebih besar. Output lebih besar dari pada input. Sebagian dari hasil yang lebih besar itu kemudian kembali dibelikan sumber daya bahan dan tenaga untuk menghasilkan makanan yang siap dijual lagi dan menghasilkan lagi.
- Selisih antara output dengan seluruh sumber daya input inilah yang menarik bagi pemilik warung yang menjadikan yang bersangkutan akan senang untuk terus-menerus menjalankan warungnya sampai kapan pun.
- Sebaliknya, jika selisihnya justru negatif, input lebih besar dari output, maka si pemilik mungkin masih bisa bertahan beberapa waktu. Tetapi jika selisih minus itu terjadi lama maka yang bersangkutan juga tidak akan kuat dan menutup warungnya.
- Demikian juga riset. Riset yang membutuhkan sumber daya bernilai finansial tetapi tidak bisa mendatangkan hasil secara finansial lama-lama tidak akan dilakukan lagi oleh perisetnya. Tentu saja ada perbedaan rentang waktu antara warung makanan dengan riset. Bila jarak antara input dengan output warung hanya hitungan jam atau hari. Untuk riset jaraknya bisa panjang bertahun-tahun bahkan lintas dekade atau lintas abad. Tetapi pendek atau panjang semuanya bisa dihitung secara matematika finansial.
- Penjelasan kedua, edukasi riset kita hanya memandang periset sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Kisah tentang Thomas Edison misalnya di sekolah-sekolah hanya diajarkan Edison sebagai seorang peneliti secara pribadi. Tidak dijelaskan tentang konteks yang sangat penting yaitu bahwa riset Edison tidak bisa dipisahkan dari perusahaan besar bernama General Electric. Perusahaan yang dikenal dengan singkatan GE itu didirikan pada tahun 1892 oleh Edison saat usianya 45 tahun. GE tumbuh dan eksis hingga kini dan beroperasi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Mestinya anak-anak sekolah diajak berkunjung ke pabrik General Electric saat ada pelajaran tentang Thomas Edison.
- Penjelasan tentang Thomas Edison selama ini juga dilepaskan dari JP Morgan Chase. Perusahaan keuangan yang berdiri tahun 1799 dan dalam sejarahnya pernah membiayai perusahaan yang didirikan oleh Thomas Edison. JP Morgan Chase kini adalah perusahaan terbesar ke-2 di dunia berdasar laba, omzet, aset dan nilai seluruh saham. GE saat ini adalah perusahaan terbesar ke-389 dunia. Mestinya, mempelajari sejarah Thomas Edison juga satu paket dengan mempelajari sejarah GE dan JP Morgan Chase.
- Dengan demikian para pelajar dan mahasiswa akan faham bahwa riset itu tidak bisa dipisahkan dari dunia bisnis dan proses korporatisasi. Perusahaan terkorporatisasi lah yang menjadikan hasil riset Edison bisa dinikmati masyarakat luas melalui proses marketing. Disamping membiayai, JP Morgan juga jadi endorser marketing. JP Morgan adalah perusahaan pertama yang kantornya sepenuhnya menggunakan penerangan lampu pijar karya Edison di New York pada tahun 1882. Thomas Edison sendiri yang melakukan penyalaan pertama lampu tersebut.
- Penjelasan ketiga, bahwa riset itu adalah investasi jangka panjang dan demikian tidak bisa dilakukan kecuali dengan cost of capital yang rendah. Ini juga yang tidak dipahami oleh para pelajar kita. Saat saya mengikuti mata kuliah Ekonomi Teknik di jurusan teknik mesin ITS misalnya, analisis cash flow selalu didasarkan pada cost of capital berupa bunga bank yang rate-nya tinggi (sekitar 12%) plus kewajiban mengembalikan pokok dalam jangka pendek (maksimum 5-10 tahun alias pengembalian pokok sebesar 10-20% per tahun). Tidak ada riset yang memenuhi kelayakan dengan cost of capital 22-32% per tahun seperti ini.
- Itulah mengapa yang mampu melakukan riset adalah perusahaan-perusahaan terkorporatisasi. Hanya cara ini yang memungkinkan perusahaan melakukan riset dengan syarat kelayakan cost of capital sekitar 1-3% per tahun. Angka itu adalah dividen yang dituntut investor perusahaan-perusahaan terkorporatisasi.
- Sebagai gambaran, L’oreal adalah salah satu contoh perusahaan yang sangat produktif dalam riset. Pada tahun 2017 perusahaan kosmetik terbesar dunia ini mendaftarkan 498 hak paten alias rata-rata 2 paten setiap hari kerja. Prestasi riset ini sudah merupakan tradisi tahunan L’oreal.
- Ini bisa dilakukan karena cost of capital (secara cash flow) bagi L’oreal adalah 1,55% per tahun. Artinya, sebuah riset akan disebut layak jika hasilnya kemudian bisa dijual di pasar berbagai negara dan mendatangkan hasil lebih dari 1,55% per tahun. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di negeri ini yang mindsetnya raja utang sehingga harus membayar cost of capital secara cash flow sebesar 22-32% per tahun seperti penjelasan di atas. Tidak juga bisa dilakukan oleh negara secara leluasa karena sumber dana negara juga utang. Setali tiga uang dengan perusahaan-perusahaannya.
- Keempat, riset hanya dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan prinsipal alias pemilik merek. Astra International misalnya walaupun merupakan perusahaan besar dan terkemuka di negeri ini, tidak akan bisa melakukan riset seperti L’oreal. Astra bukan perusahaan prinsipal. Selama ini yang dilakukan adalah menjual produk dengan merek milik perusahaan lain atau menjual komoditas. Risetnya sudah dilakukan perusahaan yang produknya dijualkan oleh Astra seperti Toyota, Honda, Komatsu dll.
- Perusahaan yang bukan prinsipal juga tidak akan menarik bagi investor. Investor Astra International misalnya saat ini menuntut ROI sebesar 10% per tahun. Angka ini diperoleh dari kebalikan dari angka price earning ratio (PER) Astra yang sebesar 10,14. Artinya, dana hasil penerbitan saham baru Astra hanya bisa digunakan untuk berinvestasi jika mampu menghasilkan imbal hasil di atas 10%. Bandingkan dengan investor L’oreal yang hanya menuntut ROI 3% karena PER nya 32,62. Itulah mengapa Astra tidak bisa melakukan riset seperti L’oreal. Kondisi ini adalah akibat dari pilihan kebijakan strategis Astra yang terjebak pada fenomena perusahaan “banci”. Terombang ambing antara investing company dan operating company. Berbeda dengan L’oreal yang full operating company.
Sejarah penemuan bola lampu listrik oleh Thomas Edison tidak bisa dilepaskan dari sejarah General Electric dan JP Morgan Chase sebagai perusahaan
- Kelima adalah konsekuensi logis dari penjelasan sebelumnya. Tidak adanya kebutuhan dan kemampuan riset perusahaan-perusahaan di negeri ini berakibat tidak digunakannya potensi riset di kampus-kampus. Perusahaan yang kebutuhan risetnya tinggi akan menggandeng periset kampus untuk menghasilkan temuan-temuan baru sesuai dengan bidang bisnisnya. Dana riset mengalir ke Hasil riset terjual oleh kemampuan perusahaan. Ada simbiosis mutualisme antara kampus dan perusahaan terkorporatisasi. Sekitar 30% pendapatan Harvard University misalnya berasal dari riset. Tentu konsumennya adalah perusahaan-perusahaan di USA seperti GE di atas. Ini yang tidak terjadi di Indonesia
Itulah penjelasan mengapa riset kita tidak bergairah dan mandul. Bagaimana solusinya? Ya tinggal membalik 5 penjelasan bersifat negatif itu menjadi positif. Anda sudah tidak ragu kan? Nah…sekarang saatnya mengeksekusi sebagai bentuk mental ilmiah. Bukan mental jahiliah. Agar kita tidak jadi bangsa tuna riset. SNF Consulting siap membantu.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
**)Artikel ke-215 imansu.com ini ditulis di kabin kereta Bima Surabaya-Malang pada tanggal 7 Agustus 2019 oleh Iman Supriyono, konsultan dan direktur SNF Consulting, konsultan korporatisasi untuk perusahaan Anda.
Ping-balik: Direktur & Komisaris: Rancunya Peran Stratejik & Administratif | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: SNF Consulting: Peran Sosial & Pembiayaannya | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: SNF Consulting: Peran Kemasyarakatan & Pembiayaannya | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Perusahaan Berkemajuan: Toyota | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Endowment Fund Alumni: Peran Besar | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jean Paul Agon: CEO & Kultur Perusahaan Kelas Dunia | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Ironi Buy Back OJK: Dekorporatisasi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: SNF Consulting: Budaya, Peran Kemasyarkatan & Pembiayaannya | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporasi Nasionalis Pancasilais | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: SunRice: Korporasi Beras dari Negeri Gandum | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Akibat Buta Sejarah: Bangsa Pembantu | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Haramnya PT: Kesalahan Argumentasi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Direktur & Komisaris: Rancunya Peran Stratejik & Administratif – SNF Consulting
Ping-balik: N250 & Kemustahilan Habibie | Korporatisasi