Isu mobil nasional (mobnas) tidak pernah sepi dari perhatian. Bukan hanya sekarang. Sejak jaman Pak Harto pun demikian. Demikianlah karakter isu bisnis jika bercampur dengan nasionalisme. Plus bercampur dengan politik. Makin seru.
Tetapi sebagai penulis manajemen yang terus bekerja mengedukasi masyarakat, saya melihat ada celah positifnya. Kepedulian publik terhadap Esemka bisa menjadi pintu masuk untuk edukasi. Publik peduli. Lalu membaca. Sebagai penulis saya menyediakan konten manajerial yang benar. Publik pun faham. Dan itulah yang nanti dalam jangka panjang akan menjadi bahan bakar pertumbuhan bisnis dan ekonomi bagi negeri ini. Termasuk mobil nasional.

Toyota Kijang kotak: tidak bisa disebut mobil nasional karena menggunakan merek Toyota. Gambar dari http://www.gridoto..com
Nah, bagaimana sebenarnya tentang mobil nasional ini? Mengapa kita selalu gagal hingga saat ini? Mengapa Esemka juga (bisa dipastikan) gagal sebagai mobnas? Bagaimana solusinya? Saya akan menjawabnya dengan benchmark perusahaan-perusahaan terbaru yang sukses muncul sebagai “mobnas” di negaranya masing masing. Tesla dan Hyundai. Selamat menyimak
- Perusahaan produsen mobil bisa dibagi menjadi dua: prinsipal dan non prinsipal
- Ciri prinsipal: menjual dengan produk yang didesain sendiri dengan merek sendiri. Desain ini mencakup seluruh, sebagian besar, atau paling tidak pada suku-suku cadang utama
- Yang tidak memenuhi syarat itu tidak disebut prinsipal. Astra International misalnya walaupun memproduksi dan menjual mobil dan motor dengan jumlah jutaan unit per tahun tetapi tidak bisa disebut prinsipal. Yang dijual adalah mobil merek Toyota atau Daihatsu. Motornya merek Honda. Toyota, Daihatsu dan Honda lah yang menjadi prinsipal. Astra membayar royalti kepada mereka
- Apa akibatnya jika merek sendiri tetapi tidak mendesain sendiri? Tentu saja harus izin kepada perusahaan lain yang memiliki desain tersebut dan harus membayar royalti. Ujung-ujungnya akan meningkatkan harga jual. Produk tidak akan kompetitif di pasar
- Komponen mobil ada banyak. Ribuan. Masing-masing harus diproduksi massal. Produksi massal butuh minimum kuantitas. Paling tidak sekitar 30 ribu biji.
- Karena akan diproduksi massal maka riset dan pengujian untuk desain ribuan suku cadang tersebut harus memadai. Agar tidak ada cacat produksi yang merugikan baik secara finansial maupun bagi persepsi pasar kelak ketika produk dilepas ke pasar
- Dengan demikian, tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menjadi perusahaan prinsipal. Contoh perusahaan prinsipal mobil terbaru adalah Tesla dari USA. Posisi aset Tesla pada laporan tahun terakhir (2018) adalah USD 29,7 milar alias Rp 416 triliun. Padahal sampai saat ini Tesla “hanya” punya empat tipe mobil yaitu Roadster, Model X, Model Y dan Model 3. Artinya, untuk satu tipe mobil dibutuhkan aset sekitar Rp 104 triliun
- Uang sebesar itu tidak bisa diperoleh dari utang. Karena jika utang cost of capitalnya terlalu tinggi dan tidak bisa menderita kerugian belasan tahun seperti yang terjadi pada Tesla.
- Tesla berdiri tahun 2003. Meluncurkan tipe pertamanya, Roadster, pada tahun 2008. Butuh waktu 5 tahun untuk berdiri, melakukan riset sampai bisa menjual produk ke pasar. Tentu ini semua butuh uang dengan pendapatan nol.
- Sampai usianya yang ke 15 tahun yaitu tahun 2018 Tesla masih menderita kerugian walaupun penjualan terus meningkat. Tahun 2018 omzet Tesla adalah USD 21,4 miliar (Rp 300 triliun) dengan menjual 191 ribu unit. Omzet meningkat 83% dari tahun sebelumnya. Tahun 2017 juga meningkat 68% dari tahun sebelumnya.
- Dengan penjualan sebesar itu, tahun 2018 Tesla masih membukukan rugi sebesar USD 1,062 miliar alias Rp 15 triliun. Akumulasi kerugian Tesla sejak berdiri adalah USD 5,3 miliar alias Rp 74 triliun. Bagaimana tahun ini? tahun depan? Apa sudah laba? Kita tunggu saja laporannya
- Kerugian seperti itu tidak mungkin dilakukan jika duit Tesla diperoleh dari utang. Yang mungkin hanya dari setoran modal para pemegang saham. Para investor jangka panjang. Mereka tidak seperti bank. Mereka tidak minta bunga. Juga tidak minta pengembalian uang pokok. Hanya berharap dividen dan meningkatnya nilai saham (value) kelak pada masa depan
- Apakah investor (pemegang saham Tesla) tidak takut rugi? Tidak. rugi bagi investor sudah diperhitungkan dan sudah dimitigasi. Mereka adalah investment company dengan dana kelolaan yang besar. Pemegang saham terbesar Tesla adalah Baillie Gifford dengan 15,9%. Urutan berikutnya adalah adalah Fidelity, Price T Rowe, Vanguard, dan Morgan Stanley. Total ada 901 perusahaan. Semuanya adalah investment company. Plus jutaan investor individual.
- Investment company hanya mengalokasikan sekitar 0,1-0,3% dari dana kelolaan untuk ditanam di perusahaan start up seperti Tesla. Itupun disebar ke berbagai start up. Yang 99,7-99,9% ditanam di perusahaan-perusahaan yang sudah mapan yang tiap tahun laba dan membagikan dividen. Billie Gifford misalnya dana kelolaannya adalah USD 262 miliar alias sekitar Rp 3 677 triliun. Nilai saham di Tesla kini sekitar Rp 77 triliun. Tentu saja nilai saat masuk tidak sebesar itu.
- Hubungan antara Tesla dengan banyak investment company ini membentuk pola yang saya sebut sebagai korporatisasi
- Itulah pengalaman Tesla menjadi prinsipal mobil. Nanti mungkin akan ada pertanyaan. Tesla kan mobil listrik? Esemka kan bukan mobil listrik? Jawabnya: mobil listrik atau mobil BBM itu hanya masalah satu komponen inti: motor penggerak. Yang lainnya sama. Itulah kenapa dalam dokumen resmi perusahaan Tesla tidak memposisikan diri bersaing di pasar mobil listrik. Tesla memposisikan diri bersaing di pasar mobil secara keseluruhan. Pesaing Tesla adalah Ford, General Motor, Honda, Toyota, Hyundai dan perusahaan-perusahaan prinsipal mobil lainnya. Realitas bisnis dan pasar memang menuntut yang seperti ini
- Tesla tampil sejak awal memposisikan diri sebagai perusahaan prinsipal mobil. Konsekuensinya rugi pun ditanggung. Investor hingga saat ini masih percaya walaupun sudah 15 tahun tetap rugi. Inilah kuncinya. Bagaimana memiliki konsep bisnis yang jelas, masuk akal dan prospektif dalam hitungan investor.
- Pertanyaannya, tidak adakah cara lain untuk menjadi prinsipal selain seperti cara Tesla? Saya kira saat ini ini adalah satu-satunya alternatif yang mungkin. Berbeda dengan dulu saat Hyundai memulai bisnis yaitu tahun 1967.
Hyundai bisa menjadi pelajaran bagi cita-cita mobil nasional
- Hyundai muncul sebelum era internet. Dimulai dengan memproduksi Ford Cortina yang mulai dipasarkan tahun 1968. Sebelum era internet, orang belum bisa mendapatkan informasi dengan mudah bahwa yang dibuat Hyundai sebenarnya adalah lisensi dari Ford. Maka Hyundai masih bisa menjual mobil lisensi tersebut dengan sukses
- Hasil kesuksesan mobil lisensi kemudian digunakan untuk investasi menjadi prinsipal. Tahun 1976 diluncurkan Hyundai Phony. Pasar domestik bisa diraih. Bahkan tahun itu juga Hyundai sudah mengekspor produknya sebagai perusahaan prinsipal mobil ke Ekuador. Hyundai sukses merintis bisnis prinsipal mobil dengan lisensi sebagai awalan
- Bisakah cara Hyundai dilakukan saat ini? Tidak bisa. Saya tidak ragu sama sekali dengan jawaban ini. Mengapa? Karena internet begitu mudahnya. Munculnya meme perbandingan antara mobil Pick Up Esemka dengan mobil Changan adalah the power of internet. Bahkan masyarakat dimanapun bisa tahu bahwa Changan ditawarkan melalui internet. Harga terpampang dengan jelas. Ini merupakan iklan negatif Esemka akibat era internet dan media sosial
- Itulah mengapa Tesla hadir dengan cara baru. Seperti dulu juga dilakukan oleh prinsipal pendahulunya semisal Toyota atau Ford. Hadir dengan hasil desain dan riset sendiri sejak awal. Hadir di pasar dengan keunggulan milik sendiri sejak awal
- Bagaimana dengan Timor, Maleo, Bimantara, Perkasa, Fin Komodo dan terakhir Esemka? Timor, Bimantara dan Esemka polanya adalah seperti Hyundai. Sebagaimana penjelasan di atas, cara ini tidak bisa dilakukan di era internet dan media sosial. Hanya cocok di era Hyundai.
- Bersama dengan Hyundai sebenarnya kita ada Astra yang memproduksi dengan lisensi Toyota. Bedanya, setelah sukses memproduksi dan menjual mobil Toyota Astra tidak beranjak dari posisi penerima lisensi. Astra tidak melakukan riset dan desain untuk meluncurkan mobil dengan merek sendiri. Ini tidak bisa dipisahkan dengan proses korporatisasi Astra yang mandeg. Ini perbedaannya dengan Hyundai. Hyundai melakukan proses korporatisasi seperti Tesla untuk mendapatkan modal jangka panjang dalam jumlah besar dengan cost of capital yang rendah.
- Perkasa sudah hadir dengan merek, riset dan desain sendiri. Bahkan sudah diproduksi. Tetapi kehabisan nafas karena tidak membuka kran sumber modal melalui korporatisasi seperti Tesla. Ingat, satu modal mobil butuh modal yang dalam pengalaman tesla sekitar Rp 104 triliun
- Maleo hadir dengan merek sendiri lengkap dengan risetnya. Tetapi belum pernah sampai ke pasar. Tentu ada masalah modal juga di dalamnya
- Bagaimana dengan Fin Komodo? Perusahaan besutan alumni ITS dan IPTN ini sudah hadir ke pasar dengan strategi niche marketing. Mengambil bagian dari segmen kecil berupa mobil off road dengan merek dan hasil riset sendiri. Produk sudah diterima pasar. Ini adalah strategi yang sudah tepat. Tinggal mau atau tidak melakukan langkah selanjutnya: mendatangkan modal besar seperti yang dilakukan oleh Tesla
- Jika tidak mau, kondisinya tidak akan berbeda jauh dengan almamater pendirinya: IPTN. Unggul dalam riset dan SDM, tetapi tidak ada modal yang cukup. Sepanjang saya naik pesawat, belum pernah ketemu sekalipun pesawat produk IPTN atau PTDI di bandara. Apalagi naik. Berbeda nasib dengan perusahaan sebayanya: Embraer. Embraer kini adalah produsen pesawat komersial terbesar ke-3 di dunia. Hanya kalah dengan Airbus dan Boeing.
- Bagaimana dengan upaya Pak Dahlan Iskan di bidang mobil listrik beberapa waktu lalu? Yang dilakukan baru sebatas riset awal. Perusahaannya pun belum terbentuk. Apalagi sampai memikirkan dana ratusan triliun seperti Tesla. Masih jauh.
- Walaupun seumur dan sama sama berdiri sebagai BUMN, PTDI berbeda dengan Embraer. Bedanya adalah pada proses mendatangkan modal besar dengan cost of capital rendah yaitu korporatisasi. Embraer melakukan. PTDI tidak
Bagaimana, sudah mendapatkan gambaran bagaimana mewujudkan mimpi mobil nasional dengan cara yang tepat? Republik ini memanggil para pelaku industri permobilan untuk tampil seperti Elon Musk di Tesla. Semoga cak Ibnu Susilo dari Fin Komodo terpanggil. Tentu saja harus didukung oleh perusahaan investasi seperti Saratoga yang juga melakukan proses pembesaran terus-menerus. Republik ini juga memanggil Anda siapa saja dengan profesi apa saja untuk berperan menjadi investor. Munculnya perusahaan investasi besar seperti Baillie Gifford tidak mungkin tanpa budaya investasi masyarakat. Ayo sambut panggilan Republik ini sesuai posisi kita masing-masing. Saya dan SNF Consulting mengedukasi masyarakat melalui tulisan dan menyiapkan para pelaku bisnis dan perusahaan investasi melalui layanan konsultasi manajemen. Anda siap?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
*)Artikel ke 223 ini ditulis di Kota Pahlawan pada tanggal 10 September 2019 oleh Iman Supriyono, konsultan senior dan CEO SNF Consulting
Saya salut, dengan tulisan tersebut diatas…
Terima kasih apresiasinya. Moga bermanfaat
Munculnya Perusahaan investasi sekelas Baillie Gifford, Saratoga, Vanguard, Fidelity, dll butuh effort dgn memperbesar lebih dulu Produk Domestik Bruto dan income per kapita. Dan ini msh diupayakan pemerintah jika public welfare makin meningkat, dihaarapkan budaya investasi semakin kencang.
tidak perlu nunggu. saat ini duwit iddle masyarakat di bank ada sekitar 7 ribu triliun. itu saja diconversikan ke ekuitas melalui IC
Kalau gagasan Gus Mardigu bossman menurut Pak Iman , bagaiamana.
Cetak uang besar, bikin produk, ada pembeli.. Uang dibakar.. 🙏🏐
Ping-balik: N250 & Kemustahilan Habibie | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Start Up & OFO Bike: Bakar Uang, Pailit, Exit Strategy | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Entrepreneur, Jangan Bangga Disebut Owner! | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Entrepreneur, Jangan Bangga Disebut Owner! – SNF Consulting