Pendidikan, kesehatan, ekonomi. Itulah tiga pilar Muhammadiyah. Pilar pendidikan sudah sangat mapan. Ada lebih dari 150 perguruan tinggi. Ada ribuan sekolah berbagai tingkatan di seluruh Indonesia. Bahkan juga di negara-negara lain. Walaupun tidak ada hubungan struktural organisatoris, sekolah Muhammadiyah di Singapura misalnya sudah sangat mapan. Saya pernah datang dan berdiskusi panjang dengan pengelola sekolah di kawasan Geylang tersebut.
Sebagaimana karakter Muhammadiyah, pendidikan juga bersifat non profit. Lembaga pendidikan menerima pendapatan dari uang sekolah para siswa dan pendapatan-pendapatan lain. Pendapatan digunakan untuk membiayai operasional sekolah seperti gaji guru, perawatan bangunan, kebersihan dan lain lain. Selisih antara seluruh pendapatan dengan seluruh beban biaya ini disebut laba alias profit. Sifat non profit maksudnya adalah bahwa profit yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak boleh diambil oleh siapapun. Tidak boleh ada seperti apa yang dalam badan hukum PT disebut dividen.
Pilar kesehatan bagai Muhammadiyah juga telah memliki sejarah panjang. Belakangan memang rumah sakit bisa berbadan hukum PT. Artinya laba dari penyelenggaraan rumah sakit bisa diambil oleh pemegang saham sebagai dividen. Tetapi karena tetap boleh berbadan hukum non profit maka rumah-rumah sakit Muhammadiyah tetap bisa melayani masyarakat. Bahkan terus berkembang dimana-mana. Di Jawa Timur saja ada lebih dari 30 rumah sakit.
Pilar ketiga adalah ekonomi. Ini adalah sesuatu yang baru bagi Muhammadiyah. Karakternya berbeda dari dua pilar sebelumnya. Pendidikan dan kesehatan bersfat non profit, ekonomi bersifat profit. PT adalah badan hukum yang paling banyak berperan dalam produksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat luas. Laba dari sebuah PT adalah hak pemegang saham dan bisa diambil dalam bentuk dividen.
Perbedaan karakter inilah yang menuntut proses pembelajaran bagi Muhammadiyah. Prosesnya pun tidak mudah. Bank Persyarikatan misalnya, adalah contoh kegagalan proses pembelajaran yang traumatis. Kegagalan Bank Persyarikatan saat itu bahkan berisiko menyeret para pimpinan Muhammadiyah ke meja hijau. Memang masalah bisa terselesaikan dengan baik. Tidak sampai ke pengadilan. Tetapi efek traumanya masih terasa hingga saat ini.
Kegagalan jaringan mini market Markaz juga bagian dari proses pembelajaran itu. Saya sempat membaca buku panduan operasional Markaz yang sangat lengkap. Sebagai orang konsultan manajemen, saya menilai konsep itu sudah sangat memadai. Tetapi masalah utamanya bukan konsep itu. Markaz pun gagal. Namanya tinggal kenangan.
$$$
Masjid Universitas Muhammadiyah Gresik menjelang Dhuhur. Datang ke masjid memenuhi panggilan adzan bukan hal istimewa. Saya berusaha menjaganya dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi kali ini tidak biasa. Saya menempuh perjalanan lebih dari 30 km untuk mencapai masjid itu. Keistimewaan itu datang karena sebuah nama: Afghon Anjasmara. Biasa dipanggil Pak Afghon. Ya. Kedatangan saya di masjid kawasan GKB itu adalah untuk ikut sholat jenazah almarhum Pak Afghon yang meninggal sehari sebelumnya.

Afghon Anjasmara, berbaju putih, bersama anak buahnya di PT DMU. Foto koleksi DMU
Pak Afghon adalah direktur pertama PT Daya Matahari Utama. Saham perusahaan yang juga dikenal dengan nama DMU itu sepenuhnya dimiliki Muhammadiyah. Sebuah perusahaan yang didirikan dengan semangat untuk membangun pilar ketiga oleh PWM Jawa Timur.
Sebagai direktur pertama DMU, Pak Afghon adalah orang yang secara langsung terjun memimpin proses pembelajaran Pilar ketiga. Bekalnya tidak kurang. Sebelumnya Pak Afghon lama menjadi direktur utama salah satu anak perusahaan PT Semen Indonesia. Jadi, tentang pernak-pernik bagaimana menjalankan sebuah perusahaan bukanlah hal baru bagi Pak Afghon.
Mas Mufid, salah satu anak buah Pak Afghon di DMU menceritakan bagaimana pak Afghon bekerja. Sebagaimana peran direktur pada umumnya lelaki asli Gresik itu menjalankan dua tugas kedirekturannya dengan baik. Tugas stratejik maupun tugas administratif.
Tugas stratejik direktur adalah bagaimana perusahaan yang dipimpimnnya eksis. Sebagai perusahaan baru tentu tugas ini tidak mudah. DMU harus bekerja keras bangkit dari beban sejarah PT Daya Matahari Jatim (DMJ). DMJ adalah besutan PWM Jatim yang berakhir dengan kerugian. Dari posisi itulah Pak Afghon memulai membangun eksistensi DMU. Bukan dari nol. Tapi dari minus.
Eksistensi secara teknis artinya perusahaan memperoleh laba. Inilah yang dikerjakan oleh Pak Afghon dengan baik. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang bertebaran di Jawa Timur digarap sebagai captive market. Seragam sekolah, buku, alat tulis dan aneka kebutuhan sekolah menjadi bidikan awal. DMU pun sukses memperoleh laba sejak tahun-tahun awal kehadirannya di dunia bisnis.
Tugas administratif direktur adalah mengelola, mencatat dan membukukan setiap pergerakan aset perusahaan. Mencatat satu demi satu. Tidak boleh ada satupun yang terlewat. Akuntansi menjadi alatnya. Mas Mufid menceritakan betapa telaten dan sabarnya Pak Afghon mengajari anak buahnya yang nol pengalaman. Laporan keuangan pun bisa diterbitkan sesuai standar akuntansi.
Pak Afghon meletakkan dasar peran DMU sebagai sebuah holding company. Contoh bagus dari konsep ini adalah apa yang dilakuan oleh Harvard Management Company (HMC). Berbeda dengan operating company, holding company tidak menjalankan operasional perusahaan. Tidak memproduksi barang ataupun jasa. Tidak juga memperoleh pendapatan dari produk tersebut. Pendapatannya berasal dari investasi aset yang dimilikinya. Sebagian besar asetnya adalah berupa saham di berbagai perusahaan lain.
Menangkap peluang captive market sekolah-sekolah memang bukan aktivitas sebuah holding company. Tetapi tanpa ini maka DMU tidak akan eksis sebagai perusahaan. Tidak ada uang untuk menggaji karyawan. Tidak ada laba untuk bekal menjadi sebuah holding company alis investment company. Meletakkan dasar inilah yang telah dilakukan dengan sangat baik oleh Pak Afghon.

Infus Emjebe dari PT Emjebe Pharma, salah satu investee PT DMU sebagai pilar ketiga Muhammadiyah yang dirintis oleh Almarhum Afghon Anjasmara
Apakah dasar itu telah cukup kuat? Pak Abdullah Smith membuktikannya. Setahun setelah ditinggalkan Pak Afghon, direktur kedua DMU ini memulai peran sebagai holding company. DMU masuk sebagai pemegang saham Emjebe Pharma pada tahun 2015. DMU menyetor dengan 500 lembar saham masing-masing berharga Rp 10 juta. Total Rp 5 miliar. Saat itu total saham Emjebe adalah 5000 lembar sehingga posisi DMU adalah pemegang saham 10%.
Perusahaan yang digawangi dedengkot infus pak Bambang Koestoyo itu berkembang begitu pesat. Pengalamannya lama sebagai tangan kanan Otsuka adalah jaminan. Otsuka adalah raja infus dunia. Bahkan sebelum 15 tahun di perusahaan Jepang itu, Pak Bambang juga sudah malang melintang di Colgate Palmolive, Corning Glass, Johnson & Johnson dan lain-lain. Pendek kata, Emjebe adalah pilihan tepat bagi DMU. Sebagai investing company aktivitas keseharian adalah memilih dan memasukkan dananya sebagai saham di perusahaan investee seperti Emjebe itu.
Holding company harus memilih perusahaan yang melakukan korporatisasi secara terus-menerus. Setelah DMU masuk, MJB masih terus menerbitkan saham baru untuk ekspansi. Tentu masuknya pesaham baru harus membayar agio saham yang lebih besar. Harga saham terus naik. Penerbitan saham terakhir Emjebe sudah pada harga Rp 25 juta. Sudah naik 2,5 x lipat dari harga saat DMU masuk. Artinya, investasi DMU di Emjebe nilainya sudah naik menjadi Rp 12,5 milyar. Ada capital gain Rp 7,5 milyar dalam waktu 4 tahun.

Korporatisasi: konsep pilar ketiga butuh keterbukaan para pengusaha Muhammadiyah untuk melakukan korporatisasi pada perusahaan yang didirikannya
Nilai total Emjebe berdasarkan harga penerbitan saham terakhir adalah Rp 192 miliar lebih. Lima ratus lembar saham DMU adalah setara dengan kepemilikan 6,5%. Beginilah investee DMU. Terus tumbuh dengan korporatisasi. Meningkatkan omzet, laba, pendapatan dan nilainya. DMU sebagai investor menikmati capital gain dan hak atas laba yang makin meningkat.
Siapa pembeli infus Emjebe? Dengan kualitasnya yang standar Eropa, pesaing Otsuka ini punya keunggulan di pasar. Rumah-rumah sakit mana pun kenal standar itu. Potensinya masih sangat besar termasuk di rumah-rumah sakit Muhammadiyah dimana-mana.
Ayah saya sempat beberapa kali dirawat di RSI Madiun. Infus di RS milik Muhammadiyah itu belum menggunakan Emjebe. Ini adalah potensi pasar yang luar biasa bagi Emjebe. Pak Bambang akan terus memimpin ekspansi untuk bisa menangkapnya. Tentu dengan modal berskema korporatisasi. Terus-menerus menerbitkan saham. Kelak 500 lembar saham DMU tidak lagi setara dengan 6,5%. Prosentase akan terus turun. Tetapi nilai akan makin meningkat lagi. Karakter investment company memang maunya persentase Tidak menaruh telor pada satu keranjang. Mempercayakan sepenuhnya pengelolaan pada manajemen investee sesuai tata kelola perusahaan modern.
$$$
Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah Pak Muhammad Nadjikh juga punya kesan mendalam tentang pak Afghon. Saat Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah mengembangkan mini market Markaz, bersama Pak Nadjikh Pak Afghon mengumpulkan modal untuk mendirikan sebuah gerai Markaz. Pah Afghon berkontribusi sekitar 150 juta dari kebutuhan investasi Rp 500 juta. Saat itu Pak Nadjikh belum memimpin Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah.
Sebenarnya mendirikan Markaz bagi Muhammadiyah memang tidak tepat. Markaz adalah operating company. Mestinya investing company seperti DMU. Seperti HMC-nya Harvard. Ketidaktepatan ini berbuntut bubarnya Markaz. Investasi pribadi pak Afgon bersama pak Nadjikh melayang. Tetapi hilangnya uang ini adalah bukti nyata dukungan pak Afghon bagi pilar ketiga Muhammadiyah. Dukungan dengan jiwa dan harta sekaligus.
Selepas sholat jamaah dhuhur siang itu, pak Afghon dilepas oleh keluarga, handai taulan, dan para sahabatnya melalui prosesi sholat jenazah yang singkat tetapi bermakna dalam. Saya dan Pak Smith berada di shaf-shaf yang memenuhi masjid kampus itu. Mendoakan untuk Pak Afghon. Menguatkan diri agar mampu melanjutkan apa yang telah dirintis Pak Afghon sebagai orang pilar ketiga. Agar DMU menjadi investment company yang sekelas HMC. Yang pendapatan dividennya mampu menopang sebagian besar biaya layanan pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah. Agar kaum lemah bisa bersekolah dan berobat secara gratis dengan layanan terbaik. Agar menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir bagi Pak Afghon sebagai orang pilar ketiga. Aamin.
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
*)Artikel ke-222 ini ditulis oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting. Tulisan juga dimuat di Majalah Matan edisi September 2019, terbit di Surabaya
Ping-balik: DMU Sebagai Investing Company: Connecting the Dots | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pak Nadjikh: Obituari Untuk Sang Komandan Esksekusi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Wardah, Dahlan Iskan & Konsolidasi Kosmetik Nasional | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Intangible Asset Persyarikatan | Korporatisasi