KFC Rugi Karena Boikot?


KFC Indonesia di bawah naungan PT Fast Food Indonesia Tbk. membukukan rugi Rp 558 miliar sepanjang 9 bulan pertama tahun ini. Omzetnya pun turun 22% dari periode yang sama tahun lalu. Tahun lalu Rp 4,61 triliun tahun ini tinggal Rp 3,59 triliun.

Bagi perusahaan resto, mengoperasikan gerai mestinya menghasilkan laba untuk biaya kantor pusat. Ini tidak terjadi pada KFC. Mengoperasikan ratusan gerai justru menghasilkan rugi Rp 17 miliar. Maka, biaya umum dan administrasi kantor pusat Rp 572 miliar pun makin menggerus nilai ekuitas perusahaan. Per akhir September  tinggal Rp 262 miliar. Jadilah utang yang Rp 3,56 triliun setara 13,6 kali ekuitas. Sebuah angka rasio utang yang sudah sangat amat berbahaya bagi perusahaan manapun. Idealnya rasio utang terhadap ekuitas adalah sekitar angka 1.  

Dengan kondisi seperti di atas, di berbagai diskusi media sosial muncul pendapat bahwa memburuknya kondisi franchisee Yum! Brands ini adalah dampak dari munculnya fenomena boikot terkait dengan perang di Gaza, Palestina. Benarkah demikian? Mari kita telusuri lebih lanjut.

Pada laporan keuangan teraudit 2023, omzet perusahaan yang di lantai bursa dikenal dengan kode FAST ini adalah Rp 5,94 triliun. Naik 1% dari tahun 2022 yang sebesar Rp 5,86 triliun. Tapi kenaikan ini tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan bebagai beban. Perusahaan yang didirikan oleh keluarga Gelael ini menderita rugi Rp 418 miliar. Rugi jauh lebih dalam dari rugi pada tahun 2022 sebesar Rp 77 miliar.

Tahun 2022 secara umum bisnis sudah menggeliat dari dampak pandemi. Ketika itu omzet FAST juga naik 21% dari tahun sebelumnya yang Rp 4,8 triliun. Kerugian pun sudah menipis dibanding tahun 2021 yang Rp 297 miliar.

Sebelum pandemi, tahun 2019 omzetnya adalah Rp 6,7 triliun. Ketika itu perusahaan membukukan laba Rp 241 miliar. Tapi tahun 2020 omzet langsung anjlok menjadi Rp 4,8 triliun karena pandemi. Perusdahaan pun rugi Rp 377 miliar. Tahun 2021 masih belum beranjak dari dampak pandemi. Omzet Rp 4,8 triliun dan perusahaan membukuka rugi tahun berjalan Rp 377 miliar.

Jika dirangkum, total rugi tahun berjalan sejak tahun 2020 sampai triwulan ketiga tahun ini adalah Rp 1,87 triliun. Inilah yang menggerogoti ekuitas dari posisi Rp 1,67 triliun pada akhir tahun 2019 menjadi Rp 262 miliar pada akhir September 2024. Rasio utangnya melonjak dari angka ideal 1 menjadi 13,6 kali. Sebuah tanda bahaya yang sangat amat nyata.

&&&

Membaca data di atas, bagaimana pendapat Anda? Apakah KFC Indonesia menderita kerugian akibat seruan boikot terkait perang di Gaza? Andai saja tahun-tahun sebelum perang perusahaan ini menghasilkan laba, bisa jadi sinyalemen itu betul. Tapi data mengatakan lain. Perusahaan sudah mencatatkan kerugian jauh sebelum perang Gaza. Jadi ada penyebab lain yang sudah terjadi jauh sebelum perang Gaza. Apa itu?

Mari kita lihat pesaingnya yang merek lokal. Misalnya saja adalah CFC. Merek lokal yang juga sudah tercatat di lantai bursa ini 3 triwulan pertama 2024 membukukan omzet Rp 517 miliar, naik 13% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 457 miliar. Omzet tersebut berbuah laba Rp 17 miliar. Naik lebih 2 kali lipat lebih dari Rp 7 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Sepanjang tahun 2023 omzetnya Rp 624 miliar. Naik 12% dari tahun sebelumnya yang Rp 556 miliar.  Labanya Rp 18 miliar. Naik 80% dari tahun sebelumnya yang Rp 10 miliar.

Nah, dengan pembanding merek lokal tersebut, bisa dikatakan bahwa KFC kalah bersaing dengan merek lokalBelum lagi munculnya Recheese yang juga mengusung menu ayam krispi. Berbeda dengan CFC, Recheese bahkan di berbagai lokasi benar-benar head to head dengan KFC. Tampilan gerainya sebesar dan sementereng KFC. Harga menu juga kurang lebih setara dengan KFC. Tentu saja ini sangat berdampak terhadap KFC.

Bagaimana nasib KFC selanjutnya? Itulah tantangan manejemen perusahaan manapun. Kemapanan di pasar dalam jangka panjang bisa terkalahkan oleh pemain-pemain baru. Merek global yang bergengsi bisa kalah oleh pemain lokal. Tidak ada yang abadi di dunia bisnis. Pembaca yang baik, Anda sudah mendapatkan pelajaran?

Artikel ke-467 karya Iman Supriyono ditulis di SNF Consulting House of Management untuk Majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi Desember 2024

Baca juga:
Merger dan Akuisisi Adalah Transaksi RPD
Merger dan Akusisi: Mengapa Ekonomi Kita Dikuasai Asing
Merger Gojek Tokopedia
Valuasi dan Merger Tokopedia
Merger dan Akusisi BUMN
Filosofi Merger Akuisisi

Tinggalkan komentar