Memfotokopi Saratoga


Sejuknya udara pagi menemani langkah kaki saya dari City View Hotel menuju Masjid Raya Al Akbar, Sorong.  Tidak sampai tiga ratus langkah. Hotel itu memang sangat dekat  dengan masjid terbesar di kota multikultural itu. Dan itulah yang menjadi alasan saya untuk memilih hotel ini selama kunjungan ke kota di “kepala burung” pulau Papua ini.

Sebagaimana biasa, begitu memasuki masjid, tujuan pertama saya adalah kotak infak. Saya sudah mempersiapkan uang untuk itu. Tidak terlalu banyak. Hanya dua puluh ribu. Tapi saya menjaga agar setiap ke masjid untuk salat jamaah lima waktu, selalu bersiap uang untuk infak. Kebiasaan ini muncul setelah saya baca sebuah artikel tentang pajak.

Kok tentang pajak? Iya. Saya pernah membaca sebuah artikel bahwa masjid butuh biaya. Biaya listrik, air, kebersihan, depresiasi dan sebagainya. Bisa dihitung kira kita berapa beban yang harus ditanggung oleh seseorang yang memanfaatkan fasilitas masjid untuk salat. Maka, orang yang tidak membayar infak saat ke masjid artinya dia sedang ditraktir oleh orang lain yang membayar infak lebih. Dan tentu saja yang orang yang mentraktir lebih baik dari pada y ang ditraktir. Logika serupa juga sama untuk fasilitas umum berupa jalan jembatan keamanan dan lain-lain yang semua ditanggung oleh pajak.

Setelah dari kotak infak, saya langsung menuju barisan terdepan. Masih banyak ruang kosong di situ. Beberapa orang sudah melakukan salat sunah. Saya pun segera menyusul.

Saya menganggap salat sunah antara azan dan iqamat sangat penting. Mengapa? Karena antara azan dan iqamat adalah saat mustajab doa. Saat di mana doa akan dikabulkan oleh Allah Azza wa jalla. Apalagi jika doa itu dipanjatkan saat sujud yang juga saat mustajab doa. Maka, saya selalu berusaha di mana pun agar bisa hadir di masjid untuk bisa salat sunah antara azan dan iqamah. Di mana pun.

&&&

Kopi kapal api pagi itu nikmat sekali. Saya menyeruputnya di teras.  Masjid berkubah warna perak ini memang menyediakan dispenser air panas dan aneka kopi saset di terasnya. Para jamaah bisa menikmatinya sewaktu waktu. Saya memilih kopi kapal api karena itu merupakan satu-satunya kopi hitam yang tersedia. Untuk kopi ideal saya memang kopi hitam tanpa gula. Jika tidak ada yang tanpa gula paling tidak adalah kopi hitam. Kapal api saya pilih dengan alasan ini.

Yang lebih nikmat bukan kopinya. Tapi dengan siapa ngopinya. Pagi ini mendapatkan teman ngopi luar biasa. Namanya Sulaksono. Panggilannya Laks. Dia adalah pendiri Laks Capital. Saya ngobrol dengan dia karena yang bersangkutan adalah pembicara kuliah subuh di pagi itu. Dan yang menarik, topiknya adalah tentang dana abadi alas dana wakaf masjid. Sebuah topik yang baru di sini walau di negara-negara maju sudah menjadi hal yang biasa.

Maka, selepas kuliah subuh, saya langsung datangi dia dan memperkenalkan diri. Saya kenalkan tentang Karponak, perusahaan bakso yang saya dirikan dan saya pimpin. Saya ceritakan juga kedatangan saya ke Sorong adalah dalam rangka proses masuknya Karponak untuk mendirikan gerai-gerai bakso di kota ini. Saya sampaikan pula bahwa Karoponak sudah biasa menerbitkan saham baru melalui skema private placement. Dan Laks juga mengatakan bahwa sebagai investment company perusahaan yang didirikannya juga sudah bisa masuk sebagai pemegang saham berbagai perusahaan melalui skema yang sama. Klop.

Maka pembicaraan di teras masjid pagi itu benar-benar gayeng. Laks menceritakan perjalanan bisnisnya sampai pada titik di mana Laks Capital memiliki aset investasi sebesar sekitar 5 triliun rupiah. Sebuah nilai yang cukup besar untuk ukuran Indonesia.

&&&

“Laks Capital didirikan dari dua reruntuhan bisnis mas Karpo”

Demikian Laks memulai menceritakan asal muasal bisnisnya.

“Tahun 90 saya mengikuti tes beasiswa STAID. Ini adalah program pak Habibie. Sebagai anak desa, saya sangat ingin menjadi orang seperti pak Habibie. Karenanya saya ikuti seleksi itu. Saya belajar habis-habisan tiap hari sejak masuk SMA negeri di Nganjuk, sebuah kabupaten di Jawa Timur. Karena orang tua single parrent, maka saya belajar secara mandiri. Tidak ada kursus. Untuk belajar bahasa Inggris  misalnya, saya membuat klub bahasa inggris di SMA. Anggotanya adalah kawan-kawan sesama peminat bahasa Inggris. Kegiatannya hampir tiap hari ngerumpi satu jam setelah selesai pelajaran sekolah. Ngrumpinya di kantin, musala, taman atau di mana saja di sekolah. Tapi dipastikan dengan bahasa Inggris”

“Untuk belajar matematika, fisika, dan kimia saya mengoleksi soal-soal latihan yang banyak sekali. Saya fotokopi soal-soal dari kawan-kawan. Saya beli soal-soal di pasar buku bekas. Pinjam buku kakak kelas. Atau saya catat dari soal-soal di buku teman-teman. Tiap hari saya kerjakan paling tidak lima soal dengan bab yang acak. Semua soal saya selesaikan dengan membaca teorinya. Begitu tiap hari sejak kelas satu. Singkat kata, saya diterima kuliah di Nanyang Technological Institute, Singapura, tahun 1990 di jurusan Teknik Elektro. Betapa bangganya saya dan ibu ibu. Anak desa Jatirejo, Nganjuk, kuliah di kampus mentereng di negeri Singa. Beasiswa pak Habibie lagi”

“Tahun pertama proses belajar lancar. Semua target-target akademis maupun kegiatan ekstra kurikuler yang dibebankan ke saya sebagai mahasiswa tahun pertama tercapai. Saya bekerja keras siang malam untuk itu. Saya tidak mau drop out. Juuga tidak mau dikeluarkan dari asrama jika target ekstra kurikuler tidak tercapai”

“Tahun kedua saya  lalui dengan lancar pula. Tapi ada sebuah kejadian yang membuat nasib berubah 180 derajat. Menjelang ujian akhir tahun kedua, saya mengalami kecelakaan saat kegiatan olah raga. Saya terjatuh dan mengalami cedera otak parah. Sebagian besar memori saya hilang. Dan karenanya saya harus rela melepas kampus kebanggaan. Saya pun pulang ke kampung halaman di Nganjuk dengan perawatan dari ibu. Setahun lebih saya tidak ada aktivitas apapun selain fokus pada terapi cedera otak”

“Begitu kondisi membaik, saya berpikir lagi tentang apa yang bisa saya lakukan untuk hidup saya. Cita-cita menjadi insinyur elektro pupus. Tapi masih ada sedikit ketrampilan yang pernah saya pelajari di kampus negeri singa itu. Maka, berbekal beberapa unit personal computer, saya mendirikan kursus komputer di kawasan Darmawangsa, Surabaya. Namanya Laks Computer. Saya memilih Surabaya karena tentu saja pasarnya lebih luas. Apalagi Darmawangsa banyak mahasiswa Unair dan tidak terlalu jauh dari ITS. Pasar yang empuk. Di samping saya juga tidak ingin membebani ibu di rumah. Saya menyewa sebuah rumah”

“Singkat cerita, kursus saya sukses. Jaman itu memang komputer termasuk barang baru. Tahun 1995 saya punya uang tabungan Rp 400 juta. Bayangkan ketika itu harga nasi pecel di Surabaya masih Rp 150 seporsi. Sudah punya uang sebesar itu”

“Dengan kesuksesan itu, saya pun mulai menolong beberapa teman. Salah satunya teman dari Lamongan yang dulu saya kenal saat SMA sama-sama menjadi peserta lomba pelajar teladan tingkat jawa timur. Saya mewakili kabupaten Nganjuk. Dia mewakili Kabupaten Lamongan”. Ketemu kembali di Darmawangsa karena dia kuliah Unair. Dia melanjutkan bisnis hatchery bandeng orang tuanya di kampungnya”

“Singkat cerita, bisnisnya butuh tambahan modal. Karena teman baik maka saya pinjami uang. Sedikit demi sedikit akhirnya sampai pada angka Rp 200 juta sekian. Pada saat itulah bisnisnya berhenti dan untuk mengembalikan uang saya, dia serahkan bisnis hatchery bandengnya ke saya. Saya pun masuk pada bisnis yang bagi saya hal baru itu”

“Uang tabungan saya yang masih Rp 300 jutaan pun sedikit demi sedikit masuk bisnis baru itu. Karena saya tidak punya keahlian, lama-lama uang tabungan habis. Bisnis baru benar-benar menguras energi. Dan karena sudah kepalang basah, saya pun utang sana sini. Sampai saya akhirnya punya utangRp 500 juta. Dan bisnis hatchery pun akhirnya mati dengan menyisakan utang sebesar itu”

“Saya pun drop. Benar-benar stress. Ngleleng”

“Orang mungkin hanya melihat Laks dari kondisi kesuksesnnya saat ini. Tapi pagi itu saya mendatpatkan cerita bagaimana jatuh bangun Laks di dunia bisnis.”

“Setelah bangkrut, saya banyak melakukan perenungan. Saya mengikuti saran seorang kawan yang pernah mengalami kondisi serupa untuk nglempoh. Nglempoh adalah bahasa jawa yang artinya bertindak seperti orang lumpuh. Menanggalkan semua atribut gengsi, saya kembali ke titik nol untuk kembali berjalan. Saya memulai kembali bisnis kursus komputer yang terbengkalai. Memulai dari titik nol sebagaimana dulu saya memulai bisnis kursus komputer. Mengulang dari nol. Itulah esensi konsep nglempoh. Back to zero

“Tahun 1997 bisnis perlahan jalan kembali. Sedikit demi sedikit utang saya lunasi. Dan saat bisnis kursus komputer habis ditelan perkembangan teknologi IT terbaru, saya masih memiliki beberapa tabungan untuk bertahan hidup. Plus gedung tempat kursus yang sudah terbeli”

&&&

Laks melanjutkan cerita tentang orang tuanya.

“Orang tua adalah seorang petani di lahan warisan kakek saya. Luasnya tidak sampai sehektar. Bapak saya tipe petani yang mau maju. Dia hitung-hitung tidak mungkin jadi orang kaya kalau hanya bertani dengan lahan secuil. Maka, saat saya SMP bapak saya menjual lahan pertanian warisan itu. Uangnya digunakan untuk menyewa lahan seluas sekitar 10 hektar. Masih ada sisa digunakan untuk modal menanam padi pada lahan yang disewanya. Hasil panen dipakai untuk menambah lahan sewa dan seterusnya”

“Saat saya kelas 1 SMA bapak meninggal. Saat itu adik saya masih SMP. Maka ibu lah yang melanjutkan usaha pertanian ayah. Tapi dengan dipegang ibu usaha pertanian meredup. Saat saya lulus SMA lahan pertanian tinggal tidak sampai lima hektar”

“Tahun 2025 ibu saya meninggal. Ada 4 hektar sawah milik ibu ketika itu. Karena kami dua bersaudara, dan saya maupun adik saya tidak mungkin melanjutkan bisnis pertanian ibu, maka sawah itu kami jual. Saya kebagian 2 hektar dan dijual laku Rp 3 miliar. Uang itulah yang saya gunakan untuk mendirikan Laks Capital pada tahun itu juga. Modal setornya Rp 5 miliar. Yang 2 miliar adalah hasil menjual gedung bekas kursus komputer saya yang sudah tidak terpakai. Bisnis kursus komputer sudah almarhum.”

“Sebagai pendiri dan CEO pertama, modal setor itu diinvestasikan dengan portofolio yang juga menjadi standar perusahaan investasi mana pun. Ilmu tentang ini saya peroleh dari banyak membaca di laman korporatisasi.com.  Separuh yaitu Rp 2,5 miliar sebagai saham. Ketika itu Laks Capital masuk pada 4 perusahaan yang sudah pada tahap revenue and proft driver, tahap kelima dalam siklus hidup perusahaan. Sebesar 30% yaitu Rp 1,5 diinvestasikan pada sukuk ORI. Sisanya diinvestasikan pada investasi non saham non obligasi. Umumnya berupa pembiayaan proyek. Termasuk pembiayaan kambing kurban”

Pembicaraan pun diselingi dengan diskusi tentang kopi. Ternyata pak Laks juga penggemar kopi hitam. Pekerjaannya yang menuntut untuk terus pergi ke berbagai tempat selalu diikuti dengan kebiasaannya mengoleksi kopi dari berbagai daerah juga. Termasuk di Papua ini. Kopi papua menjadi standar daftar belanjaannya.

Luar biasa sekali pak Laks ini. Kehadirannya di Sorong ini adalah dalam rangka membantu pemerintah provinsi setempat untuk mengelola tambang minyak yang ada di lepas pantai Sorong. Pak Laks dimintai bantuan Pemprov karena memang selama ini banyak investee pak Laks Capital yang berekspansi bisnis di Sorang. Jadi Pak Laks sering wira-wiri Jakarta Sorong. Jakarta adalah tempat tinggal pak Laks saat ini. Karena kebiasaannya salat jamaah di mana pun berada, maka saat di Sorong akhirnya kenal dekat dengan takmir masjid raya. Dan atas kedekatan itulah akhirnya pagi ini Pak Laks diminta mengisi kuliah subuh tentang pengelolaan dana abadi dari sumber wakaf.

“Terus menerbitkan saham melalu private  placement juga dilakukan oleh Laks Capital. Sejak tahun 2016 Laks Capital melakukan private placement. Investor yang kemudian menjadi pemegang sahamnya banyak dari kalangan sekolah, pesantren, kampus dan masjid-masjid besar. Mereka mengumpulkan wakaf uang dari para donatur. Kebanyakan mereka melakukan setelah mendengar ceramah saya. Karena sejak merintis bisnis kursus komputer di Darmawangsa saya adalah aktivis masjid Nuruzzaman kampus B unair, maka saya banyak dekat dengan banyak pengurus masjid. Dari situlah mereka kemudian membangun aset dana abadi dengan pengelolaan modern seperti yang dilakukan lembaga-lembaga keagamaan di USA. Saya bukan mahasiswa Unair tapi karena banyak pelanggan kursus komputer adalah mahasiswa Unair maka saya dekat dengan para mahasiswa kampus mentereng itu. Termasuk mahasiswa aktivis UKKI di masjid Nurruzaaman”

Pak Laks menceritakan bahwa aktif di masjid Nurruzzaman, ia banyak membina adik-adik mahasiswa yang berminat menjadi entrepreneur. Banyak adik-adik binaan itu yang  kini telah sukses dengan kariernya. Beberapa guru besar. Bahkan ada yang menjadi rektor. Mereka itulah yang juga menjadi investor saat Laks Capital menerbitkan saham baru melalui skema private placement.

“Saat ini aset Laks Capital adalah sekitar Rp 5 triliun. Tentu saja dihitung berdasarkan nilai pasar atas aset-aset investasinya sesuai dengan IFRS. Portofolionya terdiri dari aset saham di berbagai perusahaan senilai sekitar Rp 2,5 triliun. Kemudian sukuk sekitar Rp 1,5 triliun. Dan aset lain-lain termasuk properti yang disewakan senilai sekitar Rp 500 miliar. Selalu dijaga agar komposisinya 50, 30 dan 20”

“Dengan aset seperti itu, tahun ini Laks Capital memperoleh pendapatan dividen dan bagi hasil atas investasi sukuk maupun lain-lain semuanya senilai sekitar Rp 250 miliar. RUPS tempo hari memutuskan bahwa dividen adalah Rp 100 miliar. Hak pribadi saya sekitar Rp 60 miliar karena saya pegang sekitar 60% saham. Yang lainya dibagi kepada sekitar 150 pemegang saham Laks Capital lain sesuai proporsi sahamnya”

“Karena saya meyakini Laks Capital adalah makhluk hukum alias mukallaf dalam bahasa fikih, konsekuensinya  bahwa aset Rp 5 triliun itu bukan milik saya. Tapi  milik Laks Capital. Yang menjadi milik saya adalah lembaran-lembaran saham. Zakat atas aset berupa lembaran saham adalah dikiaskan dengan kebun kurma tanpa pembiayaan pengairan. Maka, tahun ini saya membayar zakat sebesar Rp 6 miliar. Saya sebar ke berbagai lembaga amil resmi. Lumayan saya memperoleh bukti pembayaran yang bisa mengurangi pendapatan kena pajak saya.”

Laks berkisah. Inspirasi di balik Laks Capital dalah Saratoga Investama. Tahun 2024 ini perusahaan besutan Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya itu menerima dividen dari perusahaan-perusahaan investeenya sebesar sekitar Rp 4 triliun. Padalah dulu saat didirikan Edwin dan Sandi hanya menyetor Rp 130 miliar. Sebagian besar asetnya berasal dari tambahan modal disetor yaitu Rp 5 triliun lebih. Uang ini berasal dari selisih antara nilai nominal dan nilai pasar saat penerbitan saham.

Saat saya tanya kemungkinan masuknya Laks Capital pada PT Karponak Dimana Mana yang saya pimpin, dia menyampaikan bahwa selama ini Laks Capital sangat ketat dalam menyeleksi calon investee. Persis seperti yang dilakukan Saratoga. Tiap tahun ada lebih dari 100 proposal masuk ke Saratoga. Tapi yang dijadikan investee tidak lebih dari 2 atau 3 perusahaan saja. Anggapan orang bahwa Saratoga membeli perusahaan buruk untuk diperbaiki dan kemudian dijual lagi itu salah besar. Saratoga hanya pegang saham persentase kecil agar laporan keuangan investee tidak dikonsolidasikan ke Saratoga. Konsolidasi adalah perkara rumit untuk perusahaan dengan investee ratusan seperti Saratoga. Tidak mungkin pemegang saham kecil mengontrol manajemen.

Edwin dan Sandi pendiri Saratoga

Saat saya tanya apa kriteria untuk menjadi investee Laks Capital, dia menyebut ada 8 poin. Pertama adalah bahwa perusahaan telah menemukan RPD (revenue and profit driver) sebagai satuan terkecil pertumbuhan aset perusahaan dan pengaman risiko bagi para investor. Kedua, uang dari investor digunakan untuk scale up pada RPD tersebut. Scale up ditandai dengan pertumbuhan aset jauh lebih besar dari pada laba. Ketiga, perusahaan memiliki road map dengan pertumbuhan aset, omzet, laba par value, book value, market value, intangible asset, dan ROI pemegang saham secara eksponensial. Keempat, perusahaan terus berproses menjalani tahap demi tahap dari 8 tahap siklus hidup perusahaan (corporate life cycle) untuk menjadi korporasi sejati yang memiliki 3 karakter: hadir di pasar lebih dari 100 negara agar dari satu negara rata-rata berkontribusi tidak lebih dari 1% omzet perusahaan, tidak ada pemegang saham pengendali sehingga bisnis murni berjalan sesuai sistem, dan cost of capital 2-3% (per tahun). Kelima, laporan keuangan teraudit oleh akuntan publik yang dipercaya dan ditunjuk oleh para investor yaitu para pemegang saham melalui RUPS. Dalam laporan keuangan teraudit terdapat peran aktuaris. Keenam, skema investasi adalah ekuitas melalui private placement (sebelum IPO) maupun rights issue (setelah IPO) sampai menjadi korporasi sejati. Ketujuh, perusahaan memiliki rencana IPO setelah market value lebih dari Rp 10 T agar terhindar dari IPO Trap. Kedelapan, perusahaan melakukan penghematan dilusi. Artinya, saat menerbitkan saham baru baik private placement, IPO maupun rights issue, perusahaan melakukannya dengan persentase sekecil mungkin untuk mendapatkan uang sesuai kebutuhan ekspansi. Sekali penerbitan saham bisa hanya 2%, 3% atau 5%. Paling banter sekitar 10%. Dengan demikian, titik kritis korporatisasi yaitu saham pendiri hanya 50% dilalui saat sistem manajemen sudah kuat.

Mantab betul. Pak Laks benar-benar memfotokopi Saratoga sebagai awalan. Selanjutnya, seperti yang dia ulang-ulang ceritakan, mau menjadi seperti Larry Fink pendiri Blackrock, perusahaan investasi terbesar dunia dengan aset sekitar Rp 190 ribu triliun. Larry Fink masih setia menjadi CEO dan president pada perusahaan yang didirikannya sampai usia 72 tahun saat ini. Laks tidak mau seperti Sandi yang usia 47 tahun saat aset Saratoga baru Rp 50 triliun sudah meninggalkan perusahaan yang diririkannya. Laks mau sampai akhir hayat tetap setia dengan Laks Capital. Laks ingin memfotokopi Blackrock.

Cerpen ini adalah karya ke-481 Iman Supriyono yang ditulis SNF House of Management, Surabaya, pada tanggal 12 Juli 2025. Cerpen ini adalah sekuel ketiga dari rencana novel korporatisasi.
Baca sekuel sebelumnya:
Si Tukang Bakso Triliuner
Perampok Budiman

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

4 responses to “Memfotokopi Saratoga

  1. Ternyata hanya kisah fiksi

  2. nunggu ada yang masukin ke google vevo untuk jadi video cerita pendek yang penuh inspirasi.

    terima kasih Pak Imam

  3. Ping-balik: Indeks Wakafisasi: Cegah Pendidikan Transaksional | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan ke miss sigi Batalkan balasan