Hud Abdullah Musa: Jangan Lupakan Pesantren


Trowulan, pekan terakhir tahun 2025. Kopi hitam menemani pembicaraan pagi itu. Yang menghidangkan tidak lain adalah Gus Surur, pengasuh Pesantren Hidayatul Mubtadiin Walisongo. Tepatnya berada di dusun Kepiting, desa Temon, kecamatan Trowulan.

Enam tahun proses belajar Gus Surur Kairo menjadikan diskusi tentang dana abadi pesantren pagi itu sangat kaya. Universitas Al Azhar, almamater pimpinan pesantren di kawasan situs Mojopahit itu, adalah kampus yang tidak diragukan lagi dalam hal wakaf. Kampus tertua di dunia itu telah menjadikan wakaf sebagai sumber pendapatan untuk membiayai proses belajar mengajar ratusan ribu mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Para mahasiswa, termasuk Gus Surur ketika itu, bisa belajar tanpa harus membayar uang kuliah sepeser pun.

Yang menonjol dirasakan oleh Gus Surur dari pada dosen di almamaternya adalah keikhlasannya. Mereka mendidik untuk menyebarluaskan ilmu. Tidak ada pamrih finansial. Tidak berharap mahasiswa menjadi sumber finansial bagi kampus. Apalagi bagi dirinya.

Yang menonjol diceritakan oleh Gus Surur dari para mahasiswa Al Azhar adalah takzimnya kepada para dosen. Para mahasiswa dari berbagai penjuru dunia datang untuk belajar dengan semangat tinggi. Setinggi-tingginya. Sementara mereka tahu bahwa kampus dan dosennya tidak menerima sepeser pun uang dari dirinya. Jadilah para mahasiswa benar-benar takzim terhadap para dosen. Terhadap almamaternya.

Pagi itu, Gus Surur menegaskan bahwa Pesantren Hidayatul Mubtadiin Walisongo yang diasuhnya harus seperti Al Azhar. Memiliki aset investasi yang sangat besar. Sebegitu besarnya sedemikian hingga hasil investasinya cukup untuk biaya operasional kampus. Sekali lagi aset investasi, bukan berbisnis. Pesantren adalah institusi pendidikan yang berkarakter sosial. Bukan pelaku bisnis.

&&&

“Iman nanti jangan sampai melupakan pesantren ya”. Ini adalah pesan terakhir Ustadz Hud Abdullah Musa beberapa hari sebelum dipanggil-Nya pada tanggal 14 September 2001. Pesan itu disampaikan kepada saya saat jalan kaki dari rumah beliau menuju ruang kelas di pesantren Persis, Bangil. Beliau menyampaikan sambil beberapa kali menepuk bahu saya. Gaya seorang ayah kepada anaknya. Ketika itu saya adalah guru mata pelajaran fisika dan matematika di Persis Putra.

Interaksi saya dengan pimpinan pesantren sarjana syariah dari Universitas Bagdad itu terbangun sejak tahun awal 90-an. Tepatnya di Masjid Manarul Ilmi ITS. Ketika itu saya dalah aktivis dan pengurus Jamaah Masjid Manarul Ilmi, sebuah unit kegiatan keislaman di kampus teknologi itu. Ustadz Hud adalah salah satu nara sumber utama kajian-kajian di Masjid Manarul Ilmi ketika itu.

Sejak sekitar tahun 1995 saya menjadi berkesempatan mengajar di pesantren yang beliau pimpin. Jadilah interaksi itu makin intens. Apalagi rumah tinggal beliau terletak persis di samping pesantren. Pendidikan dan pengelolaan pesantren tentu saja menjadi topik utama.

Master Sosiologi dari Universitas Islam Karachi itulah yang menandatangani rekomendasi beasiswa S2 saya di Universitas Airlangga. Dengan demikian, peran cucu A Hasan ini tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran metode penelitian sosial yang kemudian saya pakai untuk riset manajemen hingga saat ini.

&&&

Pesan terakhir Ustadz Hud itulah yang menyemangati saya untuk datang ke Pesantren Hidayataul Mubtadiin pagi itu. Riset manajemen yang saya lakukan melalui SNF Consulting mengarahkan saya tentang betapa pentingnya peran dana abadi alias endowment fund alias dana wakaf. Satu sisi akan menjadikan pesantren dan lembaga pendidikan secara umum untuk tidak tergantung pada uang bayaran dari para peserta didik. Sisi lain, endowment fund berkontribusi besar terhadap scale up berbagai perusahaan. Itulah mengapa lebih dari 600 dari 2000 perusahaan terbesar dunia dalam hal omzet, laba, aset dan market value berasal dari USA. Maka, kemandirian pesantren dan institusi pendidikan lain juga akan berdampak pada membesarnya perusahaan-perusahaan di negeri ini. Saat ini hanya 13 dari 2000 perusahan terbesar dunia berasal dari RI.

Penulis bersama Ustadz Hud Abdullah Musa di mushola pesantren Persis Bangil, sekitar tahun 1995

Pesantren Hidayatul Mubtadiin menutup agenda raod show saya ke berbagai pesantren tahun ini.  Tahun-tahun yang akan  yang akan datang insyaallah akan terus berlanjut. Dengan fasilitas SNF Consulting, saya akan terus mendatangi berbagai pesantren untuk mendorong penggalangan dana abadi yang selanjutnya diinvestasikan ke berbagai perusahaan dengan prinsip portofolio modern. Menggelorakan wakaf korporat dari kalangan pesantren dan dunia pendidikan pada umumnya. Terus menjalankan pesan terakhir Ustadz Hud untuk tidak melupakan pesantren. Penggalangan dan pengelolaan dana abadi menjadi fokus perhatian saya. Moga menjadi salah satu amal jariyah beliau. Aamin.

Karya ke-496 Iman Supriyono yang ditulis di kantor pusat SNF Consulting pada tanggal 29 Desember 2025.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Tinggalkan komentar