Iffah: Pembantu Yang Naik Kelas


Kondisi ekonomi Iffah bisa terbaca dari ketidakbisaannya naik sepeda. Keluarganya di desa yang secara ekonomi memang lemah tidak memungkinkannya untuk belajar naik sepeda. Hingga usia menjelang dua puluh tahun saat ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di rumah seorang tetangga saya, ia baru belajar naik sepeda. Belajarnyapun pada salah satu anak saya yang kebetulan juga baru belajar dan bisa naik sepeda. “Jangan takut, pandang ke depan”, itu salah satu “arahan” anak saya kepada Iffah yang sedang belajar naik sepeda.

Dalam keterbatasan ekonomi keluarganya, iffah masih beruntung. Ia sempat menamatkan pendidikannya hingga SMA. Maka, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan ijazah SMA. Bahkan bukan sekedar ijazahnya. Iffah benar benar menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan pembantu rumah tangga pada umumnya. Kemampuan komunikasi dan sosialisasinya bagus. Bukan hanya dengan majikan dan keluarganya. Bahkan dengan para tetangganya pun demikian.

Belum genap dua tahun bekerja sebagai pembantu, kembali iffah menunjukkan ketinggian visinya. Berbekal komunikasi baiknya dengan majikan, Iffah diberi kesempatan untuk melanjutkan jenjang penddiikannya. Kini ia telah terdaftar sebagai salah satu mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Sebagian dari gajinya sebagai pembantu dipakai untuk membayar SPP. Tentu ia tidak perlu membayar uang indekos dan makan. Semuanya tercukupi dari fasilitas standarnya sebagai seorang pembantu. Dan yang sangat memberi harapan….bila tidak aral melintang, empat tahun lagi ia akan lulus sebagai seorang sarjana.

Melihat visi dan latar belakangnya, saya yakin Iffah pun akan berbeda dengan kebanyakan sarjana pada umumnya. Ia akan tampil sebagai sarjana yang bukan sekedar urusan gengsi. Bukan sekedar menempelkan gelar. Ia akan tampil sebagai sarjana yang kaya akan pengalaman hidup. Sarjana yang bisa mengelola apa yang ada di depan mata dan merangkainya menjadi sebuah prestasi dan masa depan yang cemerlang. Saya yakin untuk itu.

&&&
Kasus penganiayaan TKW di luar negeri makin mengenaskan. Terakhir terjadi pada Sumiati di Saudi Arabia. Bibirnya digunting. Sebuah penganiayaan di luar batas kemanusiaan. Penganiayaan pada seorang perempuan tidak berdaya. Peristiwa yang sangat menyayat hati.

Kasus Sumiati memperpanjang dafar panganiayaan dan penderitaan para TKW di luar negeri. Belum lagi ditambah ketegaan orang orang Indonesia sendiri baik di dalam maupun luar negeri yang sering kali menjadikan para TKI dan TKW sebagai sapi perahan. Memperlakukna para penghasil devisa ini jauh diluar yang semestinya. Bahkan di bandara pun mereka sudah diperlaukan berbeda. Sampai sampai pemeriksaan pasport pun diberi jalur yang berbeda dengan penumpang pada umumnya. “Pengistimewaan” yang berkonotasi negatif.

Bagaimana solusinya? Solusi secara massif dan menyeluruh tentu ada di tangan pemerintah. Tetapi, saya yakin para pajabat yang punya kepedulian pun akan sangat pusing menghadapinya. Ada jutaan TKI di luar negeri. Jutaan juga yang ilegal. Maka…akan ada jutaan masalah yang tingkat kerumitannya tidak terbayangkan.

Sementara itu, sumber daya yang dimiliiki pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini pun sangat terbatas. Maka, kita tidak bisa terlalu berharap pada solusi dari pemerintah. Dibutuhkan solusi yang bersifat swadaya masyarakat.

Bagaimana caranya? Iffah memberi inspirasi. Menjadi pembantu apalagi di luar negeri, tentu saja mengandung banyak peluang dan tantangan. Pengalaman pergaulan antar bangsa bagi para TKI atau TKW sebenarnya adalah sebuah peluang yang luar biasa. Jauh lebih luar baisa dari pada Iffah yang hanya bergaul di tingkat ibu kota propinsi yang tidak terlalu jauh dari tepat tinggalnya.

Kuncinya ada pada visi dan kemampuan komunikasi. Sejak kedatangannya dan bergaul dengan majikan dan para tetangga, Iffah sudah memperlihatkan perbedaannya. Iffah sudah menunjukkan visi dan kemampuan komunikasi yang tinggi. Menjadi pembantu baginya bukan tujuan akhir. Menjadi pembantu juga bukan keterpaksaan. Menjadi pembantu adalah pilihan sadar dan strategis untuk mencapai cita cita yang lebih tinggi. Menjadi pembantu adalah solusi antara. Bukan solusi permanen terhadap permasalahan ekonomi.

Solusi permanennya sedang digali dengan merangkak pada kelas sosial yang lebih tinggi di kampus. Persis seperti pengalaman banyak orang sukses yang melakukan peningkatan kelas sosial melalui jalur pendidikan. Iffah yang di dalam negeri bisa. Yang di luar negeri peluangnya tentu lebih besar. Menjadi pembantu di luar negegeri sebagi pilihan sadar dan strategis untuk menggapai cita cita yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Bisa sambil kuliah seperti iffah. Bisa sambil memulai bisnis kecil keilan. Suatu saat pulang sebagai profesional expatriat. Pulang sebagai pebisnis antar bangsa. Bisa kan?

Tulisan Iman Supriyono ini pernah dimuat di majalah Muslim, terbit di Surabaya

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Atau ikuti KELAS KORPORATISASI

5 responses to “Iffah: Pembantu Yang Naik Kelas

  1. mantap dah pak imam. semangat ibu iffah bisa menjadi inspirasi untuk tetap smangat!

  2. kukuh budiharso

    mantab artikelnya. salam kenal dari http://budiharso.wordpress.com

  3. @I: tengyu moga bermanfaat. @KB: terimakasih kembali. moga bermanfaat

  4. jika keadaannya sebagai pembantu spt yg diceritakan mungkin bisa, pengiriman tki sbagai professional tentu lebih bisa, tapi jika sebagai budak (cara pandang org saudi thdp pembantu Indonesia)? yang keberangkatan mreka dalam rangka ketipu? wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s