Atap KRL: Usir!


“Jangan lupa pakai jaket tebal, kacamata hitam dan helm”. Ini adalah tips gurauan seorang kawan saat saya menyampaikan rencana untuk naik KRL-kereta rel listrik- salah satu moda transportasi publik di Jakarta. Tips kawan yang tidak ingin namanya diwebkan ini, katanya, diperlukan untuk mengamankan diri menghadapi suasana kereta. Informasinya tentang sarana transportasi yang kalau di negara negara maju “dibenamkan” di bawah permukaan tanah dan disebut MRT –mass rapid transport- ini sungguh membuat saya makin penasaran. Sangat ingin merasakan bagaimana suasana sebenarnya naik KRL yang selama ini hanya saya ikuti melalui berbagai bahan bacaan ini.

Sebenarnya saya sering ke Jakarta. Tetapi karena rute perjalanan dan jadual selama ini tidak pernah cocok dengan KRL, puluhan kali ke ibukota belum sekalipun berkesempatan menaikinya. Inilah yang bikin makin penasaran.

Maka, tibalah saat yang saya nantikan itu. Suatu pagi berada di kawasan tidak jauh dari Taman Mini. Jam 9 saya punya janji untuk menemui seorang kolega di Depok. Tepat sekali untuk naik KRL. Setelah memastikan lokasi stasiun terdekat maka jam setengah sembilan pagi saya sudah berada di stasiun KRL Tanjung Barat. Segeralah saya menuju loket, membeli tiket, dan menunggu kereta di peron.

Di peron, saya melihat bebera rambu yang menarik. Sepertinya tidak masuk akal. Sebuah papan cukup besar dengan gambar dan tulisan kontras berwarna paduan merah putih dan hitam: “dilarang duduk di atap” , “dilarang naik ke atap”. Sebuah larangan yang mestinya tidak perlu ada. Masak iya ada orang naik kereta dengan memanjat atap.

Beberapa saat menunggu, sebuah kereta dari arah Depok masuk stasiun. Tentu saya tidak naik kereta ini. Saya harus naik kereta yang berarah sebaliknya. Saya hanya mengamatinya. Dan…luar biasa. Kereta penuh sesak oleh penumpang. Lebih seru dari suasana bus antar kota saat menjelang lebaran. Manusia berdesakan di sekujur tubuh kereta. Bukan hanya di dalam gerbong…tetapi juga di atas atap dan bergelantungan di pintu-pintu.

Maka…rambu larangan naik dan duduk di atap kereta sebenarnya memang diperlukan. Rambu ituternyata masuk akal juga heheheh. Tetapi…rambu tinggallah rambu tanpa makna. Orang-orang tetap saja memenuhi sekujur kereta baik di dalam gerbong maupun di atas atap. Sangat Pantas saja kawan tadi menyarankan jaket tebal, kaca mata hitam dan helm untuk naik KRL. Mungkin dia sedang membayangkan saya naik kereta di atas atap hehehe…..

Larangan Duduk di Atap ala KRL Ibukota

Masih ada lagi keanehan lain. Pada sebuah gerbong tertulis besar-besar dan mencolok “Gerbong Khusus Wanita”. Saya perhatikan dengan seksama ternyata banyak pria yang berada di dalamnya. Setali tiga uang dengan rambu larangan duduk dan memanjat atap kereta. Rambu, gambar dan tulisan seolah tidak bermakna sama sekali. Sebuah pemandangan spektakuler di Stasiun KRL Tanjung Baru pagi itu.

Gerbong Khusus Wanita KRL: Para Wanita Harus Mengusir Pria Yang Nyelonong

Sekitar sepuluh menit menunggu, kereta jurusan Depok datang. Begitu berhenti, saya pun segera naik. Kondisnya relatif lengang. Ini terjadi karena jam jam pagi pada umumnya penumpang sedang berangkat kerja menuju pusat kota. Jadi saya naik kereta yang berarah kebalikan dari penumpang pada umumnya. Walaupun keretanya kusam dan lantai kereta sudah pada berlubang, secara umum perjalanan masih nyaman. Lengang. Tidak berdesakan.

•••

Bagi kita, mimpi akan transportasi publik yang bagus paling tidak terkendala oleh dua hal. Pertama adalah kecepatan pemerintah dalam membangun dan merawat fasilitas publik yang jauh tertinggal dari pertumbuhan masyarakat. Jalan bergelombang, bandara penuh sesak, kota-kota besar macet menjadi sesuatu yagn seolah sudah biasa. Ini menuntut peran pemerintah agar lebih baik dalam menerima dan mendayagunakan dana masyarakat secara efektif dan efisien bebas korupsi.

Kedua adalah kultur masyarakat. Saat saya memajang foto gerbong khusus wanita yang ternyata juga disesaki kaum pria seorang kawan alumni Al Azhar Mesir berkomentar. Katanya, jika ada pria yang nyelonong di gerbong wanita, para wanita Mesir akan beramai-ramai mengusirnya sampai keluar. Gerbong wanita pun berfungsi maksimal. Nah, ini yang harus kita tumbuhkan di tansportasi publik kita. Kesadaran untuk tidak menyalahgunakannya. Kesadaran untuk menaati aturan. Dan yang sangat penting, kesadaran untuk beramai-ramai menegur orang yang tidak menaati aturan. Hanya dengan cara ini transportasi publik kita makin lama makin bagus. Menjadi fasilitas publik yang murah, aman, nyaman dan membanggakan. Bukan memalukan seperti sekarang ini. Agar naik kereta tidak perlu memakai jaket tebal kaca mata hitam dan helm seperti saran kawan saya tadi. Maka….jika ada pria yang nyelonong masuk gerbong wanita….para wanita harus beramai-ramai mengusirnya. Seperti di Mesir. Usir!

Tulisan karya Iman Supriyono ini pernah dimuat di majalah BAZ, terbit di Surabaya.

One response to “Atap KRL: Usir!

  1. Mohon maaf,hanya sedikit klarifikasi. Kebetulan sy pengguna KRL setiap hari. Foto gerbong kereta yg ada tulisan khusus wanita itu, gerbong kereta ekonomi. Setahu saya, itu tidak berlaku…karena gerbong khusus wanita hanya ada di kereta commuter/AC. Jadi, wajar sj klo ada penumpang pria tidak akan diusir, di gerbong ekonomi memang semua gerbong bebas utk siapa saja. Lain di commuter, klo ada 1 saja pria masuk gerbong wanita, pasti sudah diusir…
    Terima kasih…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s