KFC. Sebuah merek resto cepat saji yang hadir dimana-mana. Di Indonesia, gerai KFC pertama kali buka pada tahun 1979 di jalan Melawai Jakarta. Bagusnya sambutan masyarakat menjadikan resto yang menjual menu resep besutan Kolonel Sanders ini telah memiliki 628 gerai sebagaimana pada laporan per 31 Desember 2017.
KFC di Indonesia dimiliki dan dikelola oleh PT Fast Food Indonesia, sebuah perusahaan yang saat ini sahamnya telah tercatat di lantai bursa dengan kode FAST. Untuk menyelenggarakan gerai-gerai tersebut FAST mendayagunakan aset senilai Rp 2,749 T alias aset rata-rata per gerai adalah Rp 4,4 Milyar. Dengan total utang Rp 1,456 triliun maka ekuitasnya adalah Rp 1,294T.

Bagi perusahaan pemilik merek, ekspansi dengan korporatisasi lebih menguntungkan dan lebih stratejik dari pada dengan skema waralaba atau skema non ekuitas lainnya.
Sepanjang tahun 2017, FAST mengantongi penjualan senilai Rp 5,303 Triliun. Harga pokok penjualan untuk omzet tersebut adalah Rp 1,986T alias 37% dari penjualan. Beban terbesar adalah berupa beban penjualan dan distribusi yaitu sebesar Rp 2,670T alias 50% penjualan. Salah satu komponen beban penjualan dan distribusi adalah fee jasa waralaba Rp 361M alias 7% dari penjualan. Selanjutnya, ditambah dengan beban-beban lainnya akhirnya FAST mengantongi laba Rp 167 Miliar alias 3% dari pendapatan.
&&&
Merek KFC adalah milik Yum! Brands Inc. (YUM) dari Amerika Serikat. Sebagai pemilik merek yang mewaralabakan mereknya, YUM menerima franchise fee dengan jumlah sebagaimana disebut di atas. Pertanyaannya, apakah franchise fee tersebut menguntungkan bagi YUM? Tidak adakah alternatif yang lebih menguntungkan bagi YUM?
Pembaca yang baik, ada 4 ukuran utama di dunia bisnis yaitu omzet, laba, aset dan kapitalisasi pasar. Dengan empat itulah misalnya Forbes melakukan pemeringkatan dan kemudian memilih 2000 perusahaan terbesar dunia. Saat ini YUM berada di urutan ke 952. Karena menggunakan transaksi waralaba, maka omzet, laba, aset dan ekuitas FAST tidak dikonsolidasikan pada laporan keuangan YUM. Gerai-gerai KFC di Indonesia tidak dimiliki ataupun dikelola oleh YUM. Dengan demikian, keberadaan enam ratus lebih gerai KFC yang telah sukses menguasai pasar resto cepat saji di Indonesia tidak berkontribusi signifikan terhadap kinerja dan peringkat YUM dalam percaturan bisnis global.
Pertanyaannya, bagaimana supaya gerai-gerai KFC di Indonesia dimiliki dan dikelola oleh YUM sedemikian hingga memiliki kontribusi maksimal terhadap omzet, laba, aset dan ekuitas? Jawabannya adalah korporatisasi. Ada dua pendekatan hitungan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama adalah pendekatan kebutuhan aset dan kedua adalah pendekatan biaya akuisisi.
Jika ingin memiliki dan mengelola sendiri, maka YUM harus menyediakan dana kurang lebih senilai aset FAST sebagaimana disebut sebelumnya yaitu sebesar Rp 2,749T. Dengan kondisinya saat ini sebagai fully public company, YUM dapat dengan mudah menerbitkan saham baru dan melepasnya di lantai bursa. Angka aset FAST tersebut nilainya adalah setara dengan pelepasan saham baru sebesar 0,8% dari posisi saham saat ini yang nilai totalnya adalah Rp 367T. Jika itu dilakukan maka YUM perlu membayar dividen sebesar Rp 5 miliar per tahun sesuai dengan angka dividend yield 1,82%.
Pendekatan kedua adalah akuisisi. Harga seluruh saham FAST saat ini adalah Rp 2,907T. Andai YUM mengakuisisi seluruh saham FAST dengan harga premium 100% di atas harga pasar nilainya adalah Rp 5,814T. Untuk mendapatkan dana senilai tersebut YUM cukup menerbitkan 1,6% saham baru dan dilepas ke pasar. Investor hanya menuntut dividen sebesar Rp 105M pertahun. Pendekatan kedua ini jauh lebih mahal daripada yang pertama. Namun demikian, jika dilakukan, YUM tetap masih untung karena tiap tahun FAST menghasilkan uang Rp 528M yaitu laba saat ini dan fee waralaba yang akan menjadi laba jika FAST adalah anak perusahaan YUM.
Pembaca yang baik, melepas saham baru untuk ekspansi adalah inti dari proses korporatisasi. Baca detailnya di link tersebut. Perhitungan di atas menunjukkan bahwa ekspansi dengan melakukan korporatisasi jauh lebih stratejik dan lebih menguntungkan bagi pemilik merek dibanding waralaba. Apalagi jika mereknya belum sekuat KFC. Investor waralaba akan menuntut balik modal (pay back period) sekitar dua tahun. Pay back period 2 tahun menuntut pemilik merek bekerja keras untuk menghasilkan aliran kas 50% dari dana investasi per tahun. Bandingkan dengan dividend yield yang hanya 1,82% per tahun.
Gambaran perhitungan waralaba versus korporatisasi di atas sekaligus juga menjawab pertanyaan mengapa akuisisi perusahaan lokal oleh perusahaan multinasional terus-menerus terjadi. Itulah hasil proses korporatisasi yang dilakukan oleh pemain asing. Mereka bisa memperoleh dana murah dari masyarakat luas melalui lantai bursa untuk melakukan akuisisi demi akuisisi dengan harga semahal apapun. Batasannya sering kali adalah masalah regulasi. Maka, waralaba adalah pilihan terakhir jika ekspansi dengan korporatisasi tidak memungkinkan.

Jangan sampai mengalami FRANCHISE TRAP. Ikuti KELAS WARALABA VERSUS KORPORATISASI dari SNF Consulting. Daftar: https://wa.me/6281358447267
Dengan demikian, apakah berarti waralaba sama sekali tidak ada manfaatnya? Tetap bermanfaat. Khususnya untuk perusahaan baru yang masih sedang berproses membangun sistem manajemen. Terdapat titik kritis proses korporatisasi yaitu pada saat pendiri sudah tidak lagi memegang saham pengendali yaitu 51%. Perusahaan tidak boleh melewati titik kritis ini sebelum sistem manajemennya terbentuk. Untuk itu ekspansi waralaba dibutuhkan untuk menjaga laju dilusi agar saat melewati titik kritis tersebut sistem manajemen sudah terbentuk. Sistem kaderisasi sudah berjalan sempurna. Para manajer senior sudah siap menggantikan direksi sewaktu-waktu dengan mulus tanpa ada gejolak. Perusahaan Anda bagaimana? Sudah melakukan korporatisasi? Sudah menemukan jalan untuk memperoleh modal super murah untuk ekspansi?
Baca Juga: Korporatisasi Di Luar Lantai Bursa
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
*)Tulisan karya Iman Supriyono ini pernah dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya.
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Investor Waralaba atau Korporatisasi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kolaborasi Era Monopolistik, Anda Siap? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Modal Alfamart Mengejar Indomaret: Scale Up & High Growth Enterprise | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pizza Hut Terancam Bangkrut? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Investor Waralaba atau Korporatisasi – SNF Consulting
Ping-balik: Zakat Mal Era Korporasi: Menjadi Bangsa Produsen | Korporatisasi