Untuk keperluan klien SNF Consulting, ketika itu saya harus berada di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan selatan. Mengingat klien ini adalah bidang peternakan sapi, saya banyak berinteraksi dengan kawan-kawan Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Laut. Sampailah sebuah diskusi santai di pasar sapi kabupaten yang suasananya mirip di Jawa itu.
Tiap tahun sekitar 250 ribu ton baik berupa daging maupun sapi hidup harus didatangkan dari luar negeri. Salah satu sumber utamanya Australia. Mengapa harus impor? Mengapa negeri yang subur makmur tanahnya hijau sepanjang tahun harus mengimpor sapi dari Australia negeri empat musim yang tanahnya dalam setahun lebih banyak tidak suburnya daripada masa suburnya?

Perkawinan sapi menentukan kualitas dan produktivitas
Mengapa? Jawabnya agak berbau kelakar tapi betul: sapi kita perkawinannya tidak sesuai syariah. Tidak syar’i hehehe. Sapi jantan A kawin dengan sapi betina B menghasilkan anak betina C. Ketika masanya kawin si C akan dikawini oleh ayahnya yaitu A menghasilkan sapi betina D. Saat masa kawin sapi D akan dikawini oleh kakeknya si A. Demikian seterusnya. Terjadi perkawinan sedarah alias incest. Perkawinan dengan mahram hehehe. Akibatnya adalah rendahnya kualitas anak-anak sapi. Rendahnya produktivitas.
Mengapa perkawinan incest? Karena sapi-sapi kita umumnya dipelihara oleh keluarga-keluarga. Dengan demikian tidak ada pengawasan yang memadai terhadap perkawinan antar sapi. Mencegah perzinahan manusia saja kesulitan, apalagi “perzinahan” sapi hehehehe.

Korporatisasi di sektor peternakan mutlak dibutuhkan agar kita tidak tergantung pada impor ternak
Lalu bagaimana solusinya? Pengendalian perkawinan sapi baru mungkin dilakukan jika peternakan sapi dilakukan dengan manajemen modern oleh korporasi. Seperti di Australian Agricultural Company alias AACo di Australia misalnya. Untuk itu para peternak harus melakukan kolaborasi dengan cara modern. Atau secara lebih spesifik, para peternak harus melakukan proses korporatisasi. Beternak dengan mengikuti ilmunya. Beternak cara ilmiah, bukan cara jahiliah. Agar muncul perusahaan peternakan dengan lahan 6 juta hektar seperti AACo. Silakan baca dengan seksama link-link tersebut. Berkolaborasi kita bisa!
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
**)Artikel ke-210 ini ditulis pada tanggal 26 Juli 2019 di SNF House of Management oleh Iman Supriyono, konsultan senior dan direktur SNF Consulting http://www.sfnconsulting.com
Ping-balik: Ikan Teri: Ironi Negeri Bahari Yang Mengimpor Hasil Laut | Catatan Iman Supriyono
A Murdani says :
Bagus ini pak, namun ada koreksi sedikit:
1. Transfer timur ke barat jalurnya bukan hanya melalui SUTET ungaran – pemalang 2 sirkit (semarang) tp juga 2 sirkit SUTET di selatan (pedan – kesugihan – tasik -depok)
2. Di ruptl sdh ada mitigasi terkait rawannya 4 sutet ini yaitu pembangunan sutet tjati sampe ke deltamas.
3. Kejadian kmrn, itu diluar rencana kontingensi yg paling kuat sekalipun. Kita menerepakan N-1dan N-1-1,negara maju sdh menerapkan N-2. Nah krjadian kmarin itu N-1-2.
Ping-balik: Korporatisasi Pertanian: Edamame | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Garam: Kuat Dengan Ekonomi Berjamaah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Pertanian: Edamame – SNF Consulting
Ping-balik: Ikan Teri: Ironi Negeri Bahari Yang Mengimpor Hasil Laut – SNF Consulting
Ping-balik: Hilangnya Swasembada Ayam: si Blirik Klawu dan Bendan | Korporatisasi
Ping-balik: Bagi Bagi Sperma | Korporatisasi