Ekosistem Bisnis: Harimau Tidak Makan Rumput


Baru saja saya pulang dari sholat  subuh di masjid tidak jauh dari Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta. Terlihat beberapa tikus berbadan bontot berkeliaran di pinggir jalan. Jadilah saya ingin menulis artikel ini. Artikel tentang apa yang belakangan ini sering menjadi topik hangat di kalangan para entrepreneur. Di kalangan para pelaku bisnis.  Khususnya kalangan start up company. Mengapa tikus menjadi inspirasi tulisan ini? Tikus adalah problem masyarakat kota. Rumah mewah, rumah sederhana, toko, pasar, perkantoran, semua terganggu dengan keberadaan tikus.

Tikus meraja lela di kota. Mengapa? Karena manusia telah mengganggu ekosistem. Mengganggu  komponen rantai makanan. Tikus meraja lela karena binatang pemangsanya dihabisi di kota. Tikus adalah makanan ular. Ular tidak boleh hidup di kota. Tikus adalah makanan elang. Dan elang tidak bisa hidup di kota. Tikus adalah makanan kucing. Memang kucing masih hidup di kota. Tapi orang kota mendistorsi makanan kucing. Mestinya kucing makan tikus diajari makan Whiskas. Jadilah kucing tidak mau makan tikus. Menunggu Whiskas.

&&&

Membangun ekosistem bisnis. itulah jargon yang sering kita dengar dan diterapkan dengan salah kaprah. Contohnya adalah perusahaan yang sangat populer di negeri ini: Astra Internasional. Perusahaan ini paling tidak memiliki bisnis penjualan mobil, perakitan mobil,  bengkel mobil, pabrik suku cadang mobil, penjualan motor, pabrik perakitan motor, perkebunan sawit, pabrik sawit, jalan tol, perbankan, komputer, aplikasi dan lain-lain. Dalam konteks revenue and prifit driver (RPD) Astra disebut perusahaan mutltiple RPD.

Tulisan dan konten website ini dipersembahkan oleh SNF Consulting

Dengan bermain di berbagai sektor alias menjadi konglomerasi orang mengatakan bahwa Astra sedang membangun ekosistem. Benarkah? Banyak yang menganggapnya benar. Tapi sejatinya salah. Dalam istilah bahasa jawa disebut salah kaprah.  

Di hutan belantara, ekosistem itu bukan harimau yang memakan rusa dan rumput sekaligus. Ekosistem adalah harimau yang tetap konsisten memakan rusa. Rumput biarlah tetap menjadi makanan rusa. Jika ada rumput yang hijau segar, harimau tetap akan membiarkannya dinikmati rusa. Rusanya yang akan dimakan harimau setelah makan rumput. Itu pun harimau tidak mau makan rusa bayi. Rusa bayi tetap dibiarkan makan rumput sampai dewasa. Baru kemudian dimakan harimau.

&&&

Setiap gangguan ekosistem akan berakibat buruk. Merajalelanya tikus di kota adalah contohnya. Bagaimana di dunia bisnis? Perusahaan yang seperti Astra itu ibarat harimau yang memakan rusa sekaligus rumput. Akibatnya apa? Paling tidak ada dua. Pertama adalah pertumbuhannya yang lambat.

Pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang diukur dengan besaran compounded avarage growth rate (CAGR). Mari kita lihat CAGR nilai pasar (value, market value) Astra.  Hari ini nilai pasar per lembar saham Astra adalah Rp 6 200.  Data harga saham yang masih tersedia di grafik Google adalah per September 2005 alias 18 tahun lalu. Nilainya adalah Rp 975. CAGR nya adalah 10,8%. Artinya, jika Anda misalnya berinvestasi senilai Rp 100 miliar pada tahun 2005, setahun kemudian yaitu tahun 2006 nilainya akan naik 10,8% menjadi Rp 110,8 miliar. Tahun 2007 nilainya naik lagi 10,8% menjadi Rp 122,8. Tahun berikutnya naik lagi 10,8%. Demikian seterusnya tiap tahun akan naik 10,8% hingga hari ini menjadi Rp 571 miliar. Naik 5,7 kali lipat dalam 18 tahun.

Bandingkan dengan perusahaan yang bisnisnya satu bidang. Single RPD. Contohnya adalah Alfamart. Tahun 2009, saat IPO, nilai pasar per lembar saham perusahaan mini market ini adalah Rp 40. Hari ini alias 14 tahun kemudian nilainya adalah Rp 2960. CAGR nya adalah 40%. Artinya, jika Anda berinvestasi tahun 2009 dengan uang Rp 100 miliar, tahun 2010 akan naik 40% menjadi Rp 140 miliar. Tahun 2011 naik lagi 40% menjadi Rp 196 miliar. Dan seterusnya tiap tahun naik 40% hingga hari ini nilainya menjadi Rp 7937 miliar. Naik 79x lipat dalam 14 tahun. Perusahaan single RPD alias perusahaan yang setia pada perannya dalam ekosistem tumbuh jauh lebih pesat.

Kedua adalah biaya modal alias cost of capital yang mahal. Hari ini jika butuh uang katakan Rp 10 triliun untuk ekspansi usahanya maka Astra bisa melakukan penerbitan saham baru alias right issue. Dari data hari ini, investor Astra menuntut ROI 11,2%. ROI bagi investor adalah cost of capital bagi Astra. Jadi, cost of capital Astra hari ini adalah 11,2%. Maka jika Astra rights issue untuk menadapatkan Rp 10 triliun investornya menuntut hak laba sebesar Rp 1,12 triliun.

Bagaimana dengan Alfamart? Jika hari ini Alfamart membutuhkan Rp 10 triliun untuk ekspansi membangun gerai, investornya hanya menuntut ROI 2,61%. Cost of capital Alfamart adalah 2,61%. Artinya, investor hanya menuntut Rp 261 miliar. Jauh lebih murah dibanding Astra Internasional.

&&&

Pembaca yang baik, itulah perbandingan dua perusahaan yang sangat berbeda. Satu tidak setia pada perannya di ekosistem. Tidak membangun ekosistem. Satunya setia. Membangun ekosistem. Yang tidak setia pertumbuhannya lambat dan cost of capitalnya mahal. Yang setia pertumbuhannya pesat dan cost of capitalnya murah.

Pelajarannya, jangan lagi berparadigma salah kaprah. Jangan lagi memandang konsep membangun ekosistem bisnis secara salah. Membangun ekosistem bisnis bukan berarti mengerjakan segalanya. Bukan berarti “memakan segalanya”. Membangun ekosistem bisnis adalah tetap setia pada bidangnya. Setia pada satu bidang. Menjadi single RPD.

Selapar apapun harimau tidak akan makan rumput. Harimau adalah bagian dari ekosistem. Harimau sedang membangun ekosistem yang kokoh. Setia pada peran uniknya dalam ekosistem.

Alfamart butuh roti untuk dijual di lebih dari 18 ribu gerainya. Untuk ini ada Sari Roti. Alfamart tidak perlu khawatir Sari Roti akan akan mempermainkan jaringan ritel yang juga telah hadir di Filipina ini. Tidak perlu khawatir Sari Roti berbuat macam-macam. Mengapa? Karena bagi Sari Roti Alfamart begitu besar.

Bagi Alfamart Sari Roti adalah pemasok. Nilai pasokan Sari Roti kepada Alfamart tidak sampai 1% dari total kebutuhan pasokan jaringan ritel yang juga memiliki Alfamidi ini. Sementara bagi Sari Roti Alfamart adalah pasar. Alfamart berkontribusi sekitar 30% pasar Sari Roti. Dengan demikian Sari Roti akan mengikuti apapun kemauan Alfamart. Termasuk termin pembayaran yang panjang misalnya. Mengapa? Sari Roti akan kehilangan sekitar 30% omzet jika tidak mau mengikuti SOP Alfamart dalam termin pembayaran. Bagi Sari Roti, Alfamart berkontribusi begitu besar.

Alfamart telah setia pada posisinya di dalam ekosistem. Ibarat harimau Alamart tidak iri dengan rusa yang makan rumput. Jika perusahaan-perusahaan di negeri ini setia pada perannya di ekosistem bisnis seperti Alamart, maka pertumbuhan perusahaan-perusahaan kita akan pesat. Pertumbuhan ekonomi akan pesat. Cost of capital akan turun menjadi sekitar 2-3% per tahun. Bunga bank yang juga merupakan cost of capital bagi debiturnya juga akan turun. Tidak akan seperti saat ini yang di atas 10%. Itulah manfaat membangun ekosistem bisnis dengan setia pada peran masin-masing. Tidak iri peran perusahaan lain. Ingat, tikus meraja lela karena ekosistemnya taerganggu.  Ingat, seberapa pun laparnya, harimau tidak makan rumput. Perusahaan Anda bagaimana?

Artikel ke-424 karya Iman Supriyono ini ditulis selepas sholat subuh di kawasan Dukuh Atas, sekitar 5 menit jalan kaki ke kantor SNF Consulting di Menara BCA Jl. Thamrin Jakarta pada tanggal 27 September 2023.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

3 responses to “Ekosistem Bisnis: Harimau Tidak Makan Rumput

  1. ada Karnivora, ada Herbivora, ada Omnivora. Apakah private brand seperti meses, beras, selai dengan merk Alfamart ini termasuk omnivora?

  2. Ping-balik: Jebloknya Konglomerasi | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan ke Korporatisasi Batalkan balasan