Surabaya 2017. Melalui aplikasi WA saya menerima pesan dari anak ke-4 yang sedang berada di Krong Poi Pet, Kamboja. Disampaikan bahwa dalam perjalanannya mengurus perpanjangan ijin tinggal untuk belajar bahasa Thailand di Bangkok anak gadis ini mengalami masalah. Handphone satu-satunya yang dimilikinya karena suatu hal masuk ke air dan rusak. Untuk menghubungi saya anak lulusan SMP meminjam gadget petugas hotel tempatnya menginap.
Segeralah saya mengirim uang kepadanya. Tujuannya untuk membeli gadget baru. Teknisnya dilakukan dengan mentransfer uang melalui rekening bank Mandiri. Ia kemudian mengambil uang di mesin ATM di kota dekat perbatasan Kamboja-Thailand itu. Yang menarik, ATM mengeluarkan uang USD. Uang itu kemudian digunakan untuk membeli HP di toko terdekat. Toko pun langsung menerima uang itu tanpa harus menukarkannya dengan Kip, mata uang Laos.
&&&
Bangsa yang kuat mata uangnya berlaku, dicari dan dipakai di berbagai negara lain. Contoh negara seperti ini adalah USA. Pengalaman anak gadis yang sedang di Kamboja menggambarkannya. Bahkan anak gadis saya ini juga pernah menarik uang melalui ATM di Laos. Sama, yang keluar adalah USD. Uang pun bisa langsung dibelikan gadget tanpa harus menukarkannya dengan Riel, mata uang setempat. Saya juga pernah mengalaminya sendiri di kota Phnom Penh.
&&&
Bangsa yang kuat mata uangnya berlaku, dicari dan dipakai di berbagai negara lain. Sebaliknya, bangsa yang lemah mata uangnya tidak berlaku dimana-mana. Kecuali di negerinya sendiri. Bahkan di negerinya sendiri pun masih harus menggunakan mata uang asing.
Bagaimana bangsa ini? Bagaimana Rupiah? Tidak perlu mencari fakta jauh jauh. Lihatlah laporan keuangan Pertamina, BUMN yang dianggap sangat stratejik. Sejak tahun 2012 perusahaan perminyakan ini resmi meninggalkan Rupiah untuk laporan keuangannya. Mencampakkan Rupiah dan beralih kepada USD hingga laporan terbarunya. Laporan semester pertama 2020.
Dalam catatan laporan keuangan 2012, Pertamina memberikan alasan mengapa mencampakkan Rupiah menjadi USD. Ada empat alasan. Pertama, harga jual produk dari 6 (enam) unit bisnis utama mengacu pada harga publikasi yang didenominasikan dalam mata uang Dolar Amerika Serikat. Kedua, biaya bahan baku dan pembelian produk mengacu pada harga publikasi yang didenominasikan dalam mata uang Dolar Amerika Serikat. Ketiga, umumnya, ketika penjualan atau bahan baku dalam mata uang selain mata uang Dolar Amerika Serikat, harga tersebut akan berfluktuasi terhadap nilai tukar terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat. Keempat, pendanaan (utang) yang bersumber dari obligasi dan pinjaman bank didenominasikan dalam mata uang Dolar Amerika serikat.
Secara akuntansi, ada yang namanya mata uang fungsional, ada mata uang penyajian. Tahun 2011 dan tahun-tahun sebelumnya, Pertamina masih menggunakan rupiah untuk mata uang penyajian laporan keuangannya. Adapun mata uang fungsionalnya, dengan mengacu pada empat alasan di atas, sudah menggunakan USD. Walaupun penjualan BBM adalah di Indonesia dan tentu saja pelanggannya pembayaran dengan rupiah, tapi harga patokannya adalah USD.
Bagaimana tahun 2020 ini? Laporan kuartal kedua Pertamina masih dinaytakan dalam USD. Kita tidak bisa melihat detail mengapa kebijakan merengkuh USD dan mencampakkan Rupiah ini tetap diambil karena Pertamina tidak menampilkan catatan laporan keuangannya.
&&&
Saya Indonesia! Saya Pancasila! Beberapa tahun lalu slogan ini sempat ramai diperbincangkan di media. Utamanya media sosial. Maksudnya kurang lebih adalah untuk menunjukkan jiwa nasionalisme. Nah, jika diterjemahkan kedalam bidang ekonomi moneter, slogan itu akan berbunyi “Saya Indonesia! Saya Rupiah!”. Dan….kita akan malu karena ternyata Pertamina yang merupakan BUMN utama negeri ini lebih memilih USD dari pada Rupiah.

Lalu kapan kita bisa berharap Rupiah dipakai di Kamboja atau Laos seperti pengalaman anak gadis saya dan bahkan dipakai oleh negeri-negeri lain? Nanti dulu. BUMN kita sendiri saja tidak mau memakainya. Pertamina tidak memakainya. Demikian juga Garuda yang di pundaknya diusung merah putih karena posisinya sebagai flag carrier. Apalagi negara lain.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap masalah ini? Keputusan penggunaan mata uang berada di tangan direksi. Maka yang bertanggung jawab adalah direksi. Tetapi dalam tata kelola perseroan terbatas, kerja direksi diawasi oleh komisaris. Hingga kini direksi Pertamina masih mempertahankan kebijakan cinta USD dan mencampakkan Rupiah. Lalu siapa yang bisa mengoreksi kebijakan direksi ini? Tentu saja komisaris yang dipimpin oleh komisaris utama. Bahkan menurut Undang-undan PT, komisaris berwenang memberhentikan direksi. Kecuali jika komisaris beranggapan bahwa nasionalisme dalam mata uang sudah tidak relevan lagi. Apa Kabar pak komisaris utama? Anda cinta Rupiah atau cinta USD? Apakah nasionalisme sudah tidak relevan lagi di Pertamina?
Baca juga: Mengapa Rupiah Konsisten Melemah Sejak 1948?
Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram atau Grup WA SNF Consulting
*)Artikel ke-285 ini ditulis di Surabaya pada tanggal 8 September 2020 oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting.
Inspirarif dan menggugah
Terimakasih apresiasinya. Moga bermanfaat
Ping-balik: Pertamina Versus Petronas 2021: Siapa Pemenangnya? | Korporatisasi
Ping-balik: Investasi Telkom ke Goto: Strategic Fool? | Korporatisasi