Intangible Asset Jumbo: Satu atau Banyak Merek?


Ada dua raksasa bisnis resto global. McDonald dan Yum! Brand. McDonalds hadir dengan merek yang sama dengan nama perusahaan yaitu McDonalds. Laporan tahunan terbaru menyebut bahwa perusahaan ini telah hadir dengan  40 275 gerai di lebih dari 100 negara. Semua gerainya bermerek McDonalds.

Yum! Brands hadir dengan 4 merek yaitu  KFC, Taco Bell,  Pizza Hut, dan Habit Burger Gril. KFC hadir dengan 27 760 gerai di 149 negara. Taco Bel dengan 8 218 gerai di 32 negara. Pizza Hut dengan 19 034 gerai di 106 negara. Habit burger Gril dengan 349 gerai di 3 negara.  Jadi total 55 361 gerai di 156 negara.

Anda tentu mengenal merek-merek itu. Setiap hari melihat, melalui atau bahkan membeli makanandi gerai-gerai mereka. Saya yakin Anda sangat mengenalnya. Maka, coba Anda terka, mana di antara dua pemain kakap industri resto global itu yang memiliki intangible asset lebih besar?

Dalam sebuah korporasi, intangible aset adalah selisih antara nilai buku (book value) dengan nilai pasar (market value) perusahaan itu. Book value bisa langsung dibaca di laporan keuangan. Book value adalah ekuitas alias aset bersih perusahaan. Market value adalah nilai historis transaksi terakhir saham perusahaan. Pada perusahaan yang telah melantai seperti McDonalds dan Yum! Brands, nilainya bisa diketahui dengan mudah pada transaksi terakhir lantai bursa tempat perusahaan mencatatkan sahamnya.

Saat saya menulis ini, nilai pasar McDonalds adalah USD 204,4 miliar. Laporan keuangan terbaru perusahaan berpusat di USA ini menyebut bahwa per 31 Desember 2022 nilai bukunya adalah  minus USD 6,0 miliar. Dengan demikian nilai intangible asset resto burger ini adalah 210,4 miliar alias IDR 3 261 triliun.

Pada saat yang sama nilai pasar Yum!Brand adalah 35,2 miliar. Nilai buku perusahaan yang juga berkantor pusat di USA ini adalah  minus USD 8,8 miliar. Dengan demikian maka nilai intangible assetnya adalah USD 44 miliar alias IDR 662 triliun.

Perhatikan bedanya. Nilai intangible asset McDonalds adalah 4,8 kali lebih besar dari pada Yum! Brands. Padahal gerai Yum! Jauh lebih banyak dari pada McD. Apa pelajaran yang bisa dipetik? Paling tidak ada dua pelajaran berharga. Pelajaran pertama, bahwa unsur utama dari intangilble asset sebuah perusahaan adalah mereknya. Baik merek korporasi maupun merek produk atau layanannya.

Bicara tentang kekuatan merek, teori classical conditioning Pavlov menyebut bahwa dua unsur utama kekuatan merek adalah standar dan pengulangan.  Dalam urusan standar, baik McD maupun Yum! sudah tidak diragukan lagi. Keduanya dikenal dengan standar layanan maupun produk yang tak diragukan lagi pada setiap gerai restonya.

Nah, unsur pengulanganlah yang berbeda. Bagi sebuah resto, pengulangan bisa diukur dari jumlah gerai yang menggunakan merek sama.  Standar layanan McD diulang sebanyak 40 275 kali melalui gerai-gerainya di lebih dari 100 negara. Ke mana pun pergi, otak konsumen akan selalu diingatkan kembali saat melihat gerai McD. Pengulangan itu yang membuat merek benar-benar melekat di benak konsumen.

Sementara Yum terpecah menjadi 4 merek. Merek KFC diulang 27 760 kali. Taco Bel diulang 8 218 kali. Pizza Hut diulanng 19 034 kali. Habit burger Gril diulang 349. Secara jumlah memang lebih banyak. Tapi dalam pengulangan standar Yum! Kalah dengan McD. Maka intangible asset Yum! Pun kalah dengan McD.

Pelajaran kedua, nama perusahaan dan nama resto McD sama. Nama perusahaan menjadi sumber intangible asset. Nama resto juga. Dengan demikian siapa saja yang berinteraksi dengan McD baik sebagai perusahaan maupun sebagai gerai resto memorinya akan diisi kembali dengan satu nama: McDonalds.

Tidak demikian dengan Yum! Interaksi dengan perusahaan seperti surat menyurat, email, lamaran pekerjaan, transfer bank,  membeli saham, RUPS dan sebagainya akan menggunakan nama Yum! Brand. Sementara interaksi dengan resto akan menggunakan 4 nama berbeda. Maka kekuatan pengulangannya pun terpecah-pecah. Jadi secara umum jauh lebih lemah dari pada yang terjadi pada McD.

&&&

Pembaca yang baik, Intangible asset dari dua raksasa bisnis resto global memberi pelajaran tentang pentingnya single brand. Bahwa single brand jauh lebih powerfull dibanding multiple brand. Tentang pentingnya kesamaan antara corporate brand dengan product brand. Tentang arti kata fokus dalam membesarkan intangible asset dan nilai perusahaan. Perusahaan Anda bagaimana? Sudah siap membangun intangible asset bernilai jumbo yang sewaktu-waktu bisa diuangkan menjadi sumber modal ekspansi dengan cost of capital murah?

Artikel ke-431 karya Iman Supriyono ini ditulis di kantor SNF Consulting Jakarta, Menara BCA lantai 50#5088 Jl, Thamrin no 1, pada tanggal 1 Desember 2023.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

5 responses to “Intangible Asset Jumbo: Satu atau Banyak Merek?

  1. menarik single brand vs multi brand. Pasar kosmetic Indonesia contoh Ponds memiliki Ponds Man, begitupula Nivea ada Nivea Man, padahal sebelumnya merk ini lekat dengan merk yang digunakan wanita tetapi nekat juga meluncurkan varian “Man”. Sedangkan Wardah yang lekat dengan pengguna wanita main aman dengan meluncurkan brand baru “Kahf”. Mungkin bisa dianalisa antara Nivea, Ponds vs Wardah apakah strategi brand sama atau bikin brand baru yang lebih berhasil

  2. Ping-balik: Merger: Kekacauan di Masjid Moeldoko | Korporatisasi

  3. Ping-balik: Pfizer: Besar Goodwill Dari Pada Aset Fisik | Korporatisasi

Tinggalkan Balasan ke sigi Batalkan balasan